Izinkan aku bercuap-cuap manja terlebih dahulu.
Kemarin pada kesel sama Mas Bian, ya? Aku pas nulis ngga kesel, tapi liat komentar kalian, kok, ya, jadi ikut kesel, wkwk.
Oke, ini huru-hara kedua. Agak emosional, ya. Lagi jadi batu semua di sini. Silakan dinikmati!
Anyway, seperti yang sudah aku sampaikan, kalau minggu ini dan minggu depan aku ngga update secara berkala (2 hari sekali seperti biasa), mohon dengan sangat untuk dimaklumi, ya. Aku lagi cukup banyak kegiatan kuliah dan minggu depan udah mulai UTS. Mohon doanya, ya! Hihi. Tapi tenang aja, minggu ini kayaknya masih bisa, kok, update dua hari sekali.
Terima kasih, semoga masih setia untuk menunggu<3
Selamat membaca~
_____
[Flashback on]
"Ya, udah. Tapi, harus tetep jaga kebersihan. Ngga boleh kebanyakan sambal, ngga boleh minum es, pokoknya jangan makan yang sembarangan," nasihat Bian itu terdengar hingga telinga Anin yang membuat dia tersenyum. Berbeda sekali seorang Abian Cakra Adiwarna di matanya saat di kantor dan saat menjadi suami Nara.
"Iya, Mas Bian. Makasih, ya. Aku pergi dulu. Assalamualaikum," salam Nara yang setelah mendapat jawaban dari Bian langsung mematikan ponselnya.
Terlihat Anin masih senyam-senyum tidak jelas.
"Kenapa?" tanya Nara yang keheranan itu.
Anin pun menghentikan tawanya. "Lucu tahu. Di kantor aja galak, di depan kamu ngga ada, tuh, galak sedikit pun," kata Anin sambil menggandeng Nara untuk berjalan menuju pintu utama.
Saat Nara dan Anin berjalan beriringan, tiba-tiba Nara merasakan pusing. Dia pun memberhentikan langkahnya sejenak. Anin yang melihat Nara memijat keningnya pun terlonjak kaget, sedari tadi Nara baik-baik saja.
"Eh, kenapa?" tanya Anin yang sudah setengah panik itu. "Duduk dulu, duduk dulu," Anin pun memapah Nara untuk duduk di kursi panjang yang tertulis kursi tunggu itu.
Nara pun duduk dan masih mengerjapkan matanya beberapa kali. Napasnya juga tersengal. Pening sekali. Bahkan pandangannya remang-remang. Tiba-tiba ada seorang suster mendekat ke arah Anin dan Nara.
"Mba, kenapa?" tanya suster itu. Nara masih memejamkan matanya sambil bersandar.
Anin menatap suster yang berdiri di depannya itu. "Ngga tahu, Sus. Ini teman saya tiba-tiba katanya pusing," jawab Anin yang masih bingung itu. Dia juga tidak tahu harus melakukan apa.
Suster itu mengangguk. "Lebih baik langsung diperiksa saja, Mba. Takut ada apa-apa sama teman Mba," saran suster itu. Nara menggeleng. "Ngga usah, Nin, aku ngga papa, kok," kata Nara yang berusaha untuk duduk tegak.
"Mba, lebih baik periksa. Kalaupun nantinya tidak ada penyakit apapun, setidaknya Mba sudah tahu apakah ada yang salah dari tubuh Mba atau tidak," jelas suster itu.
Anin pun menatap sahabatnya itu. "Ya, periksa aja, ya? Aku takut kamu kenapa-napa," kata Anin membujuk Nara. "Ayo, lah," kata Anin mengajak Nara berdiri. Anin sudah panik. Bagaimana tidak? Mengajak anak orang untuk pergi, namun malah membuatnya sakit juga begini.
"Mari saya antar, Mba," kata suster itu.
Nara dan Anin pun diantar ke bagian pemeriksaan kesehatan umum. Untung saja antreannya sudah habis. Hanya ada beberapa orang yang sedang menunggu untuk mengambil surat atau entah apa, Anin juga tidak tahu.
"Mau aku temenin?" kata Anin. Nara menggeleng. "Ngga usah, udah kuat jalan, kok," kata Nara yang masuk ke ruangan ditemani suster.
Sekitar setengah jam berlalu, Nara belum juga keluar. Anin yang tengah menunggu di depan pun sedikit banyak merasa resah, takut-takut ada sesuatu yang salah dengan sahabatnya ini. Pasalnya, saat dia diperiksa tadi, seperti tidak ada hingga selama ini. Mengapa Nara lama sekali?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...