🦋 Halohai! 🦋
Part ini full BiaNara, ya. Eh, ada dikit yang bukan, tapi dikit aja. Silakan dinikmati, semoga bisa menikmati, hihi. 💗
Oh, iya, aku mau kasih tahu, mungkin ini update terakhir sebelum aku rehat sejenak. Aku mau UTS, gais, huhu~ Doain, yaaaa.
Sama Marhaban Ya Ramadhan, yaaa. Selamat berpuasa bagi temen-temenku yang menjalankan di sini. Semoga berkah selalu, ya. ❤️
Sebenernya disela-sela UTS aku juga pengin tetep update, cuma takut ngga bisa update beneran. Jadi, daripada aku kasih harapan palsu ke kalian, lebih baik aku ngga janji, kan? 😆
Pokoknya cuma minta doa yang baik-baik aja, deh.
Selamat membaca part ini, ya. Jangan lupa vote dan komentar yang banyak.
Semoga suka.
Samahita; tegar, kuat.
—
Satu minggu kemudian, Sabtu; 05.30
Tepat hari ini usia kandungan Nara memasuki minggu ke-36 yang itu artinya sudah masuk ke bulan sembilan. Punggung Nara bahkan sudah sulit sekali diajak kompromi karena berjalan sedikit saja sudah merasa lelah karena perutnya benar-benar seperti turun ke bawah. Bahkan dalam posisi duduk pun, Nara bisa saja menjadi lasak karena tidak bisa menemukan posisi yang nyaman. Semua itu Nara nikmati karena menjadi seorang Ibu merupakan nikmat yang paling indah sebagai seorang perempuan katanya.
Pagi ini, Nara berniat untuk mengajak suaminya untuk berjalan-jalan pagi keliling komplek. Terhitung semenjak direkomendasikan oleh Dokter Vania mengenai olahraga ringan yang harus dilakukannya, seminggu ini Nara sudah tiga kali melakukan jalan-jalan pagi. Walaupun hanya di depan rumah karena Bian tak mengizinkan keluar, namun Nara merasa tubuhnya jauh lebih segar dibandingkan biasanya.
Selama satu minggu kemarin juga Nara sudah menjenguk Ayahnya sebanyak dua kali. Ayahnya memang sudah pulang dari rumah sakit empat hari lalu. Nara bersyukur, keadaan Ayahnya itu semakin membaik dari hari ke hari.
"Mas, kamu hari ini mau ke mana?" tanya Nara seraya duduk di depan meja rias.
Bian yang tengah bersandar di tempat tidur dan memainkan ponselnya pun menatap punggung istrinya sejenak. "Ngga ke mana-mana. Ini, kan, Sabtu. Saya libur. Kenapa?"
"Jalan-jalan, yuk? Tapi keluar rumah, aku pengin keliling kompleks," ujar Nara sambil mengikat rambutnya.
Bian pun turun dari tempat tidur dan mendekat ke arah istrinya itu. Kedua tangannya diletakkan di atas pundak Nara. "HPL kamu itu kapan, ya?"
"Empat hari lagi, sih, kata Dokter Vania."
Dari cermin besar yang berada di depannya, Nara bisa melihat suaminya itu mengangguk. "Kenapa?"
"Ngga papa. Emang kamu masih kuat buat jalan-jalan? Saya justru takut kamu kenapa-kenapa," ujar Bian mengungkapkan ketakutannya lagi dan lagi.
Nara justru terkekeh mendengar itu. Suaminya itu benar-benar seperti seseorang yang belum pernah menghadapi seorang perempuan hamil. Padahal, sudah ada Dinda dahulu yang harus Bian hadapi.
"Kenapa, sih, Mas? Kamu itu selalu ngomong takut ini, takut itu, yang justru bikin aku juga jadi takut akhirnya," kata Nara mengungkapkan keresahan hatinya.
Nara pun berbalik badan sehingga bisa menatap tubuh jangkung Bian yang tengah berdiri di depannya itu. Terdengar Bian menghela napas kasar. Dari sepenglihatan Nara, suaminya itu memang sedang merasa resah akan sesuatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Literatura Feminina"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...