49 - Takut

3.4K 388 46
                                    

Hai, gimana kabarnya?

Oh, iya, kayaknya aku sekarang update sesuka hati, tapi, seminggu bakal aku usahain update 2-3 kali. Ngga papa, ya. ❤️

Part ini 2600+ kata, ya, ampun panjang banget. Semoga ngga bosen, hihi.

Selamat membaca!

-

[6 bulan kemudian]

Jangan tanyakan bagaimana hubungan antara Bian dan Nara selama enam bulan ini, sudahlah pasti lebih dekat, hangat, dan tentunya sudah berani mengungkapkan perasaan masing-masing. Ajaib. Tuhan seperti selalu memudahkan jalan mereka untuk saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi satu sama lain.

Kandungan Nara memasuki bulan ketujuh, yang itu artinya kurang lebih dua bulan lagi Nara akan menjadi seorang Ibu. Berbicara soal kandungan, memasuki bulan keenam Nara sempat mengalami flek karena terlalu kelelahan. Bian dengan sigap melarang Nara untuk tidak melakukan apapun, bahkan lebih parah dibanding kejadian pada kehamilan bulan pertama.

Setelah salat subuh Nara membuka ponselnya karena sebuah notifikasi yang berdering. Nara yang melihat notifikasi pun tersenyum, hari ini jadwalnya untuk memeriksakan kandungan. Pemeriksaan hari ini juga dia berniat untuk mengetahui apa jenis kelamin dari bayi yang di kandungnya.

Bian yang melihat istrinya tersenyum pun terheran. "Kenapa?" tanya Bian memastikan.

"Oh, iya, aku lupa ngasih tahu, Mas. Semalem aku dapet pesan dari rumah sakit, kalau hari ini aku ada jadwal pemeriksaan jam 10," jelas Nara pada Bian sambil melipat mukenanya.

Bian hanya mengangguk. "Ya, udah, nanti saya dari kantor pulang buat jemput kamu ke rumah sakit," jawab Bian yang beranjak dari duduknya setelah selesai salat.

Tidak ada absen barang satu kali pun, Bian selalu meluangkan waktunya untuk Nara. Bahkan pernah satu kali dia ada sebuah meeting dengan kolega penting, namun Bian tetap mengusahakan sedikit waktunya untuk Nara. Katanya, dia tidak mau melewatkan waktu-waktu berharga bersama anak yang sedang dikandung Nara itu.

"Kata kamu semalem mau ke Bogor, kalau ngga bisa ngga papa, aku sama Mama aja," ujar Nara sambil membuka lemarinya hendak memilih baju yang akan dia kenakan.

Bian yang tengah memakai kemeja pun menggelengkan kepalanya. "Saya ke Bogor jam 1 siang, masih bisa kalau antar kamu periksa dulu. Lagian hari ini kamu mau USG buat tahu jenis kelamin anak kita, kan? Masa saya ngga ikut," jelas Bian.

Sebenarnya, Kirana sudah menebak jika bayi yang dikandung putrinya adalah laki-laki, hal demikian karena aura kecantikan tidak terpancar dari wajah Nara. Kata Kirana sebagai seseorang berdarah Jawa, seorang calon Ibu yang jika pada kehamilannya terlihat aura cantiknya maka anak yang dikandung adalah seorang perempuan.

Bian dan Nara hanya tertawa ketika mendengar itu, seperti percaya dan tidak percaya. Namun, hal tersebut dibenarkan oleh Hanna. Hanna juga berkata demikian. Bian yang berada di posisi percaya dan tidak percaya hanya bisa menenangkan Nara, entah laki-laki atau pun perempuan, sama saja. Tidak ada bedanya. Itu adalah karunia Tuhan yang luar biasa.

Nara tertawa kecil, Bian selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. "Iya, kok, kamu inget?" tanya Nara memastikan.

"Inget, lah. Apa, sih, yang saya lupa dari kamu?" kata Bian menyeringai.

Nara hanya memutar bola matanya jengah. Ada saja tingkah laku suaminya yang berhasil membuatnya tertawa. "Gombal terus, ih," ujar Nara.

"Nanti saya dari kantor jam setengah 10, ya. Kamu bisa siap-siap," kata Bian.

Nara hanya mengangguk tanda mengerti. Nara bersyukur memiliki suami seperti Bian, selalu ada kapan pun ketika Nara butuh. Walaupun pada nyatanya Nara selalu ingin mandiri dan tidak ingin merepotkan orang lain, namun rupanya Bian selalu suka jika direpotkan oleh Nara. Kata Bian, ketika dia merasa direpotkan, itu artinya Nara menghargai keberadaannya sebagai seorang suami. Bukankah seorang suami dan istri sudah sewajarnya untuk saling membantu?

Amerta - [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang