Cukup sekitar setengah jam Nara bersih-bersih. Mulai dari mandi, memakai skincare, membereskan barang-barang yang telah dia bawa kerja, dan melakukan hal lainnya. Nara menyiapkan peralatan shalat karena sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang.
Nara pun melakukan shalat maghrib di kamarnya.
Tok, tok, tok.
Suara pintu kamar Nara. "Kak, makan malam dulu. Udah ditunggu Ayah sama Ibu di bawah." Rupanya Ressa. Dia yang mengetuk kamar Nara untuk mengajak makan malam. "Iya, tunggu di bawah aja. Lagi beresin mukena. Ntar aku nyusul." Jawab Nara sambil melipat mukena dan sajadah yang baru saja digunakan untuk shalat maghrib.
-
Ressa pun turun dari lantai dua menuju meja makan. Dia duduk dan menyiapkan piring untuk makan malam.
"Mana kakakmu?" Tanya Kirana sambil menyendok nasi ke dalam piring. "Abis shalat maghrib, nanti nyusul bentar lagi, kok." Jawab Ressa. Belum ada satu menit jeda berbicara, Nara sudah muncul. "Nah, itu dia." Kata Ressa sambil melihat Nara.
Nara pun duduk di sebelah Ressa. Di sela-sela makan malamnya, tiba-tiba Nugroho memberikan sebuah pertanyaan, "Tadi kamu pulang sama siapa? Kok, malah pake mobil? Motormu gimana?" Nara kaget, dia lupa memberitahu Ayah dan Ibunya kalau sore tadi motornya ditinggal di kantor.
"Pacarmu, ya, Kak?" Tanya Ressa melanjutkan pertanyaan dari Nugroho. Nara yang sedang minum pun tersedak. "Eh, pelan-pelan, Nak." Kata Kirana menegur Nara. "Bukan. Nanti aku ceritain setelah makan, ya."
Mereka berempat pun makan dengan tenang. Hanya ada gurauan kecil. Selepasnya mereka makan, Nugroho membuka percakapan. "Jadi, gimana?" Nara pun menarik napas panjang, ia sudah bersiap untuk bercerita.
"Jadi, tadi itu Nara dianter sama Pak Bian, bos Nara di kantor." Baru satu kalimat Nara menceritakan, ketiga orang di depannya itu sama-sama mengerutkan keningnya. Sudah pasti mereka juga heran, mengapa bisa?
"Kenapa bisa dianter? Soalnya, itu putri Pak Bian yang minta. Awalnya Nara juga ngga mau, takut jadi bahan gosip, tapi Pak Bian yang sedikit banyak agak maksa." Nara akhirnya menjelaskan apa yang teradi hari ini. "Oh, iya, Nara bisa kenal sama putri Pak Bian soalnya tadi disuruh ngemong di taman kantor. Ya, gitu, deh." Nara mengakhiri ceritanya.
Kirana pun angkat suara, "Ibu ngga suka, ya, kamu dekat dengan lelaki orang, Ra. Jangan jadi perebut kebahagiaan orang lain." Kirana sudah mewanti-wanti Nara untuk hati-hati jika dekat dengan seseorang. Sebisa mungkin untuk tidak merebut kebahagiaan orang lain, karena sakit rasanya ketika kita memiliki sebuah kebahagiaan yang sempurna dan bisa dirusak semudah itu.
"Bu, ya, engga lah. Pak Bian itu duda. Denger-denger, sih, istrinya pergi sama mantan pacarnya." Jelas Nara pada Kirana itu. "Lagian Nara ngga mau jadi perebut." Nara melanjutkan penjelasannya.
"Nduk, kamu itu sudah besar, sudah berumur cukup, Ayah tahu saat-saat ini memang saat-saat yang tepat untuk kamu mencari seorang pendamping hidup. Kalau besok kamu mau menikah, carilah pasangan yang sepadan, cari yang memang hampir sama dengan keluarga kita. Ya?" Keluarga Nara memang keturunan darah Jawa, pantas jika Nugroho memanggil Nara dengan sebutan nduk. Nasihat Nugroho seperti mengisyaratkan bahwa dia tidak setuju jika Nara dengan Bian. Lah, padahal memang tidak ada hubungan apa-apa diantara Nara dan Bian.
"Yah, Nara sama Pak Bian itu ngga ada apa-apa. Beliau cuma bos Nara, ngga lebih. Ayah ngga usah khawatir tentang semua kualifikasi yang Ayah mau itu. Insya Allah Nara paham dan Nara tahu batas." Jawab Nara yang menjelaskan dengan tenang.
Ressa yang berada di sebelah Nara memilih diam saja. Masalah seperti ini memang masalah yang cukup serius. Masalah tersebut memang menyangkut kehidupan di masa yang akan datang Kakak perempuannya itu.
Obrolan keluarga kecil ini sangat hangat. Mulai dari pembahasan Nara, Ressa dan pacarnya, hingga kucing tetangga yang hamil dan melahirkan tujuh ekor anaknya pun dibahas. Begitulah mereka memaknai sebuah kebersamaan dan kebahagiaan.
-
19.00
Rumah Bian
Hanna, Bian, dan Kaila sudah bersiap-siap di meja makan karena akan makan malam. David tak ada, biasa, dia sedang berkumpul bersama teman-temannya di cafe. Memang dalam satu minggu seorang David Theo Adiwarna pulang ke rumah hanya dalam hitungan jari. Selain bermain sampai larut malam hingga ia tak bisa pulang karena gerbang sudah terkunci, David juga memiliki apartemen pribadi yang diberikan oleh Bian saat David berulang tahun dua tahun lalu. Jadi, kalau David tak pulang ke rumah pasti ia akan pulang ke apartemen.
"Kaila mau makan sama ayam goreng?" Tanya Hanna sambil mengambil nasi yang ia letakkan di piring untuk Kaila. Kaila pun mengangguk. Ayam goreng memang lauk kesukaan Kaila.
Makan malam keluarga Adiwarna pun hening. Ya, memang biasa seperti ini. Semenjak meninggalnya Herman, ayah Bian, sekitar lima tahun lalu, kehidupan rumah memang agak berbeda.
"Yah, besok La ikut ke kantor lagi, ya. Mau main sama Tante Nara." Kaila pun membuka percakapan. Padahal Kaila juga masih mengunyah nasi. "Besok La sekolah, ngga bisa main sama Tante Nara dulu." Jawab Bian yang menyudahi makan malamnya itu.
Terlihat perubahan raut wajah Kaila yang awalnya sumringah menjadi datar. Hanna yang sadar akan itu langsung mengusap pucuk kepala Kaila. "Sayang, dengerin Oma, Kaila besok harus sekolah. Kan, mainnya udah tadi, jadi besok giliran sekolah. Katanya Kaila mau jadi dokter, Kaila harus jadi anak yang pinter, dong."
Nasihat Hanna sepertinya berhasil. Wajah Kaila yang sedikit murung terlihat sudah mulai biasa saja. "Iya, iya, besok Kaila sekolah, soalnya La mau jadi dokter. Tapi, besok-besok main lagi sama Tante Nara, ya, Yah?" Tanya Kaila meminta persetujuan pada Bian.
"Iya, putri kesayangan Ayah." Bian pun tersenyum. Anaknya sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang hebat tanpa belas kasihan dan kasih sayang seorang Ibu. Bian memang bisa merawatnya sendiri. Bian masih tak habis pikir dengan Dinda, mantan istrinya, yang tiba-tiba menggugat cerai dan memilih menghilang dari peradaban Bian. Padahal, Dinda mendapatkan hak asuh penuh Kaila karena memang Kaila saat itu masih berumur sekitar empat bulan. Tapi memang dasar wanita tak punya adab, Dinda memilih pergi bersama mantan pacarnya ke negeri antah berantah entah di mana.
Makan malam keluarga Adiwarna selesai. Hanna memanggil Ncus Nina untuk menidurkan Kaila karena saat ini sudah pukul delapan malam. Waktunya bocah kecil ini istirahat karena besok akan sekolah.
"Ma, Bian mau ke ruang kerja dulu, ya." Bian berdiri hendak meninggalkan Hanna namun ditahan oleh Hanna. "Sebentar, Mama mau ngomong." Akhirnya Bian duduk lagi di meja makan.
"Kenapa, Ma?"
"Jadi, tadi sore pas kamu pamit ke kamar, Kaila tiba-tiba tanya tentang Bundanya. Kaila ngomong katanya dia pengen punya Bunda, pengen punya Mama kaya temen-temennya di sekolah." Bian yang mendengar ungkapan dari sang Mama hanya bisa diam. Meletakkan kedua tangannya di kening tanda entah harus bagaimana.
"Bian, Mama tahu, kamu sekarang lagi banyak banget pekerjaan yang harus diurus. Lagi banyak hal yang harus diselesaikan. Tapi, Mama juga ngga bosan-bosannya bilang kalau kamu juga harus nyari pengganti Dinda. Putri kecilmu juga akan tumbuh dewasa, apa kamu mau dia tumbuh tanpa kasih sayang sosok seorang Ibu?" Kata Hanna. Bian memang terlalu sibuk dengan dunianya, sehingga dia lupa kalau anak perempuannya butuh kasih sayang seorang Ibu.
"Iya, Ma, iya. Nanti Bian coba pikirkan lagi. Bian ke ruang kerja dulu, ya, Ma." Pamit Bian pada Hanna.
Sesampainya di ruang kerja, Bian termenung. Beberapa kali menghela napas. Akan mencari di mana sosok Bunda yang diinginkan oleh Kaila? Bahkan Bian masih trauma bila berkenalan dengan seorang wanita. Takut-takut ia akan ditinggalkan lagi. Bukan tentang bagaimana Bian siap atau tidak siap, Bian hanya takut akan mengecewakan Mamanya lagi. Perceraiannya dengan Dinda empat tahun lalu membuat Hanna sangat terpukul. Hanna sudah mengenal baik seorang Dinda yang telah berpacaran dengan Bian hampir 3 tahun harus menerima kenyataan bahwa Dinda ternyata memiliki perilaku yang seburuk itu.
-to be continued-
⭐ jangan lupa pencet bintangnya; terima kasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
Чиклит"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...