🦋 Halohai! 🦋
Haloo, kalian apa kabar? Semoga dalam keadaan baik, sehat, dan bahagia selalu, ya.
Akhirnya aku bisa update EXTRA PART-nya Amerta setelah sekian abad ngilang dari dunia wattpad ini😁🙏🏻
Sekalinya muncul aku kasih panjang. Semoga kangennya terobati, yaaa. Karena sejujurnya aku juga kangen banget sama BianNara🤍💫
Selamat membaca! Jangan lupa vote sama ramein komentarnya yaa biar aku semangat bikin extra part II✨
Adwitiya - tidak ada duanya.
----------
Enam bulan kemudian.
Waktu terasa berjalan begitu cepat, bahkan bayi merah yang enam bulan lalu masih berada di pangkuan Nara, kali ini sudah bisa meracau dan mengoceh tidak jelas. Sesekali hal tersebut membuat Bian dan Nara gemas sendiri karena walaupun tak mengerti maksud dan arti dari ocehan yang digemakan oleh Dewa, namun bagi keduanya itu menjadi hal yang terlampaui lucu.
Rumah tangga keduanya bertambah harmonis. Menurut Nara, menjadi orang tua seutuhnya saat ini adalah hal yang paling mengesankan. Lelah memang lelah karena tumbuh kembang putranya itu seolah sempurna. Pipinya bertambah gembul, rambutnya semakin menghitam, pun dengan bagian tubuh lainnya yang terlihat berlipat karena berat badan Dewa juga semakin bertambah.
Pagi ini, bocah kecil itu masih terlelap di dalam box bayi yang terletak di sudut kamar Bian dan Nara. Keduanya mengurungkan niat untuk membuatkan kamar untuk Dewa karena kata Hanna, Dewa masih terlalu dini apabila tidur sendirian di kamar sebelah Kaila.
"Jas saya mana?" tanya Bian keluar dari kamar mandi.
Nara yang tengah menepuk-nepuk paha putranya pun menoleh. "Itu," tunjuk Nara. "Dasinya mau pakai hitam atau biru juga?" tanyanya kemudian.
Bian pun mengambil jas yang tergeletak di tepi ranjang dan berjalan menuju arah Nara. "Hitam aja ngga papa. Dewa masih tidur?" tanya Bian.
Nara menghentikan sejenak aktivitasnya dan mengangguk, setelahnya dia menghela napas. "Semalam dia begadang ngga tahu kenapa. Jam dua belas bangun, baru tidur lagi jam tiga," jelas Nara.
Bian yang tengah mengenakan jas pun mengerutkan keningnya heran. Semalam dia bisa tidur dengan amat sangat nyenyak bahkan terlewat nyenyak hingga tak mendengar suara tangisan putranya itu. "Kok, kamu ngga bangunin saya?" tanya Bian.
Nara terdiam. Setelah sekian lama keduanya mengurus Dewa, memang baru kali ini Nara tidak membangunkan suaminya itu ketika terpaksa begadang. Enam bulan ini Nara selalu mengurus Dewa bersama Bian, apapun yang terjadi.
"Kenapa?" tanya Bian sekali lagi.
"Kamu habis lembur, kan, Mas, jam sebelas aja baru tidur. Aku mau bangunin kamu takut kamu istirahatnya ngga cukup," jelas Nara setelahnya.
Mendengar hal tersebut, Bian justru ikut menghela napas. Dia pun memberanikan diri untuk menatap kedua mata istrinya yang sayu itu. Kantung matanya terlihat jelas. Raut wajahnya terlihat lelah, namun berusaha sekuat tenaga untuk menutupi itu. "Sejak kapan saya ngga temani kamu begadang?" tanya Bian.
Lagi dan lagi Nara hanya diam. Nara menyadari bahwa suaminya itu tak pernah absen menemaninya untuk begadang selama beberapa bulan ini. Namun sungguh, semalam ketika dia ingin membangunkan lelaki yang tengah tertidur di sebelahnya itu, dia sendiri pun segan. Nara hanya takut Bian baru saja terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
أدب نسائي"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...