[1] FASE AWAL

984 80 81
                                    

Kalau mimpimu tinggi, usahanya juga harus rajin.

***

Hari-hari penuh rindu akan segera dimulai. Hari ini, Meira berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah. Dia pergi bersama ibu, adik, dan pamannya menggunakan mobil sang Paman.

Minggu lalu, Meira sudah memindahkan sebagian barang-barangnya bersama Mang Juna ke tempat kos. Jadi, saat ini gadis itu hanya membawa baju dan beberapa barang lain yang ringan-ringan.

Perjalanan Bandung-Jakarta tak terlalu jauh. Apalagi melalui jalan tol. Sesekali Meira mengambil rekaman video di gawainya. Merekam pemandangan jalanan yang dipenuhi langit sore. Hingga beberapa jam kemudian, Meira kembali mengambil rekaman video. Kali ini, suasana sudah malam dan gedung-gedung yang menjulanglah yang terekam.

Malam pertama di tempat kos, Meira ditemani ibu dan Rini, adiknya. Sementara pamannya sengaja menyewa kamar sebelah untuk sekadar beristirahat satu malam.

Malam ini penuh keharuan. Ibu Meira bangga pada anaknya yang berhasil lolos SBMPTN dan mendapat bidikmisi untuk bisa berkuliah di Jakarta. Meira dan ibunya sedang berbincang dari mulai hal ringan hingga hal berat, sedangkan Rini sudah tidur.

"Mei, Ibu bangga sama kamu. Kamu jaga diri baik-baik, ya, di sini," ucap ibu Meira seraya mengelus punggung anaknya itu.

Dengan refleks, Meira menyandarkan kepala di pundak ibunya. "Iya, Bu. Aku pasti akan jaga diri. Ibu, kan, tau aku bisa bela diri. Diajarin Mang Juna." Meira sedikit tertawa.

Ibunya tersenyum. "Iya, Mei. Kamu hebat. Ibu bangga. Kalau ada apa-apa kasih tau Ibu, ya. Telepon Ibu selalu ada 24 jam buat kamu," ucap ibu Meira.

"Iya, Bu, pasti," jawab Meira.

Ibunya hanya tersenyum. Namun, ada suatu hal yang sedikit tertahan di mulut Meira. Ada satu hal yang ingin dia pinta.

"Bu, kalau ada apa-apa sama Rini, langsung kasih tau aku, ya. Aku mohon jangan pernah menutup-nutupi apa pun yang berkaitan sama Rini. Aku sayang sama Rini. Aku nggak mau kalau Rini lagi kenapa-kenapa, aku malah nggak ada. Ibu jangan mikir takut ganggu aku yang lagi kuliah," pinta Meira dengan berkaca-kaca.

"Iya, Nak. Pasti. Pasti Ibu kasih tau kabar Rini terus. Kamu yang tenang di sini, ya. Jangan lupa ibadah, belajar, dan kangen ibunya," ucap ibu dengan tersenyum.

"Ibu ..., bisa aja." Meira memeluk ibunya dari samping. "Aku pasti bakal kangen Ibu sama Rini. Nanti, tiap malam, aku video call, ya. Awas kalau nggak diangkat."

"Aduh, aduh, diancem. Pasti diangkat, lah. Ya, kalau enggak lupa itu juga." Ibu tertawa.

Meira tersenyum. "Ibu bahagia selalu, ya. Sehat-sehat."

"Iya, Nak. Kamu juga. Sekarang kita tidur, ya. Besok kamu mulai masuk kuliah, kan?" tanya ibunya.

"Iya, Bu."

Pukul enam pagi, ibu Meira, Rini, dan pamannya—Mang Juna—sudah bersiap untuk pulang ke Bandung. Mereka meninggalkan Meira sendirian di Jakarta. Benar-benar sendirian. Sebenarnya, ibu Meira sedikit tak rela, tetapi ini rezeki anaknya untuk berkuliah di Jakarta. Jadi, ikhlas tidak ikhlas, harus diikhlaskan.

***

Hari ini adalah hari pertama Meira masuk kuliah setelah tiga hari menjalani ospek. Ospeknya aman-aman saja karena Meira tak ada masalah dengan siapa pun, apalagi dengan kakak tingkat alias kating.

Sebelum masuk kelas, Meira menikmati lingkungan sekitar terlebih dahulu. Duduk sendirian dengan tenang di sebuah bangku yang sepertinya muat tiga sampai empat orang. Di depan tempat duduk Meira, terpampang tulisan Fakultas Seni Rupa dan Desain di tembok gedungnya. Namun, itu bukan fakultas yang Meira pilih sekarang.

FASE RASA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang