05.00
Sepagi ini Nara sudah sedang mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. Tahu, kan, apa yang terjadi semalam dengan dua insan yang saling melepas rindu ini?
Dingin memang, tapi mau bagaimana lagi. Setelah itu, Bian dan Nara melaksanakan salat subuh. Sekitar setengah jam setelahnya, Nara sudah bersiap-siap di depan meja riasnya.
"Saya tunggu di bawah, ya," kata Bian yang sudah siap. Bian pun turun menunggu Nara di meja makan.
-
Meja makan
Bian pun duduk di samping Hanna. Sudah ada Kaila yang sedang sarapan. Bian mengernyitkan keningnya heran. "Kok, udah sarapan aja, sih, Nak?" kata Bian sambil tertawa kecil.
"Putrimu laper, katanya," jawab Hanna. Kaila meringis setelah menelan makanannya itu. Bian pun tertawa.
"Laper, Ayah," jawab Kaila setelah meneguk segelas air minum di depannya itu.
Tak lama kemudian Nara muncul dengan sudah berpakaian rapi. Hanna pun agaknya heran, tidak biasanya Nara berpenampilan rapi sepagi ini. Nara pun duduk di depan Hanna terpisahkan meja makan itu.
"Kamu mau ke mana, Ra?" tanya Hanna.
Nara pun mengambil piring dan menghentikan sejenak aktivitasnya itu. "Aku mau ke rumah sakit, Ma. Nemenin Anin cek kesehatan," jawab Nara yang selanjutnya mengambilkan nasi dan lauk untuk Bian.
Hanna mengangguk. "Kok, pagi banget?"
"Ini Mas Bian nyuruh aku ikut ke kantornya aja, biar ketemu di kantor sama Anin," jawab Nara kemudian. "Mama ngga papa, kan, nungguin Kaila sekolah?" tanya Nara memastikan.
"Ngga papa, ada Ncus Nina juga," jawab Hanna. Nara pun hanya mengangguk.
Sarapan kali ini agaknya sudah lebih menghangat dibanding beberapa hari kemarin. Hanna bisa merasakan itu. Dia tahu, sepertinya memang putra dan menantunya ini sudah menyelesaikan semuanya.
-
09.00
Nara sudah berada di dalam ruang kerja Bian. Menggulir ponselnya, membaca majalah wanita, membuka laptop milik Bian, hingga sudah ke balkon ruang kerja Bian tetap saja rasa bosannya tidak hilang. Lima belas menit setelahnya, Bian sudah kembali dengan menenteng tas laptop dan beberapa dokumen lainnya yang dia letakan di meja kerja. Nara pun menghela napas.
"Kenapa lama banget, sih, Mas? Bosen aku," kata Nara sambil menyandarkan tubuhnya di kursi tamu itu.
Bian pun duduk di sebelah Nara. "Maaf, tadi ada kendala sedikit," jawab Bian sambil mengeluarkan ponselnya dari saku jas. Dia melihat jam, sudah pukul sembilan lebih dua puluh. "Kamu mau pergi jam berapa?" tanya Bian selanjutnya.
Nara menggelengkan kepalanya. "Harusnya, sih, sekarang. Anin belum ngabarin," jawab Nara. Baru saja dia mengatakan hal itu, tiba-tiba ada pesan masuk.
Aninku sayang
Ayo, aku di lobby.
"Panjang umur, ini Anin udah chat," Nara pun menaruh majalah yang sedang dia baca di rak lagi dan mengambil tas kecil yang berada di meja depannya itu. "Ya, udah, aku pergi dulu, ya, Mas," kata Nara sambil mengulurkan tangan karena akan bersalaman dengan Bian. Bian pun menerima uluran tangan istrinya itu.
"Pulang jam berapa? Nanti saya jemput," kata Bian.
Nara menggeleng. "Ngga usah, Mas. Anin mau nganter sampe rumah katanya," jawab Nara.
"Ya, udah. Hati-hati, ya,"
"Assalamualaikum," kata Nara sambil berlalu pergi untuk keluar dari ruangan Bian. Nara berjalan melewati meja resepsionis untuk menuju lobby.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Romanzi rosa / ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...