43 - Hadiah

3.5K 455 174
                                    

Ayo, luapkan emosi kalian pada seorang Abian Cakra Adiwarna! 👀

Sabar, ya, sabar. Calon bapak anak dua ini agaknya membuat siapa saja tersulut emosi.

Sebelumnya, aku mau ngucapin banyak terima kasih, komentar di part kemarin jebol banget. Tapi, rata-rata pada emosi, ya? 😬
Aku udah coba bales sebisaku, kalau ada yang belum, maaf, ya. Cape juga ngetik, hihi. Intinya, aku baca semua komentar kalian, kok. ❤️

Aku sangat menunggu komentar dari kalian, baik itu komentar seneng, sedih, emosi, apapun itu. Part ini, komen yang banyak lagi, yaaa.

Selamat membaca!
----

"Mama?" tanya Bian saat melihat Hanna membawa dua kantong berisi dua botol air mineral.

Hanna yang merasa terpanggil pun menoleh ke belakang. "Ya Allah, anak Mama akhinya dateng juga," kata Hanna sambil menerima uluran tangan Bian.

"Kenapa Mama ngga ngabarin aku, sih?" tanya Bian.

Hanna mengerutkan keningnya. "Mama udah telfon kamu berkali-kali, Bian. Ngga ada satu pun yang diangkat. Pesan yang Mama kirim aja ngga kamu baca sama sekali," jawab Hanna dengan geram. Dia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi putranya ini.

"Coba buka ponsel kamu," kata Hanna yang sudah geram itu. Hanna dan Bian pun berjalan menuju ruangan Dahlia 8, namun mereka belum masuk ke ruangan. Hanna duduk terlebih dahulu setelah itu disusul oleh Bian di sebelahnya sambil mengambil ponsel yang berada di saku celana kanannya.

48 panggilan tak terjawab. Mama. Mbok Nah.

34 pesan belum terbaca.

Bian mengerutkan keningnya.

"Udah? Itu kata kamu Mama ngga ngabarin?" tanya Hanna pada Bian. Bian masih diam dan hanya menengadahkan pandangannya ke atas. Dia pun menggaruk kepalanya yang mungkin tidak gatal itu.

Hanna membenarkan duduknya. "Nara udah tidur, Mama mau bicara sama kamu di sini," kata Hanna.

"Kenapa Nara bisa masuk rumah sakit, sih, Ma?"

Hanna menatap Bian. "Kandungannya lemah. Tadi pagi Nara mual, dia ngga mau makan karena setiap makanan yang masuk ke mulutnya, pasti bakal langsung keluar," jawab Hanna menjelaskan. "Terus tadi pulang dari rumah Ayahnya, dia hampir pingsan. Mama khawatir, makanya langsung dibawa ke sini," jelas Hanna selanjutnya.

Bian hanya menghela napas. Hatinya berdesir untuk kesekian kalinya. "Terus kenapa Mama malah izinin Nara ke rumah Ayah?" tanya Bian heran.

Hanna menggelengkan kepalanya. "Awalnya Mama ngga izinin, tapi, dia sendiri yang sedikit banyak maksa. Mama mana tega, Bian. Ngeliat kondisinya yang ngga baik-baik aja udah bikin Mama ikut ngerasain sakit," jawab Hanna sambil menggenggam tangan Bian.

"Kenapa kamu bisa ngelakuin hal bodoh kaya gini, sih, Nak? Apa dengan kamu pergi ninggalin Nara masalahnya akan selesai? Kamu terlalu gegabah, kamu ngga dengerin dulu penjelasan Nara," kata Hanna yang hampir saja tersulut emosi.

Hanna menghela napasnya kasar. "Sekarang liat, kan? Istrimu ngga baik-baik aja karena kamu ngga di sampingnya waktu dia butuh. Bahkan tadi dokter bilang kalau Mama telat sedikit bawa Nara ke rumah sakit, anakmu udah ngga bisa tertolong. Dia masih sangat lemah, belum sekuat itu," jelas Hanna.

Bian dengan cepat mendongak. Dia seperti tertampar dengan kalimat-kalimat tersebut. Iya, dia salah, amat sangat salah. Tapi, ketika dia mengingat kejadian kemarin malam, apa tindakan Nara juga bisa dibenarkan? Tidak juga.

"Ya, aku cuma marah, Ma. Kenapa Nara ngga kasih tahu aku?" ujar Bian sambil menyandarkan punggungnya. Sungguh, dia lelah baik fisik maupun pikirannya. Pekerjaan hari ini membuat tenaganya banyak terforsir, belum lagi masalah ini.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang