Nara mencoba berpikir sejenak dan meyakinkan dirinya. "Kalau malam ini aku mau, gimana?"
Tatapan Bian yang awalnya biasa saja mendadak serius. Dia mengerutkan dahinya seperti tidak percaya mendengar ucapan Nara. Tak munafik, jika Bian menginginkannya juga. Naluri seorang laki-laki, kan, memang begitu. Namun, di sisi lain, dia tak mau jika Nara melakukan itu karena terpaksa.
Tak lekas menjawab, Bian justru tersenyum kikuk sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dia membenarkan sandarannya.
"Saya ngga mau kita berdua ngelakuin itu secara cuma-cuma. Hanya karena perjalanan kita ini bulan madu, jadi mengharuskan begitu." kata Bian yang membuat Nara mengerutkan dahinya.
Selanjutnya Bian menatap lekat mata istrinya itu. "Lelaki mana yang tak memiliki naluri semacam itu? Semuanya punya nafsu tersendiri. Namun, bagi saya, itu kembali lagi kepada mereka yang bisa menahannya atau tidak." Bian memberhentikan perkataannya sejenak. "Saya juga ngga munafik, saya menginginkannya. Tapi, saya ngga mau melakukan itu kalau kamu juga ngga sepenuhnya ingin, Ra." lanjut Bian.
Nara tertegun mendengar itu. Ada benarnya juga. Tapi, bukankah ketika ada sebuah dongeng sebelum tidur maka akan ada juga cinta yang tumbuh setelahnya?
"Kalau kamu menginginkan itu karena baik dari dalam hati dan jiwamu sudah siap, ya, akan saya kabulkan." kata Bian selanjutnya. Bulu kuduk Nara berdiri. Merinding dia rasakan sekujur badannya yang dari dada hingga ke telapak kaki tertutup selimut itu. Tadi, dia membangunkan macan yang sedang tidur, sekarang dia yang kelimpungan sendiri karena macan tersebut sudah membuka mata.
Nara terdiam. Dia bingung saat ini. Bahkan wajahnya dia tundukan dan beberapa kali memejamkan matanya. Di satu sisi dia memang sudah siap, namun di lain sisi, tetap saja ada satu dua ketakutan yang tidak bisa Nara jelaskan.
"Kenapa? Masih belum yakin, kan?" tanya Bian yang menyadari Nara sedikit berbeda. "Udah, ngga papa, saya ngga akan maksa kamu. Mending sekarang tidur, besok kita harus bangun pagi biar fresh soalnya penerbangan pagi, kan?" Nara mengangguk.
"Mas."
"Kenapa lagi?" Bian yang sudah menarik sedikit selimutnya berhenti dan menatap Nara.
"Tapi aku udah bener-bener siap."
Biarlah kali ini terkesan Nara yang mengejar Bian. Tak apalah harga diri Nara turun di depan Bian. Nara hanya menginginkan yang terbaik untuk pernikahannya yang masih seumur jagung. Setelah ini, Nara hanya berharap akan ada rasa diantaranya.
"Yakin?" tanya Bian dengan menatap tajam mata Nara. "Saya ngga mau mendengar setelah malam ini ada kata penyesalan dari semua permintaanmu itu." lanjut Bian. Nara lekas mengangguk.
Keputusannya sudah bulat. Siap tidak siap dia memang harus siap. Akan sampai kapan jika tidak melawan rasa takutnya itu? Persetan dengan cinta, Nara sudah tidak peduli. Dia yakin, dalam hati kecilnya sudah ada cinta untuk Bian walau hanya setitik.
Bian tersenyum seperti menandakan dia juga ingin melakukannya. Klek, Bian mematikan lampu utama kamar hotel. Dua orang yang tengah memadu cinta di bawah remang-remangnya cahaya dari lampu yang berada di luar. Menyalurkan sedikit rasa yang mereka miliki saat ini. Berharap rasa itu akan menjadi sebuah cinta yang nyata nantinya.
Mereka adalah dua orang asing yang dipaksa keadaan untuk bersama. Menjalin sebuah kisah tanpa adanya cinta. Berharap setelah ini cinta itu tumbuh di dalam hati, jiwa, dan perasaannya masing-masing.
-
Keesokan paginya, 04.30 WITA
Nara mengerjapkan matanya saat alarm ponsel yang berada di nakas bebunyi. Dia masih setengah sadar dan mendapati kepalanya sedang bersandar di dada bidang milik Bian yang tidak ditutup kaos barang sehelai benang pun. Matanya terbuka lebar saat mengingat kejadian semalam. Senyum itu tidak bisa dibohongi dari mulut Nara. Lega. Dia telah melepas semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Chick-Lit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...