44 - Sayang?

3.9K 443 119
                                    

Aku ngga tahu mau ngomong apa lagi, komentar di part 43 kemarin jebol banget sampe aku ngga bisa bales. Maaf, ya, tapi lagi dan lagi aku udah baca semuanya. 🥺❤️

Terima kasih untuk antusiasme kalian semua. Asli, kalau kalian ngga komentar, vote, dan masih semangat buat baca, kayaknya aku juga bakal berhenti nulis cerita ini. Makasih, ya, sekali lagi.

Btw, semoga kalian masih suka dan tetep suka, ya. Aku harap, ceritaku ini bakal jadi cerita yang selalu kalian tunggu.

Selamat membaca!

----

Keesokan paginya,

04.30

Nara mengerjapkan matanya beberapa kali. Terhitung dari semalam, dia tidak bangun barang sedetik pun. Entah karena lelah atau efek obat yang diminumnya sebelum tidur semalam, Nara juga tidak tahu. Masih dengan setengah sadar, ekor matanya dapat melihat sebuah botol yang tergantung di atas kepalanya. Infus. Cairan itu masih menetes dan mengalir melalui selang kecil ke tangan kirinya.

Nara akan menggerakan tangan kanannya, namun terasa berat sekali seperti ada beban di atasnya. Dengan kesadaran yang belum penuh itu, Nara mencoba melihat ke arah tangan kanannya itu. Dia mengerutkan keningnya, sejak kapan suaminya berada di sini? Seingatnya, semalam belum ada.

Tangan kanannya dia gerakan dengan perlahan takut-takut membangunkan Bian, tapi tetap tidak bisa. Kepala Bian cukup berat dan dengan tubuh yang masih tidak berdaya, Nara belum sekuat itu untuk menggerakan tangannya.

"Mas, Mas Bian," panggil Nara dengan lirih. Nihil. Tidak ada respon apapun dari Bian, bahkan tidak ada pergerakan sama sekali.

"Mas," kedua kalinya Nara memanggil namun saat ini tangan kirinya dia usapkan di punggung Bian dengan perlahan. Terlihat ada pergerakan dari sang empunya.

Bian pun dengan perlahan mendongakan wajahnya. Mengerjapkan matanya beberapa kali dan menangkup wajahnya. "Kok, kamu udah bangun?" tanya Bian yang masih setengah sadar.

Nara hanya tersenyum. "Subuhan dulu, yuk," jawab Nara mencoba untuk setengah duduk. Dengan cepat Bian membantunya untuk setengah duduk di brangkar tempat tidur yang sedang Nara tempati itu.

"Kamu mau wudhu? Kalau susah tayamum aja, nanti saya bantu," kata Bian sambil menatap lekat mata Nara.

Nara menggeleng. "Aku mau wudhu aja, bisa, kok," jawab Nara. Dengan cekatan Bian membantu Nara untuk menuju kamar mandi ruang rawatnya itu untuk berwudhu.

Nara dan Bian pun melaksanakan salat berjamaah dengan Nara yang berada di tempat tidurnya. Salat subuh selesai, mereka merapal doa masing-masing. Setelah itu, Bian duduk di samping brangkar dan Nara sedang melipat mukena yang sudah digunakan tadi.

Tidak ada kata, kalimat, dan sepatah kata pun keluar dari mulut Bian. Dia hanya menatap lekat mata istrinya itu. Nara yang merasa sedang diperhatikan pun memberhentikan aktivitasnya dan mengerutkan keningnya. Belum sempat Nara berbicara, Bian berdiri dan memeluk Nara dengan erat. Bian tenggelamkan wajahnya di pundak milik istrinya itu.

"Mas, aku engap," kata Nara yang merasakan pelukan suaminya terlalu erat itu. Bian pun melepaskan pelukan dan duduk kembali di samping Nara. Tangannya belum terlepas menggenggam tangan kanan milik Nara.

"Saya minta maaf, ya," kata Bian. Satu kalimat tersebut meruntuhkan pertahanan Nara. Dari sorot mata Bian, Nara tahu itu permintaan maaf yang tulus. "Maaf kalau kemarin saya egois, maaf kalau kemarin saya ngga ada di samping kamu padahal kamu butuh bantuan, maaf kalau kemarin saya bener-bener kalut sampai ninggalin kamu. Saya minta maaf, ya," kata Bian. Dilihat dari pelupuk matanya, ada bayangan air mata yang siap jatuh, namun dengan cepat Bian mendongak.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang