Heyooo, update lagi, rajin banget, yaaa?
Kalian, loh, pada suudzon terus sama Dinda. Jangan suudzon dulu, siapa tahu Dinda beneran mau baik. Menjelma bak malaikat gitu.
Selamat membaca! Ini awalnya aja panas akhirnya tetep.... *baca aja baca hihi
-
20.00
Sore tadi, sekembalinya Bian dari kamar mandi, tidak ada pembicaraan apapun dari Nara bahkan dia langsung mengajak Bian untuk pulang. Bian agaknya sedikit heran karena pada dasarnya dia belum membuka ponsel saat itu.
Bian pun mengetahui ada sesuatu yang tidak baik dengan istrinya sesaat setelah sampai di rumah karena Kaila berkata bahwa ponselnya berbunyi lebih dari dua kali. Setelah Bian membuka ponselnya, dia tersadar, ternyata panggilan dan pesan dari Dinda yang membuat Nara menjadi bersikap demikian.
Terhitung sepulangnya dari mal hingga malam ini Nara masih diam. Bukan karena apa-apa, tapi hatinya cukup kalut karena masalah tadi ketika Bian mendapat panggilan suara dari mantan istrinya. Wajar, kan, jika Nara merasa sedikit cemburu? Wajar, kan, jika Nara merasa tidak suka?
Bian pun masuk ke kamar dan mendapati Nara yang tengah berada di balkon. "Dinginin dulu kepala kamu, saya mau ke kamar Kaila, baru setelah itu saya mau jelasin," kata Bian pada Nara.
Nara yang mendengar itu tidak menggubris sama sekali. Tidak peduli.
-
Bian pun membuka pintu kamar Kaila dengan menghela napas. Kejadian ini memang murni kesalahannya dan wajar jika Nara bersikap demikian. Dia hanya berharap Nara tidak sampai kalut dan membuat kesehatannya terganggu seperti pertengkarannya dulu. Bian masuk ke dalam kamar Kaila dan mendapati Ncus Nina tengah menarik selimut sebatas dada karena Kaila yang sudah tertidur. "Loh, udah tidur?" tanya Bian.
Ncus Nina sedikit terlonjak karena kehadiran Bian. "Eh, iya, Pak, kayaknya Kaila kecapean. Seharian ini, kan, ngga di rumah terus ngga tidur siang juga," jawab Ncus Nina dengan sopan.
Bian hanya mengangguk mengerti. Padahal dia akan membacakan dongeng dari buku baru yang dibeli oleh putrinya. "Tadi nyariin saya ngga?" tanya Bian.
Ncus Nina pun menggeleng. "Engga, Pak. Setelah makan malam, Kaila hanya membereskan buku-bukunya untuk esok ke sekolah, setelah itu langsung tertidur," jawabnya.
Lagi, Bian hanya mengangguk. "Ya, udah, pastiin Kaila udah tidur pules baru kamu boleh pergi," ujar Bian sambil berlalu pergi untuk keluar dari kamar Kaila. Langkahnya menuju kamarnya kembali. Biar bagaimanapun masalah kesalahpahaman ini harus diselesaikan dengan cepat.
-
Saat ini Nara tengah berdiri di balkon kamarnya dan menelfon Anin karena sedikit bercerita. Nara hanya butuh didengar saat tidak ada orang yang mengerti tentang apa yang sedang dirasakan oleh hatinya.
"Wajar, kan, kalo aku ngga suka, Nin? Wajar, kan?" tanya Nara pada Anin.
"Wajar, ngga papa. Tapi, kontrol emosi kamu, ya. Udah, lah, ngga usah marah-marah, ngga usah ngebatin. Jauh lebih baik kalau kamu ngomong sama Pak Bian langsung," kata Anin di seberang sana yang hanya dibalas helaan napas oleh Nara.
"Ya? Janji sama aku kalau kamu bakal baikan setelah ini. Inget kondisi kehamilan kamu yang semakin membesar, jangan banyak mikirin hal-hal yang ngga penting, Ra," ujar Anin selanjutnya.
Nara mengangguk walaupun Anin tidak bisa melihatnya. "Ya, udah, cuma itu yang pengin aku ceritain. Kalau aku ngga cerita, aku bakal dongkol terus. Ini aja hati aku sebenernya udah sakit banget, tapi tahu ngga, sih, sakit hati sampe ngga bisa marah?" kata Nara sambil menyeringai kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...