47 - Kesungguhan

2.7K 393 68
                                    

Sebelum baca, tebak dulu, kira-kira Mas Bian udah beneran cinta atau belum?

Hskshkshsk ngetik part ini itu sambil ngebayangin visualisasi suami di masa depan yang bisa ngasih ketenangan pake kalimat-kalimat manis. Oh, rupanya saya sedang halu.

Oke, enjoy!

Selamat membaca semuanya! <3

-

"Kamu itu udah cinta belum, sih, sama aku?"

Bian yang tengah serius mengerjakan sesuatu di laptopnya pun menoleh, sedikit kaget dengan pertanyaan perempuan yang berada di samping kanannya itu. "Kenapa tanya gitu?" tanya Bian. Bukannya menjawab pertanyaan, dia malah memberikan pertanyaan kembali kepada Nara.

Nara hanya menatap langit dengan tatapan kosong. Mulutnya masih mengunyah buah yang sedang dia makan. "Ngga papa, tiba-tiba kepikiran aja," ujar Nara.

Bian pun meletakkan laptopnya di meja kecil yang berada di tengah kursi diantaranya dan Nara. "Kenapa? Kepikiran apa?" tanya Bian lagi. Belum ada jawaban.

Nara hanya menoleh sambil tersenyum kecut. "Ya, kepikiran aja, kalau ternyata kamu emang belum cinta sama aku. Dengan semua perhatian yang kamu kasih dari awal kita nikah, sampai detik ini perhatian itu berubah, aku takut aja ternyata kamu kaya gitu cuma karena aku lagi hamil. Jadi, tanggung jawabmu bertambah. Kamu ngelakuin itu bukan karena atas dasar cinta," jelas Nara dengan jujur.

Entah memang sudah waktunya Nara membahas hal demikian atau memang pikirannya yang sedang rumit sedari kemarin, rasanya Nara perlu memastikan hal ini. Bian menghela napas dan tersenyum. Nara sudah memberhentikan aktivitas makannya, bahkan salad yang sedari tadi dimakan, sudah ditutup.

Bian menggapai tangan kiri Nara. "Kamu takut?" tanya Bian lagi, bahkan dia belum menjawab pertanyaan Nara di awal.

Nara mengangguk.

"Kalau saya jawab belum, pasti kamu marah, kan?"

Nara lekas menoleh dengan wajah yang cukup kaget. Belum sempat Nara menjawab itu, Bian sudah berkata kembali.

"Tapi, kalau saya jawab sudah, saya juga ngga tahu sudah mencintai kamu sepenuhnya atau belum," jelas Bian pada akhirnya.

Dengan cepat Nara melepas tangan Bian. Bian peka, Nara sedikit berubah, baik dari raut wajah, maupun tatapan matanya. Bian mencoba menggenggam tangan Nara lagi, namun ditolak.

"Aku bukan perempuan yang cuma bisa memuaskan nafsu seorang laki-laki, Mas. Kalau nyatanya kamu belum cinta sama aku, kenapa ada dongeng sebelum tidur waktu itu?" jawab Nara dengan tatapan nanar.

Bian tersentak, mengapa bisa istrinya berpikir sejauh ini? Apa semua perhatian yang dia kasih selama hampir empat bulan pernikahannya belum cukup membuktikan?

"Ra, kenapa jadi mikir sejauh itu?"

Nara tidak menggubris. Bian tahu, ini hanya pikiran istrinya yang terlalu jauh. Dengan sabar, Bian akan menjelaskan.

"Ya, ngga papa. Tiba-tiba aku mikir sejauh itu," jawab Nara.

Bian menghela napasnya kasar. Dia menggaruk tengkuknya yang tak gatal itu. "Saya mau cerita. Kalau kamu ngga mau dengerin, ngga papa, tapi, kalau kamu mau dengerin, semoga kamu bisa menarik kesimpulan dari hal itu," kata Bian. "Mau?" tanyanya.

Nara hanya mengangguk.

"Saya itu tipe orang yang terhitung sulit jatuh cinta. Sulit sekali menaruh hati pada siapapun, tidak terlepas kepada orang baru, bahkan kolega-kolega saya di kantor yang akan menjalin kerja sama, pun dengan seorang perempuan," kata Bian memulai ceritanya.

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang