Meira berharap agar tak ada lagi masalah berat di hidupnya. Nyatanya, Tuhan berkehendak lain. Dia masih ingin menguji Meira dan keluarganya.
***
Para pengantar jenazah telah pulang dari beberapa menit yang lalu. Di area pemakaman, tersisa Meira, Rian, Pak Wijaya, Rafka, Satria, dan Jingga. Mereka baru selesai mendoakan Rini lagi setelah tadi dipimpin oleh mantri.
"Mei masih mau di sini?" tanya Pak Wijaya yang sudah berdiri.
Meira mengangguk pelan tanpa menoleh ke arah ayahnya. Gadis tersebut masih sendu seraya memegang nisan almarhumah adiknya. Meira masih enggan beranjak pulang. Dia merasa kasihan jika adiknya ditinggal sendirian.
"Rian juga masih mau di sini?" tanya Pak Wijaya kepada Rian yang sama-sama masih sendu.
"Iya, Pak. Rian sambil nemenin Kak Meira," jawab Rian yang masih jongkok di samping nisan.
"Kalian juga kalau masih ingin di sini nggak apa-apa. Nanti ke rumah, ya," ucap Pak Wijaya kepada Rafka dan dua sahabatnya. "Ya, sudah. Bapak duluan, ya."
Rafka yang sedang jongkok pun langsung berdiri. "Iya, Pak. Nanti kami mampir lagi ke rumah," ucapnya diakhiri senyum.
Pak Wijaya berlalu menuju rumah. Meninggalkan lima orang anak remaja di pemakaman. Beliau buru-buru pulang karena khawatir pada sang istri yang tadi sempat tak sadarkan diri.
Suasana pemakaman yang hening, dipecah oleh Meira yang mulai meneteskan air mata. Matanya sayu. Hatinya pilu.
"Rin ..., maafin Kak Mei yang sering usilin kamu, ya. Kamu yang tenang di sana. Kak Mei pasti bakal kangen sama Rini," ucap Meira seraya mengelus nisan adiknya.
"Nanti enggak ada lagi yang bisa Kak Mei suruh-suruh. Enggak ada yang bakal neleponin Kak Mei kalau lagi di Jakarta. Enggak ada yang bakal ngehibur Kak Mei kalau lagi galau. Dan enggak ada yang bisa gantiin posisi kamu di hati Kakak." Mulutnya terus bersuara. Air matanya terus bercucuran.
Rafka dari tadi diam di samping Meira. Dia hanya mampu menguatkan Meira dengan merangkul serta mengelus bahunya. Dia ikut berduka. Lelaki tersebut teringat dengan Meira yang bercerita perihal harapannya.
Semalam, Meira berharap agar tak ada lagi masalah berat di hidupnya. Nyatanya, Tuhan berkehendak lain. Dia masih ingin menguji Meira dan keluarganya.
***
Tujuh hari telah berlalu. Hari ini, Rafka kembali menemui Meira yang masih di Bandung. Tak lupa membawa dua orang sahabatnya yang kali ini tidak dipaksa ikut.
Meira terlihat sibuk membantu persiapan tahlil untuk almarhumah adiknya. Setelah melihat kedatangan Rafka, Satria, dan Jingga, gadis tersebut menghentikan aktivitasnya. Dia menghampiri Rafka di depan rumah.
"Assalamu'alaikum," ucap Rafka memberi salam saat di pintu rumah Meira.
"Wa'alaikumussalam." Meira menjawab seraya tersenyum.
"Eh, ada tamu," ucap Bu Risa saat melihat tiga orang anak lelaki berkunjung ke rumahnya. "Sini masuk, duduk dulu, ya. Bentar, Ibu ambilin minum." Bu Risa berlalu ke dapur untuk membawa beberapa air gelas kemasan yang sudah disiapkan bagi tamu.
"Makasih, Bu. Maaf ngerepotin," ucap Rafka.
"Enggak apa-apa, makasih juga udah datang. Udah ngehibur Meira, ya." Bu Risa masih berdiri. Sepertinya, dia sedang tidak senggang untuk diam. "Sok atuh, ya. Ibu tinggal dulu ke belakang. Masih ada urusan," ucapnya berpamitan.
Sebelum Bu Risa meninggalkan empat remaja di ruang tamu, Rafka teringat sesuatu. "Oh, iya, Bu. Ini ada titipan dari mama Rafka." Rafka memberikan satu paper bag titipan ibunya tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
FASE RASA [TELAH TERBIT]
RomanceMerantau di kota orang memang tak mudah. Meira harus berjuang untuk mimpi dan misinya. Mimpinya kuliah di Jakarta sudah terwujud, tinggal menjalani apa yang telah diraih. Misinya mencari seseorang adalah hal yang paling susah. Mengitari Jakarta send...