Tangan Mei menjelajah di setiap lekuk wajah lelaki yang sudah menjadi suaminya. Tak pernah bosan dilakukan setiap pagi. Seperti menjadi sebuah rutinitas yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
"Kak, bangun. Sudah siang. Sarapan," ajak Mei seraya mengguncang tubuhnya. Yang diajak bicara hanya mengeliat, tak berminat menanggapi.
"Mei cium lho."
"Heem, cium saja." Akhirnya Rey buka suara. Dengan sedikit menyipitkan mata, melihat Mei yang membawa sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Aromanya membuat perut Rey keroncongan seketika. Namun, tubuhnya masih lelah, ingin terus berada di atas ranjang meski jarum jam sudah berada di angka tujuh.
"Kalau Mei cium, ga cuma minta itu saja nanti lho. Ada tambahannya," katanya mulai menggoda membuat Rey tersenyum. Dilingkarkan lengannya di pinggang sang istri dan bergelendot manja sembari mengatakan, "Suap!".
Gemas, Mei mencubit pahanya hingga Rey mengaduh kesakitan.
"Manja banget punya suami. Yang seharusnya disuap itu lho Mei, bukan kakak!" protesnya tak terima.
"Kalau gitu, kita suap- suapan aja! Biar impas." Rey membuat kesepakatan.
"Ya, sudah gek duduk. Kayak orang sakit saja tiduran terus. Pagi itu olahraga, biar sehat," omel Mei. Membuat simpul di bibirnya, Rey menuruti perintah Mei.
"Kakak lho tiap hari sakit. JATUH cinta sama kamu. Ngerti gak? Lagipula semalam juga sudah olahraga." Rey menekankan kata'Jatuh' agar terasa nyeri saat mendengarnya.
Entah mengapa, sejak menikah, Rey seperti buaya darat, setiap hari kerjaannya merayu Mei. Namun, Mei tak pernah mempermasalahkannya justru menyukai apa yang dilakukan Rey untuk memgambil hatinya.
"Jatuhnya empuk juga. Lihat, Mei sudah kayak kasur busa. Gemuk, jadi bukannya sakit malah enak dan bikin nambah." Mei tak mau kalah, membuat Rey seketika tergelak. Ditarik tubuh Mei mendekat dan memeluknya, mesra.
"Ayolah kak, cepet makan. Lapar nih." rajuk Mei yang tak ingin nasi gorengnya menjadi dingin karena terlalu banyak adegan yang tidak diperlukan.
"Sebentar ah." kata Mei menggelendot manja di pundak Mei." Jangan terlalu realistislah Mei, sedikit drama kan tidak apa- apa. Nasi gorengnya saja santai, ko malah kamu yang sewot." Rey terkekeh namun Mei mencebik kesal.
"Lupa apa kalau hidup kita sudah banyak drama?" Mei berusaha mengingatkan kembali kisah mereka yang tak berjalan mulus layaknya jalanan berlubang.
"Iya, iya. Ngalah sudah. Sini nasi gorengnya!" pinta Rey menyudahi pembicaraan yang tidak pernah ada habisnya.
Empat tahun menjalani hubungan jarak jauh, Jayapura- Surabaya dikarenakan Mei yang tengah menempuh pendidikan sarjana. Membuat Rey sebulan sekali datang, menuntaskan kerinduan dan hasrat. Begitu lulus kuliah, Rey memboyong Mei pindah dan menetap di Jayapura.
Membeli sebuah perumahan di kawasan Angkasa, tak jauh dari rumah Ray. Mereka tinggal berdua, menikmati waktu sebagai pasangan suami istri yang sah.
"Katanya dikasih sedikit drama, tapi ko makannya habis duluan, mana gak jadi disuapin malah nyuap mulut sendiri sampai habis, gak nyisain istrinya yang cantik." protes Mei yang ikut nimbrung makan tapi hanya kebagian sedikit saja.
"Kalau istri masakin itu harus dihabisin, nanti gak dikasih jatah." katanya sembari menyendok nasi goreng terakhir.
"Bilang saja lapar, apa susahnya!" ucap Mei membuat Rey kembali tersenyum.
"Katanya biar ada drama. Sudah kayak film korea belum jadinya?" tanyanya, Mei mencubit paha Rey lebih keras. Kesal tapi tak bisa berbuat apa- apa. Ketika cinta bertahta, tak ada yang salah di mata. Hanya indah dan bahagia yang membalut kebersamaan, meski dalam hati Mei ada yang kurang tentang cinta yang mereka punya. Buah hati yang didamba.
"Kak, aku bosan di rumah kalau sudah tidak ada kegiatan. Aku mau hiburan." ungkap Mei ketika Rey-mematut diri di cermin- hendak berangkat kerja.
"Kalau bosan kan tinggal main ke rumah kak Ray, apa susahnya. Dekat. Jalan kaki juga sampai. Apa kamu mau kerja? Biar ada kesibukan? Tapi nanti kamu kecapekan." kata Rey mendekat, duduk di sofa yang berada di samping ranjang dan memegang tangan Mei.
"Iya kak, Mei pengen kerja. Kerja momong anak."
Begitu mendengar Mei mengucapkan kalimat itu, Rey melepaskan tangan Mei dan mengalihkan pandangan.Berjalan ke arah jendela, melihat hijaunya pepohonan yang rimbun dengan tanaman rambat yang menjuntai seperti sulur- sulur.
"Kamu masih muda Mei, bersenang- senanglah. Pergi kemanapun yang kamu mau, belanja atau melakukan hal yang kamu suka. Kakak tidak akan mempermasalahkannya."
"Aku sudah cukup bersenang- senang, kak. Aku mau anak darimu. Hasil cinta kita. Masak iya, bikin terus ga ada hasil." jawab Mei membuat Rey terdiam.
Ingatan Mei mengelana, dua minggu setelah pernikahan, Rey mengantarnya ke dokter kandungan, menyuruhnya memasang iud di rahimnya. Dengan alasan, biar ia menyelesaikan kuliah tanpa ada hambatan. Tentu saja saat itu Mei mengiyakan tanpa menaruh curiga meski Rey meminta iud dengan jangka waktu 10 tahun.
Selesai kuliah, Mei meminta izin pada Rey untuk mencopot iud namun mendapat penolakan. Tentu saja ia beralasan ingin bersamanya setelah lama melakukan hubungan jarak jauh, menikmati waktu berdua, ia pun kembali memakluminya. Namun sekarang, setahun sudah berlalu dan Rey belum menunjukkan keinginan untuk memiliki momongan. Mei masih menerka, mengapa Rey selalu menghindar ketika ditanya soal anak.
Dihembuskan nafas panjang, kecewa, mendapat penolakan entah keberapa kalinya.
"Kak, aku sudah mendapatkan semuanya. Masa muda yang penuh cinta, belajar hingga sarjana, mendampingmu dalam pernikahan. Tak tahukah apa yang kuinginkan sekarang?" tanyanya seraya menunduk.
Rey menghela nafas, memutar tubuh dan membenarkan jam di pergelangan tangan. Mendekat ke arah Mei lalu mencium kening seperti biasa.
"Kakak, kerja dulu. Kalau ingin sesuatu bilang saja." katanya lalu mengusap rambut Mei. Beranjak pergi tanpa ingin mendengar apa yang diinginkan Mei saat ini, seolah sudah bisa menebak jawabannya.
"Kenapa kakak selalu menghindar jika Mei membicarakan soal momongan? Umur Mei sudah cukup untuk mengandung buah hatimu? Tak ada yang lebih kuinginkan daripada menjadi seorang ibu kak!" teriak Mei setengah memelas, nelangsa merajai hatinya. Lelah dengan semua alasan yang selalu dilontarkan kala keinginan tak menemui jalannya.
"Sudahlah Mei, masih terlalu pagi untuk berdebat." jawab Rey tak memperdulikan keinginan sang istri.
Menatap punggung Rey yang beranjak keluar rumah, Mei mengikuti dari belakang. Ada sendu yang menggores keceriaannya. Ia butuh jawaban dari semua alasan yang selalu diutarakan.
"Sudahlah Mei. Nikmati saja sekarang. Apa susahnya." kata Rey memutar tubuh dan mendekat ke arah Mei yang masih tak mau tersenyum. Kembali memeluk dan mencium kening dengan penuh kasih sayang.
"Kakak menyayangimu, hanya kamu yang kakak butuhkan." katanya lirih namun Mei masih bisa menangkap dengan jelas. Berusaha menyembunyikan keterkejutan, ia melingkarkan tangan di pinggang sang suami dan mengatakan."Mei juga sayang kakak."
Pikirannya terus menerka maksud ucapan suaminya itu. Adakah ada hal yang sengaja disembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...