Song recommendation:
♬ Stray Kids - The View
***
Matanya tak lepas memandang bangunan tinggi di depannya. Sudah satu setengah tahun berlalu, tempat ini tak banyak berubah. Sudah selama ini, padahal hanya tiga semester, banyak hal yang terjadi dan menguras emosi serta tenaganya. Lelah? Tentu. Ini waktu yang baik untuk kembali, pikirnya.
"Rim, kelas pagi ini manajemen pemasaran. Mulai jam 09.00 di gedung C, di ruang C-129," kata Alex disampingnya sambil menatap jadwal yang ada di ponsel. Rimu meliriknya sekilas dan mengernyit heran.
"Sekarang jam 08.30. Kepagian tiga puluh menit dong," ucapnya polos sambil membuka bungkusan roti sobek, seakan tidak punya salah setelah menarik paksa Alex dari alam baka. Maksudnya, mimpi.
"Lah iya emang ganteng. Lo yang bangunin gue pagi-pagi. Terus ke kita kudu ke apart* lo yang di Kuningan, abis itu-- Hmph!"
Sebelah tangannya baru saja menjejalkan sepotong roti sobek rasa cokelat ke mulut Alex. Teman di sebelahnya ini takkan berhenti meracau jika Rimu tak segera menghentikannya. Malas saja mendengar ocehan di pagi hari.
"Jangan rusak mood gue dengan bacotan lo ah."
"Bwah lhoo ngheslhilin khamphruet," omel Alex yang tak jelas.
Rimu berjalan memasuki gedung, meninggalkan Alex di belakang yang terpaksa mengunyah roti cokelat itu tanpa aba-aba sebelumnya. Sambil menenteng tas di punggung, sebelah tangannya asik membelah roti tadi dan memasukannya ke mulut. Suasananya masih sepi. Setidaknya Rimu bisa menikmati suasana seperti ini lebih dulu dari yang lain.
Baginya seseorang sepertinya banyak yang tidak tertarik dengan hal semacam ini. Tapi Rimu, sangat mengedepankan pendidikan sejak dirinya sudah bisa mencari pundi-pundi rupiah. Rimu ingin menjadi seseorang yang lebih walaupun kenyataan tidak bisa di ubah. Rimu tetap tahu diri dari mana asalnya. Red District, siapa yang tidak takut mendengar nama daerah menyeramkan di seantero negeri?
Baru saja hendak berbelok ke arah kamar mandi, benda pipih di sakunya bergetar kencang. Dengan sebelah tangan yang lain ia berhasil mengeluarkan benda itu dan menempelkannya ke telinga. Suara teriakan seorang gadis menggema kencang sampai ia menjauhkan benda itu sebentar.
"RIMU. KENAPA NGGAK BANGUNIN GUE?"
"Ck," decaknya sebal.
Alex yang berhasil mengejarnya berhenti tepat di belakangnya. Rimu berbalik dan melempar ponselnya pada Alex hingga Alex dengan sigap menangkap benda itu.
"Anjir, lo pikir gue atlet voli." Omelan Alex berhasil membuat Rimu tersenyum sinis. Alex sampai geleng-geleng dibuatnya.
"Gue butuh ke toilet. Jawab itu telpon," perintahnya sambil menunjuk ke arah ponselnya. "Lagian gue tau refleks lo tuh bagus."
"Ye ini anak. Tapi nggak gini juga lo manfaatin kemampuan gue setan."
Tapi Rimu mengangkat bahunya tidak peduli dan langsung masuk ke dalam toilet. Alex mendegus kesal sembari melihat layar pipih milik Rimu. Beberapa detik kemudian kedua matanya melebar, dan memutuskan untuk berpindah tempat untuk melanjutkan panggilan itu.
"HEH! KENAPA NGGAK DI JAWAB! RIMU, LO KAN TIDUR DI SEBELAH GUE. KENAPA NGGAK BANGUNIN! GUE NGGAK MAU BERANGKAT KE KAMPUS TANPA LO YA!"
Teriakan Lexa di ujung sana ikut membuat telinganya sakit. Pantas saja Rimu memberikan benda ini padanya. "Xa? Ini gue. Pelan-pelan kalo ngomong, kan lo cewek. Jangan kasar-kasar."
KAMU SEDANG MEMBACA
- REDLINE - [END]
Teen Fiction"Plagiat tolong mundur!" Bagi Riana si mahasiswi yang terpaksa mengulang satu mata kuliah, hidup itu sederhana. Bisa makan makanan kesukaan, tidur dengan nyenyak, mendengarkan musik sepanjang hari dan berkeliling kota menaiki KRL sampai stasiun pe...