Ada hikmah yang dapat diambil dari setiap permasalahan yang datang silih berganti.
***
Meira dan Pak Wijaya melepaskan pelukannya. Mereka mulai duduk di kursi lobi Perusahaan Wijayakusuma. Rafka dan dua sahabatnya masih di sana juga. Mereka masih ingin menemani Meira hingga gadis itu membolehkannya pulang.
Pak Wijaya masih menatap Meira dengan sendu. Pria itu masih tak percaya. Gadis kecil yang selalu berteriak-teriak saat dirinya pulang kerja, kini telah dewasa. Gadis tersebut sudah bisa menyusulnya hingga ke Jakarta.
"Kamu udah besar, ya, Mei," ujar Pak Wijaya seraya tersenyum haru. "Bapak kangen banget sama kamu. Kalau ketemu di jalan, pasti enggak bakal nyapa karena pangling. Anak Bapak udah dewasa dan cantik." Pak Wijaya masih mempertahankan senyumnya.
Meira hanya tersenyum mendengar ucapan Pak Wijaya. Dia pun masih tak percaya. Seseorang yang sudah sepuluh tahun hanya digenggam melalui gambar, kini dapat digenggam dengan nyata. Gadis itu sangat bersyukur. Tuhan merancang hidup Meira dengan amat detail.
Mungkin, jika ayahnya tidak pergi saat itu, ibunya masih tetap memandang materi sebagai tolok ukur kebahagiaan. Mungkin, jika ayahnya tidak pergi saat itu, Meira tak akan pernah bermimpi untuk berkuliah di Ibu Kota. Mungkin juga, jika ayahnya tidak pergi saat itu, Meira tak akan dipertemukan dengan Rafka dan dua sahabatnya.
Setiap masalah pasti mendewasakan. Ada hikmah yang dapat diambil dari setiap permasalahan yang datang silih berganti. Tuhan tak akan lupa mengatur hidup makhluk ciptaan-Nya. Dia adalah pembuat skenario paling hebat.
"Sekarang kamu tinggal di mana, Mei?" tanya Pak Wijaya.
"Di kosan, Pak. Deket kampus," jawab Meira.
Tak lupa gadis itu menjelaskan detail alamatnya. Pak Wijaya pun cukup tahu daerah kos Meira. Lantas, gadis itu memperkenalkan teman-teman yang telah membantunya.
"Oh, iya, Pak. Kenalin, ini temen-temen Meira."
Rafka, Satria, dan Jingga tersenyum ramah kepada Pak Wijaya. Ketiganya sedikit mengangguk dengan sopan saat dikenalkan oleh Meira. Pak Wijaya yang ramah pada siapa saja saja, membalas senyum teman-teman Meira.
"Mereka yang bantu Meira sampai bisa ketemu Bapak. Mereka orang-orang baik, Pak. Mereka sering bantu Meira meski temen Meira yang lain ngejauhin Meira," jelas Meira hingga membuat Satria dan Jingga semakin membusungkan dada. Sementara Rafka, hanya tersenyum dengan lega.
Pak Wijaya hanya mengangguk-anggukkan kepala saat anaknya bercerita. Lantas, beliau mengajak Meira untuk ke ruangannya. Nanti sore, Meira akan diajak ke rumahnya.
Sebelum beranjak ke ruangan ayahnya, Meira meminta izin untuk mengobrol dengan teman-temannya sebentar. Setelah diizinkan, Pak Wijaya pergi lebih dulu ke ruangannya. Meira akan menyusul setelah selesai berterima kasih kepada teman-temannya, terutama Rafka.
"Ka, Sat, Jing, makasih udah bantuin gue ketemu Bapak, ya. Terutama lo, Ka. Makasih udah bantuin gue selama ini. Makasih udah mau direpotin," ujar Meira dengan bibir yang sedikit bergetar. Gadis itu tak mampu menatap Rafka terlalu lama. Dia hanya menundukkan pandangannya dari arah Rafka.
Ketiga lelaki itu tersenyum. Mereka terlihat tulus membantu Meira. Salah satunya ada yang melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Rafka menengadahkan dagu Meira. Dia menatapnya sekejap, lalu menghapus air mata yang masih tersisa di pipi lembut gadis tersebut.
"Sama-sama. Semoga, lo makin bahagia, ya," ujar Rafka dengan senyum manisnya.
Rafka semakin mendekat ke arah Meira. Dia menatap gadis itu penuh kasih. Lalu, dia menggenggam tangan Meira.
KAMU SEDANG MEMBACA
FASE RASA [TELAH TERBIT]
RomanceMerantau di kota orang memang tak mudah. Meira harus berjuang untuk mimpi dan misinya. Mimpinya kuliah di Jakarta sudah terwujud, tinggal menjalani apa yang telah diraih. Misinya mencari seseorang adalah hal yang paling susah. Mengitari Jakarta send...