[18] FASE RASA BERTUMBUH

121 27 16
                                    

"Cewek 'tu gitu. Giliran diajak jadian, bilangnya belum siap. Giliran dibaperin, bilangnya enggak ngasih kepastian."

***

Dari kemarin, Meira sudah pulang ke kos-kosan. Kata dokter, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan kecelakaan itu. Kalaupun ada keluhan, gadis itu bisa langsung datang lagi ke klinik tersebut. Meira hanya butuh minum obat dan istirahat yang cukup agar rasa nyerinya semakin reda.

Hari Senin ini, Meira tidak akan kuliah. Dia sudah izin kepada dosen yang bersangkutan dengan mengirimkan foto surat dari dokter. Terkadang, kepalanya masih terasa berdenyut dan pusing.

Waktu baru menunjukkan pukul sembilan pagi, tetapi pintu kamar kosan Meira sudah ada yang mengetuk. Dia langsung mengenakan kerudung instannya, lalu membuka pintu. Terlihat seorang lelaki dengan tas di punggungnya sedang menjinjing satu kantong keresek putih berukuran sedang.

"Assalamu'alaikum, Adinda Amira," sapa Rafka dengan senyum terbaiknya.

Meira ikut tersenyum. "Wa'alaikumussalam, Rafka ...." Gadis itu menggantungkan ucapannya. Dia sedang mengingat sesuatu. "Rafka apa, ya, nama panjangnya?" tanyanya karena tak ingat nama lengkap lelaki itu.

Raut wajah Rafka seketika berubah menjadi datar. "Rafka Raihan," jawabnya singkat. Lelaki itu membuka sepatunya sambil berdiri.

"Oh, iya, bener." Meira seakan diingatkan. "Rafka Raihan Ramadan, kan? Yang bio Instagram-nya, jangan mengulang kesalahan yang sama. Masih banyak kesalahan lain yang belum dicoba, gitu!" ujar Meira dengan semangat seraya tertawa kecil.

Senyum di bibir lelaki itu menyimpul kembali setelah mendengar perkataan Meira. "Bisa aja." Kini, tangan kanannya mengelus-elus puncak kepala Meira.

"Ih, bisa, enggak, jangan ngacak-ngacak pala mulu," protes Meira. "Ini hati jadi ikut acak-acakan tau!" ujarnya frontal.

Rafka malah tertawa mendengar gadis itu protes. Baru kali ini dia ditegur agar tidak mengelus-elus puncak kepala. Gadis itu terlihat apa adanya. Saat ini saja, gadis itu tak malu masih menggunakan piyama merah muda berlengan panjang serta kerudung instan krem yang warnanya tidak selaras.

"Gue boleh masuk, enggak, nih? Pegel berdiri terus," ujar Rafka mengeluh.

"Enggak, ah. Duduk di sini aja, di pintu," ujar Meira sedikit sewot seraya menunjuk menggunakan dagu.

"Haduh. Iya, deh." Rafka duduk di depan pintu seperti yang diperintahkan gadis itu. Dia baru teringat kalau dirinya membawa sesuatu untuk Meira. "Oh, iya, Din. Ini gue bawain bubur."

Lelaki itu memberikan satu kantong keresek putih berisi bubur ayam yang ia beli di pinggir jalan sebelum ke kosan Meira. Hari ini, dia ada jadwal kuliah. Sebelum pergi ke kampus, Rafka menyempatkan mampir dan membeli bubur untuk Meira.

"Pasti lo baru bangun, kan? Belum masak, kan? Belum minum obat, kan?" tebaknya tanpa jeda.

Meira membuka isi dari kantong keresek putih itu. "Belum, sih. Baru mau masak nasi ini juga," ujar Meira. "Tadi abis nge-chat Pak Susanto dulu, izin enggak masuk kuliah," jelasnya. Gadis itu berbicara seraya mengambil mangkuk dan sendok untuk memakan bubur.

"Wih, gaya banget Pak Susanto pagi-pagi udah di-chat cewek cantik," ucap Rafka dengan enteng seraya membuka tasnya untuk mengeluarkan sebuah kotak makan berwarna biru muda.

Lelaki itu tak tahu kalau hati Meira sudah melambung tinggi melintasi cakrawala. Pujiannya memang singkat, tetapi dengungnya masih melekat. Untung saja, gadis itu memiliki ilmu yang bisa menyembunyikan salah tingkah.

FASE RASA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang