🦋 Halohai! 🦋
Akhirnya aku bisa bikin Mas Bian yang katanya sekuat baja itu sakit.
Tapi aku juga yakin, sih, sakitnya cuma bentar.
Ya, udah, lah, yaaa......
Namanya juga otot kawat tulang besi, amat sangat tahan banting.
-
"Saya bilang ngga perlu. Saya cuma butuh istirahat," kata Bian dingin.
Setelahnya Bian memejamkan matanya kembali. Berbeda dengan Nara yang mendongakan wajah ke atas agar air matanya tidak turun dengan bebas. Hatinya sesak, sesak sekali. Dia tahu ini kesalahannya, tapi apa ada yang salah jika dia khawatir terhadap kondisi suaminya saat ini?
Nara pun membereskan termos, kain, dan wadah kecil lainnya di nakas. Kakinya sudah tidak bisa dia ajak kompromi lagi untuk naik turun tangga karena sudah merasa pegal. Akhirnya, Nara masuk ke dalam kamar mandi kamarnya.
Tumpah ruah semua.
Nara membekap mulutnya agar isakan itu tidak lolos terdengar. Dia sandarkan punggungnya di tembok dan sesekali tubuhnya bergetar. Sebenarnya dia sudah menguatkan dirinya sendiri untuk tidak selemah ini, namun tetap saja tidak bisa.
Berbagai rasa bersalah muncul di benaknya. Dia selalu berandai agar ini semua tidak perlu terjadi. Beberapa menit Nara menumpahkan semua rasa sakit di hatinya.
Akhirnya, ketika dia kembali untuk memejamkan mata, orang-orang tidak perlu tahu apa yang terjadi.
-
23.00
Bian pun terbangun dari tidur pulasnya. Dia menyentuh kening, terdapat lipatan kain lagi. Pasti Nara yang memberinya ini. Suhu tubuh yang dia rasakan memang sudah menurun, namun badannya masih terasa sangat lelah. Yang dibutuhkan saat ini memang hanya istirahat cukup. Dia menoleh ke arah kanan dan mendapati Nara yang tidur memunggunginya.
Bian mengerutkan keningnya, mengapa Nara tidur membelakanginya?
Sebesar apapun pertengkarannya dengan Nara, belum pernah istrinya itu tidur dengan posisi demikian. Namun pikiran Bian saat ini adalah Nara pasti sudah sulit menentukan posisi tidur yang nyaman. Bian pun hanya menarik selimut setinggi pundak Nara karena hawa dingin yang diakibatkan oleh hujan malam ini.
Setelahnya Bian memejamkan matanya kembali. Dia hanya berharap esok hari tubuhnya sudah baik-baik saja.
-
Dini hari, 01.00
Nara mengerjapkan matanya. Sungguh, hawa dingin masih saja dirasakan oleh Nara. Bahkan saat dia membuka matanya, pusing sedikit dirasakan. Dia pun masih mendengar suara hujan di balik balkon kamarnya. Entah dingin karena hujan atau karena memang dia masuk angin akibat semalam berada di halte hingga bajunya sedikit basah.
Baru saja memejamkan matanya kembali dan membenarkan selimut, Nara merasakan mual yang sangat hebat. Dengan cepat Nara bangun dari posisinya yang tengah berbaring dan berjalan setengah berlari menuju ke kamar mandi. Bahkan tubuhnya yang terhuyung tidak dirasakan oleh Nara. Benar saja, ini bukan mual karena hamil, namun karena masuk angin. Dia pun memuntahkan segala yang ada di perutnya agar lega.
Pusing sekali. Bahkan sesaat setelahnya lidahnya terasa pahit. Dengan keberanian penuh, Nara keluar dari kamarnya dan mulai menuruni anak tangga untuk menuju ke dapur. Nara pun meminum air putih hangat yang dia harapkan bisa menghilangkan rasa pahit di lidahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
أدب نسائي"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...