[2] FASE ADAPTASI

339 52 35
                                    

Nyatanya, hidup di kota enggak semenyenangkan yang aku kira.

***

Selesai kelas Pak Susanto, mahasiswa riuh keluar kelas karena mata kuliah selanjutnya dimulai pukul 10.30 WIB. Sementara sekarang, baru menunjukkan pukul 09.40 WIB.

Meira baru selesai memasukkan buku dan gawainya ke tas. Ketika beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba ada yang berdiri di hadapannya.

"Heh, lo nggak usah sok kecakepan. Cari muka banget depan dosen jawab mulu," ucap seorang perempuan yang tadi menyindir Meira.

Perempuan bernama Hana itu menghalangi jalan Meira yang baru saja beranjak dari tempat duduknya. Dia ditemani tiga temannya bernama Siska, Farah, dan Kinan. Meira hanya menatap Hana yang berada tepat di depannya tanpa rasa takut.

"Iya, nih, lagi cari muka. Kira-kira ada yang punya muka dua nggak, sih?" tanya Meira dengan santainya seraya menyelempangkan sebelah tali tas ransel di bahunya.

"Wah, nyari ribut, nih, anak," ucap Hana semakin kesal. Dia tidak percaya jika gadis yang dianggap kampungan itu berani padanya.

"Sebenernya, sih, gue mau nyari makan. Sori, ya, duluan," ucap Meira seraya meninggalkan Hana dan teman-temannya lewat sela-sela Hana dan Kinan.

"Wah, bener-bener, ya. Songong banget tuh anak kampung! Lihat aja entar," ucap Hana kesal karena kalah telak.

***

Adinda Amira Adista. Perempuan yang lahir dan dibesarkan di tanah Sunda. Terbiasa dengan keadaan di desa, jarang ke mana-mana, apalagi pulang hingga larut malam. Datang ke kota untuk kuliah, sudah terbayang indahnya suasana kota dari jauh-jauh hari, tetapi ekspetasinya terlalu tinggi. Nyatanya, hidup di kota tidak setenang di desa.

Gadis yang baru akan beranjak dewasa ini benar-benar berani dan tangguh. Berani-beraninya merantau di Jakarta sendirian. Gadis dengan tinggi 155 cm dan berat badan yang tidak menentu ini terlihat manis terutama saat tersenyum. Kulot dan baju yang agak longgar adalah pakaian favoritnya.

Belum satu minggu di Jakarta, Meira sudah mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Bahkan, Meira bisa berbicara bahasa Indonesia dengan lancar tanpa terdengar logat Sundanya. Entah bagaimana dia melakukannya.

Kini, Meira sedang berada di kantin. Suasana kantin cukup ramai. Sepertinya, saat ini adalah jam makannya mahasiswa yang tidak sempat sarapan. Sebelum berangkat kuliah, Meira tidak sarapan karena belum terlalu lapar. Namun, saat ini, nasi goreng sepertinya enak untuk mengganjal perut anak kos seperti Meira hingga sore.

Setelah membeli nasi goreng, Meira duduk di bangku yang sudah ada mejanya. Bangku yang bisa diisi oleh empat sampai enam orang yang saling berhadapan. Saat Meira asyik makan, tiba-tiba ada seorang lelaki datang.

"Boleh ikut duduk di sini?" tanya lelaki yang membawa sepiring nasi goreng juga.

Meira meliriknya. "Oh, boleh. Duduk aja," ucap Meira seraya tersenyum ramah.

Lelaki itu duduk di hadapan Meira. Kedua mahasiswa ini asyik dengan nasi gorengnya masing-masing.

"Lo mahasiswa baru, ya?" tanya lelaki di hadapan Meira memecah keheningan di antara keduanya.

"Iya. Lo juga mahasiswa baru?" Meira bertanya balik.

"Oh, bukan, gue mahasiswa tua alias mahasiswa tingkat akhir," jawab lelaki itu dengan santai seraya mengunyah nasi goreng.

"Oh, maaf, Kak. Enggak tahu," ucap Meira dengan malu. Mulai saat ini, Meira tidak ingin menyapa orang baru dengan panggilan lo-gue lagi.

Meira panik karena ternyata lelaki itu adalah kating atau kakak tingkatnya. Dia merasa tidak enak. Takutnya, lelaki itu tersinggung dengan ucapan Meira.

FASE RASA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang