🦋 Halohai! 🦋
Testimoni dulu, dong, yang udah baca part 58 kemarin, beneran sedih? Beneran nangis?
Maafkan, padahal ngga niat bikin sedih apalagi nangis, ahahaha.
Kukira juga "rasanya" ngga akan sampai ke kalian, ternyata sampai, ya?
Hayo kemarin pada gemes sama Bian, ya, kalau setelah baca part ini kira-kira masih gemes ngga, yaaa...
-
Nara pun memberanikan diri untuk mendongak. "Bagian mana yang harus aku jelasin sekarang?" tanya Nara pada akhirnya.
Bian hanya diam, banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepalanya saat ini. Tidak mungkin jika pertanyaan tersebut akan dilontarkan secara cuma-cuma. Namun satu hal yang paling utama, yang paling membuatnya merasa marah hingga emosinya membuncah. Foto.
"Siapa laki-laki yang ada di foto itu?" tanya Bian.
Benar dugaan Nara, pasti suaminya itu akan menanyakan hal ini terlebih dahulu. Mencoba tetap tenang, Nara pun mencoba untuk menjelaskan.
"Dia Lutfi, teman kuliahku, teman kuliah Anin juga," jawab Nara.
"Terus?"
Nara mengerutkan keningnya. "Terus apa? Ya, udah, dia teman kuliah, ngga lebih."
"Terus kenapa kamu bisa ketemu sama dia? Udah ada janji?" tanya Bian dengan nada menuntut. Ketus dan dingin.
"Ngga ada, kami ngga sengaja ketemu aja," jawab Nara santai.
Bian mengangguk. "Terus kenapa duduknya deket banget gitu?"
Bian hanya ingin mendengar pengakuan dari istrinya itu. Penjelasan Anin siang tadi belum bisa dipercaya sepenuhnya. Bian menyadari, jika dia sedang cemburu maka apapun yang ada di depannya seolah menjadi hal yang tabu dan tidak bisa dipikir dengan akal sehat.
Nara diam karena dia sendiri pun juga baru menyadari mengapa Lutfi kemarin duduk di sebelah kanannya yang bahkan kursi di depannya juga kosong karena Hanan dan Anin sedang berada di kamar mandi.
"Kenapa?" tanya Bian lagi.
"Aku berharap kamu ngga salah paham karena foto itu juga diambil dari satu sisi," jelas Nara mencoba untuk tenang.
Hatinya berdebar takut-takut suaminya ini akan murka kembali. Kedua tangannya sudah dingin.
"Gimana biar saya ngga salah paham? Udah jelas, kan, di foto itu kamu berdua sama laki-laki yang bahkan saya aja ngga kenal itu siapa, yang bahkan kamu mungkin belum pernah cerita apapun tentang dia ke saya," ujar Bian yang memalingkan wajahnya sambil tersenyum kecut.
Nara hanya melipat kedua bibirnya, dia benar-benar takut saat ini. Kalimat yang dilontarkan suaminya memang sederhana, namun dia yakin, semakin sederhana kalimat tersebut maka akan menusuk hatinya semakin dalam pula.
"Dia cuma teman kuliahku dulu dan yang baru aku tahu juga ternyata dia teman Hanan. Aku juga ngga tahu kenapa tiba-tiba duduk di sebelahku," jelas Nara.
Lagi dan lagi Bian hanya tersenyum getir. Jawaban yang sangat klise. "Bisa, kan, kamu ngehindar? Bisa, kan, kamu pergi? Saya ngga suka, Nara. Saya ngga suka!" pekik Bian dengan nada cukup tinggi.
Demi Tuhan Nara terlonjak kaget. Tidak ada gebrakan meja namun dari tatapan mata suaminya Nara bisa melihat kilatan amarah di sana. Nara menunduk, kesalahannya fatal.
"Ada seribu satu cara yang bisa kamu lakukan biar kamu ngga duduk di tempat duduk itu. Ada seribu satu cara yang bisa kamu lakukan biar kamu bisa menghindar dari laki-laki itu. Tapi kenapa ngga ada satu pun usaha kamu buat itu terjadi?" tanya Bian dengan sarkas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Chick-Lit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...