Minggu, 04.30
Adzan subuh sudah terdengar hingga Nara terusik dalam tidurnya. Ternyata semalam tidurnya nyenyak hingga tak terbangun barang sedetik pun. Padahal, jika Nara tidur di tempat yang asing akan sangat sulit untuk memejamkan matanya. Pun dengan tubuhnya yang diam, biasanya jika dia tidur sendiri di kamar, sudah berputar mengelilingi kasur. Ternyata tubuhnya bisa diajak kompromi sekarang.
Nara pun mengerjapkan matanya. Di bawah cahaya remang-remang dia meraba sebelahnya. Mendapati dada bidang Bian. Dia pun menggoyang-nggoyang tubuh Bian.
"Mas, bangun. Subuhan dulu."
Bian masih belum juga tersadar dari tidurnya itu. Nara menggelengkan kepalanya. Ternyata suaminya ini kebo juga. Cerita Mama Hanna beberapa hari lalu berarti benar adanya, kalau Bian memang suka tidur dan akan sulit dibangunkan.
"Mas..." Panggil Nara kedua kali. Sepertinya Bian sudah membuka matanya, dia pun menyalakan lampu utama. Matanya mengernyit karena silau.
"Ayo, salat subuh dulu." Nara sudah menyandarkan punggungnya di sandaran kasur. Bian masih setengah tidur dan berusaha membuka matanya.
Nara pun beranjak dari tempat tidur untuk ke kamar mandi mengambil wudhu. Keluar dari kamar mandi Nara terkejut melihat Bian yang bergelung dengan selimut lagi. Nara menghela napas kasar. Dia pun mendekati Bian.
"Mas, Ya Allah. Bangun dulu. Berapa lama, sih, salat subuh?" Kata Nara yang berusaha membuka selimut yang Bian pakai.
"Iya, iya, iya." Bian terduduk lalu berdiri menuju kamar mandi.
Mereka pun melaksanakan salat subuh pertama sebagai suami istri. Setelah melaksanakan salat subuh, Bian mandi pagi bergantian dengan Nara.
Hari ini Bian tidak ada jadwal apa-apa. Dia juga mengambil cuti dua hari. Walaupun belum ada bulan madu, namun hitung-hitung waktu dua hari ini Bian gunakan untuk menghabiskan waktu bersama Nara dan Kaila.
-
Pukul delapan keluarga Adiwarna sudah makan pagi. David pun ada. Katanya, menghormati sang kakak yang baru saja menikah. Walaupun terlihat cuek, namun dari awal persiapan Bian dan Nara menikah, David memiliki kontribusi yang besar di dalamnya. Mulai dari dia yang memilih souvenir, hingga urusan terkecil lainnya.
Saat ini Hanna, Bian, David, Nara, dan Kaila sudah berada dalam satu meja yang sama.
"Gimana Nara, nyenyak tidurnya?" Tanya Hanna.
Nara tersenyum malu dan mengangguk. "Iya, Ma."
"Udah ngapain aja semalem?" Tanya David yang tidak sadar bahwa di situ juga ada Kaila.
Bian yang mengerti arah pembicaraan adiknya itu pun langsung menegur. "David." Kata Bian menatap adiknya itu dengan sorot mata yang tajam penuh ancaman.
"Apa, sih, Bang. Orang aku tanya semalem udah salat maghrib? Salat isya? Beres-beres kamar?" Jawab David sambil tertawa. "Pikiranmu itu, loh, Bang."
Nara yang melihat kakak beradik sedang bercanda semacam ini ikut tersenyum. Dia jadi teringat Ressa. Baru sehari tak bersama keluarganya, Nara sudah rindu.
Pagi ini Nara tidak memasak. Baru saja dia turun dari kamarnya, Mbok Nah sudah memasak nasi goreng dalam porsi yang banyak. Nara berdecak kagum, rasa nasi gorengnya enak. Nara harus belajar banyak dari Mbok Nah.
Suasana makan pagi hari ini sangat hangat. Dari Kaila yang bertanya hal-hal nyeleneh, hingga David yang terus-menerus bercanda membuat Nara bersyukur tiada henti. Ternyata, keluarga baru yang dia dapat mulai kemarin juga sama hangatnya dengan keluarga Nugroho.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
أدب نسائي"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...