#2 - Raja di Tanah Merah

506 68 98
                                    

Song recommendation:

♬ Ateez - Answer

***

Hawa dingin menerpa tubuhnya kala ia sampai di tempat ini. Lokasi kesukaannya kala bosan dan membutuhkan waktu untuk sendiri. Ia duduk di salah satu atap gedung tua sambil memandang ke arah perkampungan nelayan. Disini ia bisa melihat laut lepas, mencium aroma amis ikan-ikan dan kehidupan sederhana nelayan. Meskipun jika dilihat secara kasat mata, kehidupan di sana terlihat penuh dengan kemiskinan, berbeda dengan area yang jauh di seberang mereka. Terlihat gedung-gedung pencakar langit saling mendominasi. Inilah potret sebenarnya kehidupan.

Sebelah tangannya merogoh saku celananya, namun ia harus kecewa. "Shit, bisa-bisanya gue lupa bawa itu batang." Gagal sudah rencananya untuk menghabiskan waktu disini sambil menyesap asap rokok.

Tiba-tiba saja ponsel dalam genggamannya berbunyi nyaring. Ia sudah tau siapa yang akan menghubungi. "Apaan sih, Lex. Gue butuh ketenangannya ya!" gerutunya kencang saat mengangkat panggilan tersebut. Sebal. "Waktu istirahat gue mana!"

"Lagian lo main kabur aja, Rim. Sini balik lo bangsat. Kita butuh bicarain soal si perempuan itu. Bobby udah berhasil bawa dia kesini," terang Alex. Diujung sana, terdengar juga suara Bobby yang sedang memarahi perempuan itu, Sandra. Dan sekarang mereka terlibat adu mulut.

Rimu menjauhkan benda pipih itu dari telinganya. "Lo bisa nggak sih menjauh sebentar? Telinga gue sakit, Nyet! Lo mau bayarin lagi kalo telinga gue kenapa-napa, Hah?"

Alex tertawa. "Andra gratis, Rim. Sejak kapan sih lo butuh banget ke rumah sakit umum?"

"Sialan," umpatnya.

"Yaudah. Gue udah ngejauh." Suara langkah kaki Alex yang mengetuk setiap anak tangga terdengar berirama. "Dah balik lo buru sebelom gue suruh Lexa buat jemput."

Belum sempat ia menjawab, iris matanya menangkap sesuatu yang mencurigakan. Tepat di bawahnya adalah gang buntu dan seorang gadis baru saja berlari kesana, lalu terperangkap. Tak lama di belakangnya muncul dua laki-laki berwajah dan tubuh sangar, siap untuk memakan gadis itu.

"Rim? Kok lo gagu?"

Rimu memelankan suaranya. "Diem, Lex. Ada yang nggak beres. Gue bersihin dulu."

"EH? BANGSAT BIARIN AJA. BAL--!"

Sebelah tangannya mematikan line telpon dengan kasar dan memasukkannya ke saku celana. Alex pasti sudah marah-marah disana. Awalnya ia hanya berniat menonton saja, tapi melihat si gadis itu kini di seret hingga membentur dinding, darah dalam tubuhnya mendidih. Ia memang kasar, bajingan dan sebagainya. Tapi ia tidak suka hal ini terjadi di tempat ini.

"Bangsat!"

Rimu melompat dengan sempurna, tepat di belakang mereka. Jika manusia biasa, jatuh dari ketinggian seperti itu dipastikan akan patah tulang, tapi tidak dengannya. Ia sudah cukup lama berlatih dan Andra berhasil membuat sesuatu yang khusus agar membuatnya lebih kuat dari manusia lainnya.

"BAJINGAN. Siapa lo ganggu makan siang kita?" tanya salah dari mereka.

Matanya menatap nyalang sambil mendeteksi sejauh mana kekuatan mereka. Rimu mengeraskan rahangnya, membuat deretan gigi-giginya yang rapi bergemeretuk. Mudah, mereka sangat mudah ia jatuhkan. Rimu menyeringai, membuat salah satu dari mereka menjadi semakin marah dan berlari untuk menghajarnya.

Belum sempat pukulan itu mendekat ke wajah Rimu tubuhnya sudah menghindar dan malah menendangnya sampai tubuh itu membentur salah satu tiang disana.

"UAGH!" Si laki-laki yang hampir menghajarnya mengerang karena perutnya yang menghantam tiang. Temannya tidak tinggal diam, ikut menghajar Rimu dari belakang. Hampir saja kepalanya di pukul, tapi Rimu lebih lihai dalam membaca pergerakan lawan.

- REDLINE - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang