"Khawatir, tapi gengsi."
***
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam, tetapi Rafka dan Meira masih di perjalanan. Tadi, mereka berdua sempat terkena macet karena banyak kendaraan menuju pulang. Kini, keduanya sedang berada di satu masjid pinggir jalan yang dilewatinya.
Setelah selesai menunaikan ibadah salat Magrib, Rafka menunggu Meira di halaman depan masjid. Dia lebih dulu keluar karena perempuan biasanya harus melipat mukena. Dengan sabar, Rafka menunggu Meira seraya memainkan gawai.
Gadis tersebut masih sibuk mengenakan kerudungnya. Setelah hampir lima menit, Meira baru keluar untuk memakai sepatunya. Dia menghampiri Rafka yang sudah berdiri di halaman depan.
"Udah," ujar Meira kepada Rafka yang berada di hadapannya.
Rafka menoleh ke arah Meira. Dia hanya mengangguk seraya tersenyum, lalu, memasukkan gawainya ke saku. Kini, keduanya berjalan menuju ke parkiran mobil.
"Kenapa enggak nunggu di mobil?" tanya Meira serius. Gadis itu menyejajarkan langkah kakinya dengan Rafka.
"Nggak apa-apa. Kalo gue nunggu di mobil, entar lo-nya malah ilang. Jadi, gue tunggu di situ aja barusan," jawab Rafka seraya menunjuk ke tempat tadi saat ia menunggu Meira.
Meira hanya menatap Rafka dengan tajam. Tadinya, dia merasa kesal. Namun, terbersit di pikirannya untuk bercanda. Bibirnya sudah senyum-senyum duluan. "Bilang aja kalo lo khawatir, kan?" tanyanya kepada Rafka. "Khawatir, tapi gengsi," ujarnya lagi.
Lelaki itu langsung salah tingkah. "Hah? Enggak, ah. Enggak gitu."
Rafka yang masih berjalan dengan gusar, ditegur oleh Meira. Mungkin, dia terlalu salah tingkah hingga lupa kalau mobilnya terlewat. Lantas, lelaki tersebut berbalik arah dan berjalan masuk ke mobilnya.
Meira hanya tertawa kecil melihat tingkah Rafka. Sang gadis mengikuti lelaki tersebut untuk masuk ke dalam mobil. Dia duduk dengan nyaman sebelum Rafka benar-benar melajukan kendaraannya.
Dua orang tersebut melanjutkan perjalanannya menuju pulang. Rafka memulai pembicaraan agar suasana tidak terlalu hening. "Din, lo masih sering digangguin sama Hana, nggak?" tanya Rafka tiba-tiba.
Meira menoleh ke arah Rafka. "Em ... enggak." Gadis tersebut langsung bertanya-tanya. "Oh, iya. Kenapa Hana tiba-tiba berhenti gangguin gue, ya?"
"Lo-nya ngelawan mulu, kali. Jadi, dia males gangguin lo lagi," ujar Rafka.
"Ah, masa tiba-tiba, sih?" Meira masih bingung. Awalnya, dia tak menyadari hal tersebut sebelum Rafka mengingatkannya.
Rafka hanya mengangkat bahunya tanda tidak tahu. Dia tak menjawab pertanyaan Meira barusan. Lelaki tersebut kembali fokus mengendarai kendaraannya.
***
Hari ini, Meira sudah masuk kuliah. Waktu telah menunjukkan pukul empat sore. Meira ke toilet dahulu sebelum pulang. Sepertinya, hal tersebut sudah menjadi kebiasaan Meira.
Tidak sengaja, saat Meira keluar dari kamar kecil, ada Hana dan teman-temannya sedang bercermin. Namun, ada yang berbeda dari para perempuan itu. Mereka sama sekali tidak menggubris Meira. Mereka seakan tidak kenal kepada Meira.
Entah karena rasa penasaran yang tinggi, ataupun rasa ingin dirundung kembali, Meira malah bertanya kepada Hana. "Eh, ada Hana, nih," ujar Meira seraya bercermin. "Tumben enggak pernah nyari gara-gara lagi. Udah bosen, ya?" tanyanya seakan menantang.
Raut wajah Hana terlihat sedang menahan amarah. Tanpa sepatah kata apapun, gadis tersebut meninggalkan Meira. Diikuti oleh para pasukannya yang tak pernah melawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FASE RASA [TELAH TERBIT]
عاطفيةMerantau di kota orang memang tak mudah. Meira harus berjuang untuk mimpi dan misinya. Mimpinya kuliah di Jakarta sudah terwujud, tinggal menjalani apa yang telah diraih. Misinya mencari seseorang adalah hal yang paling susah. Mengitari Jakarta send...