16.30
Jam menunjukkan waktu untuk pulang. Nara pun bergegas membereskan meja kerjanya dan membersihkan segala sesuatu yang sudah mengotori ruang kerjanya hari ini. Ia pun keluar dan tak lupa mengunci ruang kerjanya.
"Iya, iya, sebentar."
Nara menoleh ke sumber suara. Bian dan Kaila. Terlihat Kaila yang sedang menangis, entah karena apa. Tapi dapat terlihat jelas bahwa bosnya sedikit kewalahan menenangkan putri kecilnya itu. Ingin sekali Nara menghampiri mereka berdua, namun segan. Siapa dia? Sebagai apa? Akhirnya Nara hanya berjalan melewati Bian dan Kaila sambil membungkukkan badan.
"Tante." Kaila memanggil Nara. Rupanya Kaila menyadari kehadiran Nara di depannya. Kaila pun berontak dan memilih turun dari gendongan Ayahnya itu. Kaila berlari kecil dan memeluk walaupun hanya bisa sebatas paha Nara.
"Eh, anak cantik kenapa nangis?" Tanya Nara yang akhirnya jongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan Kaila. "Kenapa?" Tangan Nara mengusap kedua pipi Kaila yang sudah basah karena menangis.
Bian pun mendekati Nara dan Kaila. "Udah, yuk, pulang. Kasihan tante Nara juga mau pulang." Bujuk Bian pada Kaila.
"Ngga mau." Jawab Kaila masih merajuk kepada Bian itu.
"Kaila kenapa? Udah jangan nangis, ya. Cantiknya hilang, loh." Kata Nara berusaha menghibur bocah berumur lima tahun itu.
"La mau main, Tante. Sama Ayah ngga boleh." Jawab Kaila pada akhirnya. Ia menunduk seperti ingin menangis lagi.
"Ini udah sore, Sayang. Mainnya besok lagi. Mending sekarang Kaila pulang, mandi, istirahat, biar besok bisa main di sekolah." Jelas Nara pada Kaila dengan lembut. Tangisan Nara perlahan mulai berhenti. Tak sesenggukan seperti sebelumnya.
Bian menatap takjub sosok wanita yang di depannya ini. Hanya dengan beberapa kalimat saja, tangisan putri kecilnya mereda. Tak ada barang untuk iming-iming, tak ada janji yang muluk-muluk. Ajaib.
"Nah, bener kata Tante Nara. Yuk, pulang." Ajak Bian pada Kaila akhirnya. Bian mengulurkan tangannya untuk menggandeng Kaila.
"Tante Cantik ikut pulang sama La, ya?" Kata Kaila sambil menatap mata Nara yang membuat Nara terlonjak kaget dan salah tingkah.
"Eh, engga. Tante bawa motor, nanti motor tante gimana, dong? Udah, ya, Kaila sama Ayah." Kata Nara menolak ajakan Kaila. Bisa-bisanya Kaila berkata demikian. Nara pun tak habis pikir.
Akan diletakkan di mana muka Nara? Pulang bersama bosnya yang pasti akan menjadi bahan gunjingan satu kantor. Bisa saja besok masuk akun gosip di platform online.
"Ayo, Kaila. Kaila udah ditunggu Oma di rumah, loh." Ucap Bian membohongi Kaila. Akan memakai senjata apalagi dia untuk membujuk Kaila.
"Ngga mau. Kaila mau sama Tante Nara." Rengek Kaila yang hampir akan menangis lagi.
Akhirnya Nara berdiri dan menatap Bian tanda dia kebingungan. Kalau boleh jujur, Nara tak akan mau. Dia tidak sanggup mendapat gosip murahan dari mulut para karyawan PT Adiwarna esok hari. Jika bisa Nara menghilang tanpa ada yang tahu, Nara akan melakukannya sekarang juga.
"Ayo, Tante, ayo." Kata Kaila sambil menggerak-gerakkan tangan Nara tanda dia ingin mengajak pulang. "Nara, bisa kita bicara sebentar?" Bian bersuara pada akhirnya.
Nara pun mendekat ke arah Bian. "Bisa kamu turuti permintaan anak saya?" Nara terlonjak. Awalnya ia menunduk, saat ini mendongak dan menatap ke arah Bian dengan mengerutkan keningnya.
"Pak, saya ngga mau jadi bahan gunjingan, ya. Lagian saya bawa motor." Jelas Nara pada Bian. Sepertinya sudah kelewat batas, Nara berbicara dengan bosnya seperti dengan teman sendiri. "Maaf, Pak. Maksud saya, saya ngga mau, soalnya saya bawa motor. Nanti motor saya gimana?" Jelas Nara ulang, perkataannya direvisi agar terlihat lebih sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...