🦋 Halohai! 🦋
Sebelumnya aku mau cerita dulu.
Masalah kemarin nggantung dan aku anggap selesai mungkin, tapi, ngga tahu, lah, yang bersangkutan tetap ngga mengakui kalau ambil karya aku dan selalu menekankan kalau itu hasil imajinasi dia. Bahkan dia kaget juga setelah baca salah satu part di Amerta, katanya kenapa bisa mirip banget. Aku udah ngomong panjang lebar dichat dan responnya cuma gitu-gitu aja wkwk, yaudahlah.
Ada salah satu pembacanya komentar "31. Dekap (Bian Nara)", terus dihapus. Komentarku juga dihapus padahal aku bilang cuma suruh cek dm. Kenapa coba dihapus kalau emang ngga ada apa-apa?
Aku sebenarnya mau percaya kalau itu emang hasil imajinasi dia, tapi yang bikin aku ngga bisa mikir jernih adalah kenapa bisa sama persis? Kayaknya mustahil kalau isi otakku dengan orang lain itu sama. Kaya aku nulis di laptop terus dipindah ke hp aja kadang udah lupa-lupa inget.
Dan satu hal yang bikin aku sakit hati adalah pembaca dia seolah baper banget sama part 28 itu, komentarnya jebol sampai 60+. Kaya aku pengin banget ngomong, "Itu, punya aku." 😭
Tapi, yaudahlah. Mau gimana lagi, yakan. Doain aja semoga dia dapet imajinasi yang lebih lagi biar bisa mengembangkan cerita yang dia tekuni dengan jauh lebih baik lagi juga.
Selamat membaca, yaaaa.
Enjoy! Semoga suka sama part ini. 🤍-
Keesokan harinya; Kamis - H-5 Ulang Tahun Kaila
06.30
Selesai sarapan pagi, Nara membantu Bian mengenakan jasnya. Hanna dan Kaila sudah berpamitan kepada Nara untuk menunggu di depan rumah.
"Saya berangkat kerja dulu, ya," kata Bian sambil menerima uluran tangan istrinya itu.
Nara mencium tangan suaminya dan mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya. Kabari kalau mau ketemu Mba Dinda," jawab Nara.
"Iya, Sayang."
Jawaban Bian benar-benar membuat Nara terpaku. Bahkan Mbok Nah yang tengah membereskan peralatan makan di meja makan pun menghentikan sejenak aktivitasnya.
Bian pun mencium kening, tak lupa perut Nara, dan diakhiri dengan mengusapnya. "Jangan lari-lari, jangan naik turun tangga, di kamar istirahat, kalau butuh makan atau sesuatu lainnya telepon Mbok Nah," jelas Bian yang membuat Nara memutar bola matanya jengah.
Sudah hafal di luar kepala. "Mbok Nah, saya minta tolong jaga Nara dengan baik. Kalau sampai dia melanggar apa yang sudah saya katakan tadi, langsung kabari saya. Tidak ada lagi berita disembunyikan seperti kemarin, Mbok," lanjutnya.
Mbok Nah yang tengah menumpuk piring pun lekas mengangguk. "Iya, Den."
"Mas, tapi pagi ini aku mau berkebun, boleh, ya? Mau petik strawberry di taman, mau cek mawar putih yang waktu itu aku tanam, sama kayaknya beberapa sayuran ada yang siap panen," ujar Nara.
Bian menggeleng dengan cepat. Jari telunjuknya sudah naik ke depan wajah mungil istrinya itu. "Ngga, ngga ada. Pokoknya kamu di kamar," kata Bian.
Nara sebenarnya sudah tahu jika akan dilarang, namun tetap saja dia ingin menguji kesabaran suaminya di pagi hari. Memang usil.
"Mas, ini anak kamu yang minta. Tega kamu?" pinta Nara dengan nada manja yang membuat Mbok Nah terkekeh.
"Minta apa?"
"Strawberry."
"Bisa saya belikan di mal nanti, mau berapa? Satu kotak? Dua kotak? Atau berapa? Sebutkan," kata Bian yang lagi dan lagi sudah geram
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Literatura Feminina"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...