Bian dan Nara duduk berdampingan dengan dipisahkan satu meja kecil berbentuk lingkaran. Tatapan Nara kosong melihat ke depan. Entah, lah, perasaannya benar-benar tak menentu. Pikirannya kalut. Bian pun menoleh ke arah kanan, arah Nara duduk. Dia melihat Nara yang sudah jelas seperti tak baik-baik saja.
"Kenapa? Apa yang akan kamu bicarakan?" Tanya Bian mengawali.
Bian memberanikan diri untuk bertanya terlebih dahulu karena jika mereka diam terus menerus, entah akan sampai kapan. Hingga berganti hari pun mungkin bisa. Terdengar Nara yang menghela napas dan menunduk. Nara meremas kedua tangannya. Selain menghangatkan badan karena udara yang cukup dingin, Nara melakukan itu untuk menutupi kegugupannya.
"Ngga papa, Pak, saya cuma bingung. Kok, bisa?" Tanya Nara sambil tersenyum kecut.
Bian yang mengetahui Nara tak seperti biasanya pun lekas berbicara. "Kok, bisa secepat ini maksud kamu?" Nara mengangguk.
"Ya, bisa. Setelah saya merenung satu malam kemarin, entah kenapa saya seperti mendapat jawaban. Karena saya tiba-tiba merasa yakin sama kamu." Kata Bian yang juga saat ini sama-sama menatap lurus ke arah depan.
Giliran Nara yang menatap ke arah Bian. "Secepat itu? Bahkan saya sendiri ngga percaya, Pak."
"Saya juga awalnya ngga percaya." Jawab Bian dengan tersenyum tipis.
Nara ingin sekali meninju wajah bosnya itu yang justru malah tersenyum. Bisa-bisanya dia santai sekali, padahal Nara sendiri kelimpungan dan masih bertanya-tanya ini mimpi atau nyata.
"Pak, saya serius." Kata Nara yang lama-lama makin geram.
Bian justru malah melebarkan senyumnya, hingga giginya terlihat. "Apa pernah saya bercanda dengan semua yang sudah saya katakan? Saya rasa tidak. Pun jika kamu ingat, di kantor saya tidak pernah bercanda sedikit pun dengan ucapan saya."
Nara mengusap wajahnya frustasi. "Pak, Bapak tahu, kan, Bapak sama saya itu ngga ada rasa apa-apa. Jangankan cinta, rasa suka saja saya yakin dalam benak Bapak tidak ada." Nara menghela napas. "Kenapa Bapak berani sekali melamar saya?"
"Sudah saya jawab di awal tadi, semoga kamu masih ingat."
Nara beristighfar dalam hati. Benar-benar bosnya ini membuatnya naik pitam setengah mati. Seharusnya ini menjadi hal yang membahagiakan karena Nara dilamar, namun tidak demikian. Ingin mendapat penjelasan yang waras saja rupanya Nara sulit. Iya, bosnya gila. Mendapat jawaban hanya dalam satu kali renungan.
"Saya percaya dengan cinta datang karena terbiasa. Saya yakin, kamu bisa membuat saya jatuh cinta. Juga dengan saya sendiri, saya akan membuat kamu jatuh cinta kepada saya cepat atau lambat. Sesederhana itu." Kata Bian selanjutnya.
Nara tersenyum kecut. "Pak, cinta itu bukan sebuah permainan. Pernikahan itu bukan sebuah lelucon jenaka yang bisa membuat orang-orang tertawa karena melihat drama. Pernikahan itu ikatan suci, loh, Pak."
"Loh, siapa yang sedang berbicara kalau itu semua lelucon? Saya hanya meyakinkan kamu dan meyakinkan diri saya sendiri." Jawab Bian santai.
"Apa Bapak melakukan semua ini demi Kaila?"
Bian mengangguk dengan yakin. "Ya, tentu saja. Apapun akan saya lakukan demi putri kesayangan saya."
"Berarti Bapak benar-benar mau menerima risiko apapun kedepannya?"
Bian mengangguk lagi. "Tentu saja." Bian kemudian menghela napas. "Terserah kamu, saya tidak akan memaksa untuk menerima atas lamaran saya."
Entah bagaimana, entah apa yang merasuki tubuh Nara, semakin banyak kalimat yang dia dengar dari mulut Bian, hatinya semakin mengatakan "iya". Atau memang pada dasarnya Nara juga mendapat jawaban secepat itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Literatura Kobieca"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...