#EPILOG - REDLINE

209 8 0
                                    

Song recommendation:

♬ Aimer - Akane Sasu

***

Pramudya memandang puluhan wartawan yang ada di depannya dengan nanar. Tangannya sesekali mengusap wajahnya kasar untuk menyingkirkan peluh yang membasahi dahi, padahal suhu ruangan ini cukup dingin.

Baru saja siaran langsung pengumuman mengenai kemenangannya di siarkan di seluruh negeri. Akan tetapi berita kemenangan itu hanya sebentar saja bertengger di jajaran berita hari ini, berganti dengan kejadian pilu yang membuat batinnya hancur.

Puluhan wartawan di depannya mendapatkan panggilan telepon dari atasan mereka untuk mengabari kejadian di mana terdapat dua kubu yang tengah bersitegang. Ketua Bawaslu pun kebingungan hingga menyalakan layar besar televisi di sisi lain mereka.

Benar, seorang wartawan melaporkan dari sebuah gedung yang tidak terpakai di salah satu sudut kota Jakartam bahwasanya telah terjadi pertempuran antar dua kelompok yang mengakibatkan banyaknya korban luka-luka. Tidak berhenti sampai di situ, di ketahui kedua kelompok ini adalah semacam kelompok mafia kecil bernama Bloods dan Redline dari Red District. Selain itu, di laporkan juga terdapat dua korban jiwa yang telah di evakuasi keluar dari gedung. Seorang gadis dan seorang laki-laki.

"Untuk korban jiwa sendiri di ketahui untuk yang berjenis kelamin perempuan adalah salah satu mahasiswa perguruan tinggi negeri bernama Riana Angelica Wijaya, dan untuk korban jiwa yang berjenis kelamin laki-laki adalah Rimu Reon, ketua dari Redline."

Tubuh Pramudya kaku sekarang. Setelah Cecillia memanggil laki-laki itu dengan nama anak mereka dan Kinara mengatakan anaknya akan datang pada Pramudya untuk membunuhnya, membuat rasa penasaran Pramudya memuncak.

Setelah berhasil mendapatkan informasi lengkap dan sudah di yakini kebenarannya setelah mengutus seseorang untuk mengawasi laki-laki itu, Pramudya sudah cukup yakin mengenai siapa dia. Meskipun hasil tes DNA masih akan muncul beberapa hari lagi, Pramudya bisa menarik kesimpulan.

Rimu Reon adalah benar Edgar Pramudya, anak satu-satunya yang menghilang dan di bawa pergi oleh Kinara.

Tapi jika kau berani menghancurkan Red District dan Redline, maka anda akan berhadapan dengan saya!

Pramudya tak bisa lagi menatap layar, tubuhnya bangkit dan mulai terhuyung sampai seluruh orang yang ada di dekatnya segera memapahnya.

Kini, anak laki-lakinya memang tak bisa menghancurkan Pramudya. Akan tetapi rasa penyesalan menghantuinya sekarang karena tidak bisa menemukan fakta ini lebih cepat.

Lalu, pertemuannya dengan Rimu Reon di ruang kerjanya adalah untuk yang terakhir kalinya.

Kepala Pramudya merunduk dengan sudut maniknya mulai menggumpal menahan air mata yang hendak jatuh.

Anakku, maafkan Papa yang tidak bisa menyelamatkanmu lebih dahulu. Saya adalah orang tua yang tidak berguna hingga tidak bisa menyadari kehadiranmu pada waktu itu. Edgar, maafkan papa, maafkan papa.

Edgar, anakku. Bisakah Papa memelukmu untuk sekali saja?

Jangan tinggalkan Papa dalam keadaan seperti ini, keadaan di mana Papa mengetahuimu di saat terakhimu.

Edgar,

Papa dan mama sangat merindukanmu.

Pulanglah nak, pulang.

Dan tangis Pramudya pecah seketika dan membuat pilu semua orang yang mendengarnya.

***

Semuanya menghilang.

Aroma debu yang menyesakkan inderanya.

Aroma amis darah.

Tongkat-tongkat besar itu.

Suara letupan benda menyebalkan itu.

Semuanya menghilang.

Ia bangkit dari tidurnya yang terasa panjang. Sepasang manik elangnya memicing melihat betapa silaunya tempat ini. Maniknya mengedar, tempat ini seakan tidak memiliki ujung. Seluruhnya di dominasi dengan warna putih menyilaukan.

Manik elangnya sekarang melihat dirinya sendiri dari kaki dan telapak tangannya. Dirinya sama sekali tidak mengenakan alas kaki apapun dan hanya mengenakan pakaian putih kesukaannya, kaus dan celana jeans. Cukup aneh pikirnya, lalu tiba-tiba saja sepasang sepatu kets muncul tepat di depan matanya. Maniknya mengerjap berkali-kali, menguceknya dengan kedua tangan, lalu berjalan kesana dan memakainya. 

Ajaib sekali, sepatu ini muat.

Lagi-lagi maniknya mengedar dan tetap tidak mendapati apapun. Sampai manik elangnya mendapati ada seorang gadis yang berlari ke arahnya.

"Hai," sapanya dengan cerah, secerah matahari yang menyinari bumi.

Sudut bibirnya terangkat," Hai."

Manik bulat di depannya nampak tidak asing, tapi dirinya sama sekali tidak ingat siapa gadis di depannya sekarang.

"Kau baru kemari ya?"

Kepalanya otomatis mengangguk patuh. "Benar. Apakah kau sudah lama di sini?"

Sayangnya gadis ini menggeleng dengan wajah menggemaskan. Ingin rasanya kedua tangannya menjawil gemas pipinya.

"Tidak," katanya cepat. "Aku juga baru saja sampai di sini. Tapi karena tidak ada seorangpun, aku terus berlari hingga menemukanmu."

Wajahnya sedikit tersipu sekarang, namun karena dirinya adalah seorang laki-laki tangannya terangkat menutupi wajahnya yang memerah. Cukup memalukan bukan?

"Mengapa kau ingin pergi bersamaku?" tanyanya membuat gadis di depannya mengerjap dan menggembungkan pipinya.

"Entahlah, aku merasa ingin pergi bersamamu."

Jawaban itu lantas menurunkan tangannya dari wajah dan si gadis di depannya ini bisa melihat semburat kemerahan di wajahnya. Tentunya juga manik elangnya juga mendapati gadis ini juga tersipu malu sama seperti dirinya. 

Tanpa sadar dirinya berdeham, lalu mengulurkan sebelah tangannya ke depan gadis ini.

"Ayo. Kalau gitu mari kita pergi bersama."

- END - 

|

|

|

Huaaaaaaaaaaaaa setelah empat bulan lamanya, naskah ini selesai juga. Mohon maaf juga aku jadi slow respon untuk kasih feedback dan juga balas semua pesan yang masuk. Mohon di maafkan ya.


Selamat membaca :D

Ku harap kalian bisa menyukainya.

Cheers!

- REDLINE - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang