Selalu di musim dingin, saat kebanyakan orang mengambil waktu khusus untuk ia habiskan bersama keluarganya. Selalu di musim dingin, saat semua tempat menawarkan penawaran khusus yang datang setahun sekali. Selalu di musim dingin, saat toko-toko sengaja buka hingga larut dengan diskon khusus. Selalu di musim dingin saat hotel mendapat jadwal terpadat dan tak pernah sepi.
Hinata menyukai musim dingin.
Di saat tersibuk seperti sekarang, meski lelah, Hinata menikmati kelelahan ini. Ia belajar banyak dari tiap kelelahan yang menderanya. Membuat Hinata lebih menghargai waktu.
Dari bonus kerja lemburnya, Hinata bisa membeli syal baru untuk ibunya. Hasil rajutan sendiri memang lebih emosional, dan terasa lebih pribadi. Namun Hinata tak bisa sepenuhnya menyulam dan merajut benang. Sebagian besar yang menjadi alasannya adalah sempitnya waktu senggang yang ia miliki. Selebihnya, Hinata tidak ingin hasilnya tidak memuaskan dan tak tepat waktu.
Saat musim dingin seperti ini juga pemuda Namikaze itu biasa datang untuk menemui Hinata. Empat kali musim dingin setelah lulus sekolah, Naruto selalu menyempatkan datang mengunjungi Hinata di antara waktu sibuknya belajar di kampus. Dia selalu membawa sekotak mochi. Bukan sebotol wine atau sekaleng teh dengan kualitas terbaik. Bukan pula aksesoris mahal atau gaun-gaun hasil rancangan desainer terkenal. Hanya sekotak mochi yang segar, langsung ia beli dari produsennya di Kyoto.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, Naruto selalu menanti Hinata di lobi hotel. Duduk di kursi yang melingkari taman buatan di pusat lobi. Mengenakan jas yang sering dilapisi mantel dan syal longgar yang melilit lehernya. Dari dulu hingga sekarang, Naruto masih betah dengan potongan rambut yang sama. Dia akan duduk dengan tenang, menanti dengan sabar, dan menikmati waktunya yang berjalan lamban.
Hinata biasanya datang menemuinya masih dengan mengenakan seragam kerjanya yang berwarna cokelat susu, lengkap dengan lapisan putih khas pelayan hotel dan name tag di dada kirinya.
Gadis itu tampak lebih kurus dari yang Naruto ingat. Rambut panjangnya disanggul tinggi, dibungkus jaring khusus untuk rambut. Kegelapan warna rambutnya mengesankan aura dingin yang anehnya terasa membara.
Naruto selalu menyadari kehadiran Hinata. Dia akan tersenyum, berdiri, dan menunggu dengan hati berdebar. Hinata mungkin bukan cinta pertama baginya, tapi gadis ini masih menjadi orang yang ia kasihi sampai saat ini, mungkin hingga nanti.
Saat Naruto menyerahkan kotak mochi itu, Hinata tak lagi berbasa-basi seperti saat ia membawanya pertama kali. Dia tidak lagi menolak, atau mengatakan padanya untuk tak perlu repot-repot.
Hinata menerimanya dengan senang hati, mengucapkan terima kasih dengan tulus, dan menyampaikan pesan dari ibunya untuk Naruto yang selalu berganti. Mochi-nya kenyal, manis, dan benar-benar lezat. Naruto punya selera yang bagus.
“Aku akan kembali ke Boston besok,” kata Naruto. Biasanya dia akan tinggal di Jepang selama beberapa hari. Setelah Kushina pindah ke London, Jepang hanya tempat persinggahan baginya. Tempat ia menyadarkan hatinya yang tertidur selama jauh dari gadis yang berdiri dengan wajah sedih di hadapannya. “Tenang saja.” Naruto melangkah mendekat, meletakkan telapak tangannya yang terbuka di bahu Hinata. “Aku akan selalu mengabarimu.” Beda dengan laki-laki lain yang tak menghiraukan Hinata setelah kepergiannya yang tanpa ucapan selamat tinggal.
Naruto memeluk Hinata, tidak erat, hanya sebatas gestur ramah tamah dalam lingkaran aman teman.
“Sampai nanti.”
Hinata menganguk, menatap mata biru Naruto, tersenyum meski merasakan sedih.
Naruto meraih tas punggungnya yang tak berat. Dia hanya membawa beberapa lembar pakaian dan dokumen-dokumen yang diperlukan seorang pelancong pada umumnya. Tas itu nyaris kosong setelah kotak mochi berpindah tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kimi to Boku
FanfictionKumpulan fic SasuHina; one-shot(s) dan mini series. Unrevised; you might find some typo(s). AU. Romance, Drama, General, Mystery, Slice of Life, Slightly Comedy.