[17] FASE MENJAGA

118 25 20
                                    

"Lain kali, jangan keluar malem-malem sendiri lagi, ya. Jakarta itu enggak sebaik yang lo bayangin, Din."

***

Entah mengapa, firasat seorang ibu itu tak pernah salah. Beberapa menit yang lalu, saat sahabat Rafka itu sedang menunggu Meira siuman, ada perawat yang memberikan gawai Meira kepada Satria. Terpampang jelas ada panggilan masuk dari seseorang yang dinamai 'Ibu 🤍'. Dengan ragu, Satria menjawab panggilan tersebut.

"Halo. Assalamu'alaikum, Mei?" sapa seseorang dari seberang sana.

"Wa'alaikumussalam, Tante," jawab Satria dengan perasaan yang tak karuan.

Lelaki itu bingung harus menjelaskan apa pada ibunya Meira. Dia takut jika ibunya Meira khawatir. Satria tahu kalau Meira adalah anak rantau karena Rafka sempat menceritakannya. Rafka sering sekali membanggakan Meira di depan sahabat-sahabatnya.

Katanya, gadis itu adalah gadis yang kuat. Rafka sering mendapati gadis itu tengah bersedih, bahkan sering mendengar beberapa permasalahan yang dihadapinya. Namun, senyum di bibir gadis itu akan langsung berkembang saat melihat Rafka datang. Jadi, dia sangat bersemangat jika bertemu Meira karena akan membuatnya bahagia.

"Eh, ini sama siapa? Meiranya ke mana?" tanya Risa, ibunya Meira. Terdengar dari suaranya, wanita itu sedikit terkejut dan khawatir.

"Mohon maaf, Tante. Ini sama Satria, temennya ... Meira." Satria sedikit bingung saat ingin mengucapkan nama Meira karena yang ia tahu, gadis itu bernama Dinda. Mungkin, emang nama panggilannya Meira kali, ya, pikirnya saat itu.

"Oh, temennya. Kalau Meiranya ke mana?" tanya Risa lagi karena belum mendapatkan jawaban yang sesuai.

"Em ... Meiranya." Satria benar-benar bingung. Dia tak enak jika mengatakan kabar buruk ini, tetapi dia harus tetap memberi tahu wanita itu. "Meiranya lagi dirawat, Tante. Tadi dia pingsan karena hampir ketabrak mobil, terus saya yang tarik dia ke pinggir. Tapi, malah kebentur tembok Indomaret," ujarnya dengan beberapa jeda karena gugup.

"Innalilahi, sekarang Meiranya udah bangun, belum, Nak?" Wanita itu terdengar semakin khawatir dengan keadaan anak gadisnya.

"Kayaknya belum, Tante. Soalnya tadi kata dokter, kemungkinan Meira baru siuman beberapa jam lagi," jelas Satria kepada Risa.

"Ibu boleh lihat keadaan Meira enggak, Nak?" tanya Risa. "Coba di-video call, ya," pintanya kemudian.

"Boleh, Bu." Satria jadi ikut memanggil ibu karena wanita itu menyebut dirinya sebagai ibu.

Lelaki itu masuk ke dalam ruangan Meira. Dia langsung mengalihkan panggilan suara menjadi panggilan vidio. Terlihat wanita paruh baya itu sudah berlinang air mata di sebuah ruangan yang serba putih, seperti ruangan rumah sakit. Satria langsung memperlihatkan Meira yang tengah berbaring di atas ranjang.

Mata gadis itu terpejam. Bibirnya terlihat sedikit pucat. Di punggung tangannya sudah tertancap jarum infusan.

"Sayang, ayo bangun. Kamu harus kuat," ujar Risa di balik layar gawai. Wanita paruh baya itu tak kuasa menahan tangis saat melihat anak gadisnya terbaring tak berdaya. "Ya Allah, Nak. Kamu cepet sembuh, ya. Ibu bingung harus gimana. Rini masih di rawat." Air matanya terus bercucuran.

Satria tak kuasa melihat seorang ibu yang menangisi anaknya. Lelaki itu ikut meneteskan air mata. Dalam hatinya, dia merasa iri. Dia merindukan sosok ibu di hidupnya. Dia sudah bertahun-tahun tak merasakan hangatnya pelukan ibu karena telah dipanggil penciptanya.

Sambungan telepon masih tersematkan. Tak berselang lama, datang seorang laki-laki yang napasnya masih tak karuan. Dia terdiam di depan pintu masuk ruangan seraya memandangi gadis yang disukainya terbaring lemah. Lalu, matanya tertuju pada punggung lelaki yang tengah duduk di samping ranjang seraya memegang gawai.

FASE RASA [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang