Song recommendation:
♬ Victon - Mayday
***
Tangan yang terkulai lemas di atas ranjang lusuh itu mulai menggeliat. Serta merta, kedua matanya yang terpejam mulai terbuka sedikit demi sedikit. Indera penciumannya menangkap aroma asing yang tidak di kenalnya, bahkan aroma debu yang menyengat mendera tanpa henti. Saat matanya terbuka sepenuhnya, hal pertama yang di lihatnya adalah langit-langit berwarna cokelat tua. Kelihatan cukup tua, sampai rasa sakit di kepala menyerangnya sebentar hingga membuat sebelah tangannya terangkat untuk menyentuhnya, untuk sedikit meredakan rasa sakitnya. Perlahan ia mencoba bangkit dan mendapati dirinya ada di ruangan yang asing.
"Ini, dimana?" batinnya. "Eh? Ini tempat apa?"
Ruangan ini gelap dengan lampu gantung yang termaram di atasnya. Ia ternyata terbaring di ranjang besar di tengah ruangan. Kelihatan sudah cukup lama dan tak terlalu nyaman untuk berbaring dengan selimut berwarna cokelat yang sudah lusuh ada di ujungnya. Di sudut lain, ada tv tua yang masih bisa di pergunakan, wastafel lama yang ada di ujung ruangan dekat dengan kamar mandi, dan lemari besar hitam yang ada di sudut yang lain. Tidak terlihat adanya jendela di ruangan ini. Lalu ada meja yang ada di sudut lain, berserakan bermacam-macam botol minuman yang belum di buangnya. Begitu juga di sofa lusuh berwarna gelap itu, berserakan entah obat-obatan milik siapa.
Dahinya mengernyit, mencoba menelaah apa yang sedang terjadi di sini. Saat ia mencoba kembali mengingat, tubuhnya tersentak dengan kedua tangan yang secara langsung memegangi leher. Pundaknya naik turun seiring dengan napasnya yang tercekat mendadak. Kemudian kesadarannya kembali, ia tidak dalam keadaan tercekik. Di tatapnya kedua tangannya dan saat matanya melirik di salah satu jari, terdapat noda-noda darah. Lagi-lagi ia tersentak karena ingatannya kembali.
Laki-laki itu, mencekiknya dengan kekuatan penuh. Ia sama sekali tak mengerti mengapa hal itu bisa terjadi. Dalam ingatannya, tidak ada rentetan hal buruk, sampai ia teringat akan sesuatu.
Wanita itu. Ya, wanita yang dengan sadar menghajar laki-laki itu tanpa ampun. Ia memang tidak mendengar ucapan mereka, tapi perlakuan yang di berikan olehnya masih tergambar jelas. Apa ini? Ia sama sekali tak mengerti.
Dalam kegamangannya, ia berusaha turun dari ranjang ini dan berjalan menuju pintu. Sungguh, ruangan ini tua sekali dan kotor. Beberapa kali ia harus terbatuk-batuk akibat debu yang ada. Aneh, ruangan ini sama sekali tidak memiliki jendela, seakan si pemilik tak membiarkan setitik cahaya matahari masuk ke dalamnya. Ia tiba di depan satu dari pintu lain di ruangan ini, karena pintu yang lainnya adalan pintu kamar mandi. Sebelah tangannya mencoba membuka kenop pintu, tapi sayangnya tidak mau terbuka.
"Eh? Kok nggak ke buka? Tolong! Siapapun yang di luar buka pintunya!" teriaknya sambil menggedor pintu dengan kepalan tangannya. Ia tak yakin apakah suaranya akan terdengar keluar, namun setidaknya ia sudah berusaha.
"TOLONG! BUKA PINTUNYA!" panggilnya sekali lagi pada siapapun yang ada di luar.
"HALO! SIAPAPUN YANG DI LUAR TOLONG BUKA PINTUNYA."
Ia mendesah pelan karena sama sekali tak ada jawaban sampai akhirnya kenop pintu berbunyi. Tubuhnya mundur sedikit ke belakang, memberikan ruang pada seseorang yang hendak masuk ke dalam. Matanya sedikit menyipit karena saat pintu terbuka, sinar dari bola lampu yang terpasang di luar lebih menyilaukan daripada di dalam sini. Lalu seorang laki-laki masuk ke dalam dan pintu kembali terkunci dari luar. Matanya melebar kaget mendapati sosok ini ada di hadapannya sekarang.
"Kak Andra?"
Wajah Andra datar tanpa ekspresi, namun helaan napasnya terdengar panjang. "Kamu nggak apa-apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
- REDLINE - [END]
Teen Fiction"Plagiat tolong mundur!" Bagi Riana si mahasiswi yang terpaksa mengulang satu mata kuliah, hidup itu sederhana. Bisa makan makanan kesukaan, tidur dengan nyenyak, mendengarkan musik sepanjang hari dan berkeliling kota menaiki KRL sampai stasiun pe...