17.00
Rumah Bian
Pukul lima sore Bian sudah memarkirkan mobil di garasi rumahnya. Hari ini Bian merasa tidak fokus, pikirannya terpecah belah. Perkataan Kaila ke Mama Hanna, wejangan dari Vano, belum lagi harus mengejar sebuah proyek besar, satu hari tidak hanya menjalani satu meeting, benar-benar memenuhi otak Bian saat ini. Bian keluar dari mobilnya. Belum sempat dia berjalan, Mang Ujang, satpam di rumah Bian, berlari terpogoh-pogoh menghampirinya. "Ini ada undangan pernikahan untuk Pak Bos." Mang Ujang menyerahkan undangan tersebut. "Dari siapa?" Tanya Bian. Tertulis Aulia dan Yovie. Bian mengambil undangan tersebut.
"Kata mas-mas yang ngebagi tadi, dari Yovie, teman kuliah Pak Bos. Resepsinya tiga hari lagi katanya." Bian pun mengangguk. Iya, Yovie memang teman akrab kuliahnya dulu. "Oke, makasih, ya." Bian pun berlalu pergi.
Sambil menenteng paper bag yang berisi pie itu, Bian masuk ke dalam rumahnya. "Assalamualaikum." Bian celingak-celinguk, rumahnya sepi. Kaila dan Mama Hanna kemana?
Tiba-tiba Kaila muncul dari ruang tengah, "Waalaikumsalam, Ayah." Kaila berlari menghambur ke pelukan Bian. Bian pun berjongkok dan mencium kening Kaila sambil mengusap rambutnya dengan sayang.
"Aduh, anak Ayah udah mandi? Udah wangi, udah cantik." Kaila mengangguk, "Udah, dong. Ayah mandi sanah." Suruh Kaila dengan tertawa pada Bian.
Kaila melihat sesuatu yang ditenteng oleh Bian. "Itu apa, Yah?" Kata Kaila sambil menunjuk paper bag yang dibawa Bian. "Oh, ini, ada oleh-oleh dari Oma Indira, Mamanya Om Vano, La inget? Yang dulu ngasih La lollipop pas di bandara waktu kita mau ke Yogyakarta." Terlihat Kaila berpikir sejenak. "Oh, iya, La inget. Ya, udah, sini biar Kaila kasih ke Oma. Ayah jangan lupa mandi."
Kaila berbalik badan dan meninggalkan Bian yang masih berjongkok. Bian akhirnya berdiri dan berjalan menuju kamarnya untuk mandi dan bersih diri.
Sesampainya di kamar, Bian merebahkan tubuh sejenak di kasur king size miliknya. Benar-benar melelahkan hari ini. Pikiran dan tenaganya seperti terkuras untuk hal-hal yang membuat kepalanya sedikit pening.
Masih dengan memegang undangan yang dia dapat sore tadi, Bian menatapnya nanar. Pikirannya melayang pada kejadian empat tahun lalu saat dia dan Dinda bersemangat membagi undangan pernikahan. Dengan keyakinan penuh bahwa rumah tangganya akan berjalan dengan semestinya, tapi ternyata nihil. Kapal yang dia tumpangi bersama Dinda ditenggelamkan oleh Dinda sendiri.
Bian pun menggelengkan kepalanya, sadar bahwa dia tidak boleh terus-menerus mengingat Dinda. Justru seharusnya dia membenci Dinda karena dia adalah seorang perempuan yang tidak memiliki perasaan sama sekali. Bian pun bangkit dari tidurannya itu untuk melepas jas, sepatu, dan membersihkan diri.
—
Rumah Nara
Nara memarkirkan motornya di teras rumah, kemudian dia menutup kembali gerbang rumahnya itu. Melepas helm, melepas sepatu, dan meletakkannya di rak. Kemudian Nara duduk sejenak di bangku depan rumahnya sekadar untuk menghirup napas dan meluruskan kedua kakinya. Nara berdiri hendak masuk ke rumah, namun tiba-tiba ada seseorang yang memberi salam di balik gerbang.
"Assalamualaikum."
Nara mengerutkan keningnya. Dia lalu berjalan menuju gerbang. "Waalaikumsalam, cari siapa, Mas?" Terlihat seseorang itu memegang beberapa undangan. "Ini benar rumahnya Mba Denara?" Laki-laki tersebut membaca nama di undangan, memastikan namanya benar yaitu Denara. "Iya, benar. Saya Denara. Ada apa, ya, Mas?" Nara membuka gerbangnya sedikit untuk memberi akses agar mereka mengobrol dengan mudah.
Laki-laki itu pun memberikan undangan, tertulis Aulia dan Yovie. "Ini ada undangan pernikahan dari Aulia, kata Aulia, Mba Denara ini teman SMA-nya?" Nara mengerutkan keningnya, mengingat-ingat, Aulia yang mana? Ada banyak sekali teman-temannya yang bernama Aulia. "Untuk lebih jelasnya bisa langsung dibuka saja Mba undangannya nanti. Saya permisi dulu, ya, Mba. Assalamualaikum." Kata seseorang yang membagi undangan.
Nara pun menjawab salam tak lupa mengucapkan terima masih, kemudian menutup gerbang kembali dan berjalan ke dalam rumahnya.
"Assalamualaikum." Terlihat Nugroho sedang menonton televisi, Ressa sedang berkutat dengan laptopnya, dan Kirana yang sedang berada di dapur. "Waalaikumsalam. Eh, udah pulang?" Tanya Nugroho. Nara pun mencium tangan ayahnya. Duduk bersandar di sebelah Nugroho dengan niat mengistirahatkan badannya sejenak. "Huh, cape." Keluh Nara.
"Undangan dari siapa, Ra?" Tanya Kirana yang datang membawa secangkir teh panas, bahkan asapnya masih terlihat. Disajikannya ke depan suaminya yang sedang menonton televisi. "Oh, ini, dari Aulia, Bu." Jawab Nara sambil menunjukkan undangan berwarna hijau dengan motif garis ungu itu.
"Aulia yang dulu pinter nyanyi itu? Yang sering karokean di rumah kita, kan? Hahahaha." Nugroho mengingat-ngingat. Memang teman-teman Nara dan Ressa pasti dikenal oleh Nugroho dan Kirana. Hal itu karena untuk membangun kepercayaan pada mereka dan memastikan bahwa jika Nara dan Ressa bersama mereka itu aman.
Nara pun mengangguk tanda mengiyakan perkataan ayahnya itu. "Semoga beberapa bulan lagi kamu nyusul, ya, Kak. Bagi undangan gitu, gini-gini aku juga udah pengen gendong keponakan, loh." Kata Ressa dengan santainya sambil menggerakan jari di atas keyboard laptop. Ressa pikir menikah itu seperti menggoreng telur? Asal bahan ada langsung jadi?
Nara pun berdiri, "Doain aja, biar Kakak didekatkan sama jodoh Kakak, ya." Kata Nara sambil berlalu pergi menuju kamarnya.
Sudah dua tahun ini Nara memang belum dekat lagi dengan seorang laki-laki. Setelah putus dari Fero tempo hari, Nara belum bisa membuka hati lagi. Jangankan menikah, membuka hati saja Nara enggan. Bukan tak mau, namun saat ini dia hanya sedang mencari yang tepat. Karena Nara ingin pernikahannya hanya satu kali seumur hidup.
Keputusan untuk menikah memang keputusan yang amat sangat berat. Tak sembarangan orang berani mengambilnya. Perkara mengucapkan ijab qabul memang mudah, satu tarikan napas, selesai. Namun, di balik itu semua ada sebuah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh kedua mempelai. Tentang bagaiman saling kasih mengasihi, tentang bagaimana saling menyayangi, tentang bagaiman untuk meleburkan sebuah ego masing-masing. Umur saja belum cukup menjadi bekal untuk menikah. Pun dengan umur sebuah hubungan.
Hayo, Nara sama Bian ketemu ngga, ya?
-to be continued-
⭐ jangan lupa pencet bintangnya; terima kasih♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta - [SELESAI]
ChickLit"Amerta. Amerta itu tidak dapat mati, abadi. Aku berharap cintaku dan cinta Mas Bian juga demikian. Walau umur kami sudah habis, namun perasaan kita berdua bisa selayaknya amerta, yang tidak dapat mati." -Nara Menikah dengan sedikit rasa cinta. Buka...