Nara masih berdiri dengan beberapa kali melihat layar handphonenya. Entah sekadar melihat jam atau kalau boleh jujur dia sedang menunggu kabar dari Ayahnya. Handphone Ibunya rusak dua hari lalu sehingga Nara tidak bisa menghubunginya. Nara pun menghembuskan napas secara kasar.
Bian melihat Nara yang tampak gelisah sudah menduga bahwa sekretaris pribadinya ini sedang tidak baik-baik saja. "Udah, ayo. Ngga usah ngerasa ngga enak. Lagian, kan, rumah kita searah. Saya udah denger tadi orang yang kamu telepon bicara kalau ngga ada yang bisa jemput, kan?" Kata Bian lagi. Sedikit memaksa? Memang begitu adanya. Entah, lah, aneh sekali makhluk di samping kiri Nara ini.
Nara masih diam. Tuhan, tolong Nara saat ini juga. Nara memang tidak mau merepotkan orang lain walaupun orang lain itu tak merasa direpotkan sama sekali. "Ini penawaran terakhir saya, kalau kamu ngga mau, ya, sudah. Ayo, mau bareng atau ngga?" Kata Bian meyakinkan Nara.
Niat Bian hanya ingin mengantar Nara pulang, tak ada niat terselubung lainnya. Lagian seorang perempuan pulang larut malam begini sangat bahaya. Apalagi daerah Florence Hall termasuk daerah yang rawan akan kejadian-kejadian yang tak seharusnya diterima oleh perempuan.
"Nara?" Tanya Bian sekali lagi. "Tapi saya tidak merepotkan, Bapak, kan?" Tanya Nara.
"Engga. Tunggu sini. Saya ambil mobil dulu di bawah." Kata Bian berlalu pergi meninggalkan Nara untuk menuju ke parkiran basement. Padahal belum ada persetujuan dari Nara akan mau atau tidak. Aneh sekali seorang Abian Cakra Adiwarna yang menjelma menjadi seseorang yang tidak kaku. Nada bicaranya santai tanpa mengintimidasi. Apa dia memiliki dua kepribadian yang berbeda? Begitulah pikir Nara setelahnya.
Sekitar lima menit Nara menunggu, mobil BMW milik Bian sudah berhenti di depannya. Nara benar-benar seperti seseorang yang sedang dijemput oleh pasangannya, eh. Untuk kedua kalinya Nara menjadi nyonya Adiwarna. Nara berjalan di depan mobil milik Bian untuk menuju pintu sebelah kiri, dia duduk di depan, lagi. Memasang selt belt dan Bian pun melajukan mobilnya keluar dari Florence Hall.
Hening. Tidak ada radio, tidak ada musik, tidak apa bunyi-bunyian apapun selain deru mobil yang membelah jalan Jakarta malam ini. Bian yang tengah menyetir melihat jam yang melingkar di tangan kirinya. Pukul sepuluh kurang lima menit.
"Saya mau mampir ke Bettersweet Cakery dulu, ya. Mau beli cupcake buat Kaila. Ngga papa?" Tanya Bian mengawali percakapan. Bian dan Nara benar-benar canggung. "Iya, Pak. Ngga papa, kok." Jawab Nara mengangguk.
Setelah sekitar sepuluh menit, mobil Bian terparkir di toko kue kesukaan Kaila itu. Nara memilih untuk tidak keluar dari mobil, walaupun dia sudah ditawari untuk turun, namun Nara menolak. Bian juga berkata hanya akan sebentar. Kenyataannya memang sebentar, Nara memutar satu lagu belum habis saja Bian sudah kembali.
Bian kemudian melajukan mobilnya kembali untuk menuju rumah Nara. Disela-sela kecanggungan itu, Nara memulai percakapan. "Eee, kenapa Bapak ngga nyari Ibu buat Kaila, Pak?" Tanya Nara. Pertanyaan Nara memang sangat mengancam hidup dan matinya. Bisa-bisanya Nara bertanya demikian. Bian yang awalnya melajukan mobilnya dengan lumayan cepat, perlahan memelankan kecepatannya itu.
"Saya lancang, ya, Pak? Maaf, ya, Pak. Kalau Bapak ngga berkenan jawab juga ngga papa." Nara benar-benar merutuki kebodohannya. Apa maksudnya dia bertanya hal tersebut pada seorang Abian Cakra Adiwarna? Bos yang dingin dengan sedikit bicara.
Bian tersenyum. "Ngga papa. Kenapa kamu tanya gitu?" Tanya Bian.
"Itu, kemarin pas saya main sama Kaila, Kaila cerita katanya pengen punya Bunda." Jawab Nara jujur. Memang pada kenyataannya begitu. Kaila bercerita sama seperti yang Kaila tanyakan pada Omanya tempo hari.
"Anak saya cerita ke kamu?" Tanya Bian meyakinkan Nara. "Iya, Pak." Nara mengangguk lagi.
"Saya itu trauma sama perempuan. Makanya sampai detik ini saya belum berani menikah lagi. Bayang-bayang akan ditinggalkan lagi oleh pasangan hidup saya itu selalu ada." Hanya tiga kalimat yang diucapkan oleh Bian namun bisa membuat Nara heran. Belum sempat Nara merespon perkataan Bian itu, Bian sudah berbicara kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Literatura Feminina"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...