Kalau saja dia tak punya hati, pasti akan memilih dua-duanya karena sama-sama memiliki peran yang berbeda.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh. Kini, Rafka dan Meira sedang menikmati makanan yang disantapnya. Namun, lelaki itu sedikit celingukan ke sudut ruangan. Sepertinya dia sedang mencari seseorang.
"Bi, Bang Farhan ke mana?" tanya Rafka ke asisten rumah tangganya yang sedang membereskan peralatan dapur.
Asisten rumah tangganya seketika mendekat ke arah Rafka. "Tadi sih keluar, Den. Mau ke depan komplek. Katanya Non Fia mau ke sini," jawab Bi Inah, asisten rumah tangga yang ada di rumah Rafka.
"Dia udah makan?" tanya Rafka lagi. Dia memang tipe orang yang perhatian, tetapi gengsinya terlalu tinggi apalagi pada abangnya sering menjengkelkan itu.
"Belum, Den. Katanya nanti bareng sama Non Fia."
"Oh, gitu. Ya, udah, Bi. Makasih.”
Asisten rumah tangganya kembali membereskan beberapa peralatan dapur. Rafka kembali fokus menyantap makanannya. Meira dari tadi hanya fokus makan seraya mendengar percakapan lelaki di sampingnya.
Gadis ini mampu menebak bahwa Rafka adalah lelaki yang paling perhatian kepada orang sekitar. Apalagi kepada orang yang disayang. Dari tadi, Meira mendengarkan Rafka yang terus menanyakan keluarganya ke asisten rumah tangga.
Dia bertanya perihal abangnya ke mana karena tidak terlihat ikut makan. Dia juga bertanya perihal ibunya sudah pulang atau belum. Bahkan, dia bertanya perihal kepulangan ayahnya yang memang sedang berada di luar kota.
Ini orang emang perhatian atau enggak tau kabar keluarganya, sih? oceh Meira dalam hati. Gadis itu memang suka nyeletuk seenaknya, tetapi hanya diungkapkan di dalam hati. Rasanya gatal jika tidak mengomentari orang dalam sehari.
Baru saja keduanya selesai makan, tiba-tiba ada yang datang. Seorang lelaki dan perempuan. Saat Meira menoleh ke arah sang perempuan, dia begitu terkejut. Ternyata, perempuan itu adalah kakak tingkat yang sempat melerai dirinya dengan Hana saat di toilet.
Meira pura-pura mengalihkan pandangannya. Berharap agar perempuan itu tak mengenalinya. Dia pun berharap agar perempuan itu tak akan membahas perihal kejadian yang telah lalu.
“Eh, Kak Fia,” sapa Rafka pada perempuan yang bersama abangnya. “Makan, Kak,” lanjutnya menawarkan makan.
“Iya, Ka. Makasih.” Perempuan itu tersenyum kepada Rafka. Namun, menyelidik ke arah Meira. “Ini siapa, Ka? Pacar lo?” tanyanya kemudian.
“Oh, ini temen gue. Doain aja, moga mau jadi pacar gue,” canda Rafka di depan Meira yang sudah terlihat sangat malu.
“Eh, tunggu, kayaknya gue pernah liat lo, deh,” ujar perempuan yang dipanggil Fia itu. Perempuan itu seakan sedang mengingat sesuatu.
Aduh, mampus lo, Mei! Makin malu, batin Meira.
“Oh!” Fia seakan sudah mengingat gadis yang sedang duduk itu. “Lo yang waktu itu berantem di WC, kan?” tanya Fia ketus.
Mampus! Dia inget lagi, batin Meira. Rasanya, dia ingin langsung menghilang dari hadapan ketiga orang di hadapannya itu. Dia malu karena perbuatannya saat itu.
Meira hanya tersenyum canggung. “Iya, Kak.”
“Din, lo berantem lagi sama Hana?” tanya Rafka penasaran.
“Iya, waktu itu, dia tiba-tiba ngejambak gue. Ya, gue jambak balik, lah!” jawab Meira sedikit emosi saat mengingat kejadian itu lagi.
“Bagus, tuh!” timpal Farhan tiba-tiba dengan intonasi yang cukup tinggi. Hingga membuat ketiga orang, bahkan Bi Inah pun sedikit terkejut dan menoleh ke arah Farhan. “Eh, sorry, sorry, ikut kebawa emosi, nih,” ucapnya beralasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FASE RASA [TELAH TERBIT]
RomanceMerantau di kota orang memang tak mudah. Meira harus berjuang untuk mimpi dan misinya. Mimpinya kuliah di Jakarta sudah terwujud, tinggal menjalani apa yang telah diraih. Misinya mencari seseorang adalah hal yang paling susah. Mengitari Jakarta send...