10.30
Siang ini Bian hanya memimpin beberapa meeting. Iya, tak sepadat biasanya. Walaupun begitu, Bian telah memerintahkan seluruh karyawannya untuk bekerja cepat dan tepat. Hal itu agar proyek besar yang sedang digarap cepat selesai dan dapat memberikan jatah libur untuk karayawannya. Bian memang sebaik itu, memberikan libur untuk mereka. Bian memiliki pemikiran bahwa keluarga itu nomor satu, bagaimana pun kesibukannya.
Di sela-sela Bian yang sedang fokus menatap monitor komputernya, tiba-tiba ponselnya berdering tanda telepon masuk. Bian pun melirik sekadar melihat siapa yang menelponnya siang ini. Mama Hanna. Bian segera mengangkat telepon dari mamanya itu. "Assalamualaikum, Ma. Kenapa?" Suara Bian mengawali.
"Waalaikumsalam, kamu lagi sibuk ngga?" Tanya Mama Hanna di seberang telepon.
Bian yang sedang membaca lembar kelima dokumen pun berhenti sejenak, "Ngga juga, sih, Ma. Jam sebelas Bian ada meeting, tapi setelah dzuhur udah free. Tinggal ngerjain beberapa kerjaan aja. Kenapa emang, Ma? Ada masalah sama Mama atau Kaila?" Tanya Bian sedikit khawatir. Tak biasanya Hanna menelepon siang-siang begini kecuali memang ada masalah atau hal yang mendesak.
"Engga, ngga ada apa-apa. Ini, kan, Mama habis jemput Kaila sekolah, terus dia mau ke kantor kamu katanya mau ketemu sama..." Perkataan Mama Hanna terhenti sejenak. "Sama siapa, Sayang?" Terdengar seperti bertanya pada Kaila. "Oh, sama Tante Nara atau siapa ini kata Kaila. Boleh ngga? Takutnya kamu sibuk." Mendengar hal itu Bian menghembuskan napasnya kasar. Kaila dengan Nara lagi.
"Halo, Bian? Dengar ucapan Mama, kan?" Ternyata Bian terdiam selama beberapa saat.
Bian yang sedang bepikir sejenak pun menyadari bahwa Hanna sudah berbicara lagi di seberan sana. "Iya, Ma. Denger, kok. Iya, ngga papa ke sini aja. Nanti langsung masuk ke ruangan Bian aja, ya." Bian pun mematikan teleponnya setelah memberikan salam kepada Hanna.
Bian yang tengah fokus pada laporan yang sedang dia periksa mendadak berhenti sejenak. Menyenderkan badannya pada kursi. Menghela napas. Dia berpikir bahwa semakin hari, Kaila akan semakin dekat dengan Nara. Nara memang memiliki daya tarik sendiri. Dari segi sosok keibuan, Nara memang juaranya. Walaupun umurnya masih terhitung cukup muda.
Setelah dua puluh menit berlalu, Mama Hanna dan Kaila sudah sampai di PT Adiwarna. Mama Hanna menggandeng Kaila masuk ke dalam kantor. Lama sekali ternyata Hanna tak menginjakkan kakinya ke kantor milik suaminya ini, sepertinya terakhir ke kantor sekitar delapan bulan lalu. Cukup banyak yang berubah.
"Selamat siang, Ibu." Sapa para karyawan yang sudah mengetahui kalau Hanna memang pemilik kedua setelah Hendra Adiwarna. Hanna mengangguk dan memberikan senyuman kepada mereka yang menyapa atau sekadar memberikan senyum tanda penghormatan.
Sambil menggandeng tangan kiri Kaila, Hanna sampai di meja resepsionis depan ruang kerja Bian. Ternyata di situ ada Darel. "Bu, cari Pak Bian, ya?" Darel mendekat ke arah Hanna dan Kaila. "Iya, putra saya ada, kan?" Tanya Hanna memastikan.
"Iya, ada, Bu. Pak Bian akan meeting sebentar lagi, mungkin beliau sedang persiapan di ruangannya. Mari saya antar, Bu." Darel mengantar Hanna dan Kaila.
Mereka bertiga berjalan beberapa langkah menuju ruangan Bian. "Silakan masuk, Bu." Darel membukakan pintu untuk Hanna dan Kaila.
"Ayaaaah!" Teriak Kaila sambil berlari menuju ke meja kerja Bian. Bian terlonjak sedikit kaget akan kedatangan Kaila. Bian pun membawa Kaila ke pangkuannya. "Ih, ngagetin Ayah aja." Bian terlihat merajuk. "Ma." Bian keluar dari meja kerjanya dan mencium tangan Hanna. "Duduk, Ma." Bian mempersilakan Hanna duduk.
"Kamu katanya mau meeting? Jam berapa?" Tanya Hanna pada Bian yang duduk bersamanya dan Kaila. Bian melihat jam tangan, sebelas kurang lima. "Ini lima menit lagi." Bian terlihat mengambil ponsel dari saku jas kirinya. Tak berapa lama, Bian menelepon seseorang. "Kamu ke ruangan saya, bawa semua dokumen yang akan saya gunakan meeting dengan PT Gemilang. Sekarang. Sebentar lagi meeting akan dimulai." Setelah memerintahkan seseorang ke ruangannya, Bian mematikan teleponnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Genç Kız Edebiyatı"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...