tamparan

69 2 0
                                    

Sesuai kesepakatan, sore menjadi hari yang dinanti oleh Mei. Pergi ke mal. Ia sudah mempersiapkan apa yang akan dicari setiba di sana. Tentu saja baju untuk Arkha, susu juga popok.

Rey sudah menunggu di mobil ketika Mei mengunci pintu. Setelah menggendong sang putra, mereka masuk ke mobil. Rey tersenyum melihat wajah bahagia Arkha yang pertama kali keluar. Sepanjang perjalanan, anak itu tidak berhenti berceloteh, membuat Rey berulang kali melirik untuk melihat kebahagiaan yang terpancar jelas di wajah Arkha.

Setiba di mal, Arkha benar-benar kegirangan, seolah menemukan tempat luas yang dijadikan sebagai tempat bermain. Ia berjalan ke sana ke mari meski tertatih-tatih. Ia tak menghiraukan kedua orang tuanya dan sibuk dengan dunia yang baru kali ini dilihat. Hiruk pikuk yang menyenangkan baginya membuat Mei harus menggendongnya.

Berjalan menuju sebuah departemen store, Mei segera memilih beberapa baju yang menurutnya lucu dan berulang kali bertanya pada Rey apakah setuju jika ia mengambilnya. Tentu saja, Rey mengiyakan meski ia lebih memperhatikan Arkha yang justru asyik berada di tempat mainan.

"Ya ... yah. Bil!" tunjuk Arkha pada sebuah mobil hot wheel. Rey mendekat dan memperhatikan dengan seksama, ingatannya mengelana pada saat kecil. Saat Simbok selalu membawa sebuah mainan sepulang dari pasar dan ia akan melonjak kegirangan. Berulang kali menunjukkan pada kakaknya yang sama sekali tidak tertarik atau mungkin merasa norak dengan tingkahnya.

Rey jongkok dan memegang mainan itu lalu menatap wajah Arkha yang begitu berharap. Pandangan yang sama saat ia masih kecil. Tersenyum tipis, Rey mengambil mainan itu dan menyuruh putranya membawanya. Tentu saja, ia begitu girang dan menunjukkan pada Mei.

"Kak, mainan Arkha sudah banyak."

"Tidak apa-apa." Rey tersenyum kaku seolah ingin mengatakan 'Aku juga ingin membelikan untuk Arkha.'

Melihat sikap Rey, Mei membuat simpul di bibir. Hatinya tak bisa melukiskan betapa indahnya beberapa hari ini di mana suaminya seolah telah melangkah jauh meninggalkan masa lalu. Mendekatkan jarak yang pernah dibangun.

Selesai berbelanja, Mei mengajak Rey ke sebuah arena bermain anak-anak. Arkha begitu antusias ketika melihat kolam bola dan ia berhambur begitu Mei sudah membayar biaya masuk.

Arkha begitu senang menceburkan diri dalam kolam bola. Ia berteriak kegirangan. Rey memperhatikan dari luar dan kembali, sebuah senyuman ia lukiskan. Ia tidak tahu perasaan apa yang sedang dialaminya. Apakah ia sudah benar-benar menerima Arkha atau karena tawa Arkha menular padanya.

"Ya ... yah!" panggil Arkha sembari melambaikan tangan. Sontak Rey membalas lambaian sang anak sebelum kembali tertegun, tak percaya bahwa ia telah melakukannya. Pikirannya terus bergulat, apakah mungkin cinta Arkha telah tersampaikan? Atau semua hanya simpati semata.

"Terima kasih, Kak. Pasti sebuah perjuangan berat bagi Kakak," kata Mei begitu keluar dari area bermain. Tangan kiri memegang Arkha dalam gendongan, sedangkan tangan kanan menggenggam jemari sang suami. "Tetaplah seperti ini."

Rey memperhatikan wajah Mei dengan sebuah ceruk di pipinya. "Apa kamu bahagia?" tanya Rey ketika menuruni eskalator.

"Tentu saja. Sejak kecil, aku memimpikan keluarga yang sempurna."

Rey terhenyak, menyadari bahwa mimpinya sama dengan sang istri. Ia pernah berharap bahwa suatu saat bisa mencintai anaknya dan tak mengulangi kesalahan seperti ayahnya. Bisa memberikan cinta dan apa yang tidak pernah didapatkan semasa hidupnya. Kasih sayang dan ikatan sebuah keluarga. "Aku berharap, bisa menjadi diriku seperti ini seterusnya."

"Aku yakin, Kakak pasti bisa." Mei merapatkan tubuh dan Arkha memandang ayahnya sebelum mengulurkan tangan, meminta sebuah pelukan dari sang ayah.

Rey menghentikan langkah dan tanpa menunggu lama, Arkha sudah berpindah pada Rey. Ia menghirup dalam aroma keringat buah hatinya yang memberinya ketenangan. Pandangannya lekat pada wajah anaknya yang berbinar dan senyuman kembali merekah di wajah Rey. "Kasih, Yah," kata Arkha membuat langkah Rey melambat. Ia memperhatikan putranya membuat langkah Mei juga ikut melambat.

"Kenapa, Kak?" tanya Mei penasaran.

"Tidak apa-apa." Rey mengeratkan tubuh Arkha dalam pelukan. Mengalihkan pandangan ke arah lain dan berkata, "Mengapa hal sekecil ini begitu sulit kamu lakukan, Ayah?"

YYYY

Arkha menggelendot manja pada kaki Rey yang tengah asyik berselancar dalam dunia maya. Ia melirik anak lelakinya yang sibuk bermain sebuah mobil hot wheel dan menjadikan pahanya sebagai lintasan sebelum menyadari sebuah nyamuk hinggap di pipinya yang chubby.

Rey meletakkan ponsel di sampingnya dan menegakkan punggung, memperhatikan nyamuk yang sudah mulai melancarkan aksi. Tanpa disadari tangannya sudah bersiap untuk membunuh nyamuk nakal yang berani mengganggu anaknya. Ia berusaha selembut mungkin ketika menepuk pipi Arkha agar nyamuk langsung mati, tetapi entah mengapa tangannya seperti hilang kendali. Bukan sebuah tepukan melainkan tamparan yang mengenai pipi Arkha yang langsung menangis kesakitan dan jatuh tersungkur di lantai.

Ray yang berniat melihat perkembangan sang adik dan baru saja memasuki ruang tamu melihat apa yang baru saja dilakukan Rey. Ia terkejut dan tidak menduga akan melihat hal yang di luar dugaannya. Matanya membulat dan setengah berlari ia menghampiri Arkha untuk mengambil alih. "Apa yang kamu lakukan, Rey?"

Rey tersadar bahwa nyamuk yang hinggap sudah pergi dan sebuah tamparan mengenai sang putra. Ia terpaku sesaat, tak percaya dengan tindakannya sebelum mendengar suara Ray setengah memarahinya. Ia melihat ke arah Ray yang menatap dengan sorot kecewa. "Aku hanya mengusir nyamuk yang ada di pipi Arkha, Kak." Rey berusaha menjelaskan.

Mendengar suara Arkha yang menangis dan Ray yang tiba-tiba marah, Mei datang dari arah belakang. Mendekat dan memperhatikan pipi sang putra yang berwarna merah dan membawanya pergi untuk menenangkan.

"Kalau kamu memang berniat mengusir nyamuk, cukup kibaskan tangan. Itu sudah cukup, tetapi apa yang kamu lakukan. Kamu sudah menampar Arkha, Rey." Napas Ray terengah-engah menahan gemuruh dalam dada. Entah mengapa ia tidak bisa setenang biasa.

"Kenapa? Kenapa Kakak tidak percaya denganku? Rey tidak bermaksud buruk, Kak."

"Rey, jelas-jelas Kakak melihatnya dan kamu masih saja menyangkalnya. Apa kamu tidak sadar dengan apa yang sudah kamu lakukan?"

"Jadi Kakak tidak mau mendengarkan Rey? Baiklah, aku tidak akan membela. Salahkan saja aku. Semua memang salahku, dari dulu." Rey tak melanjutkan omongannya. Ia merasa apa yang akan dikatakan sia-sia. Bayangan kejadian beberapa menit lalu begitu membekas dalam ingatan. Ia sudah berusaha agar tindakannya tidak melukai sang putra, tetapi yang terjadi sebaliknya. Tubuhnya tak bisa mengendalikan laju tangannya yang hanya berniat mengusir nyamuk dan berakhir dengan sebuah tamparan menyakitkan bagi Arkha.

Ray yang tadi tersulut amarah tiba-tiba terdiam dan menyesali ucapannya. Tak seharusnya ia menghakimi Rey sedemikian kejam apalagi sang adik sudah menyanggah segala tuduhan. Namun, suara tamparan yang dilakukan oleh Rey tidak seperti orang yang sedang menghalau nyamuk.

Ray duduk di samping adiknya yang bungkam. "Bagaimana kalau besok Kakak antar kamu ke psikiater lagi?"

Bukannya menjawab, Rey memilih pergi dan masuk ke kamar setelah membanting pintu dengan kesal. Ray yang merasa tindakan adiknya sedikit berlebihan, menyusul langkah ke kamar dan melihat adiknya duduk sembari memijit pelipis.

"Maafkan Kakak, Rey." Ia tahu ucapannya sudah keterlaluan.

Ray beranjak dari kursi dan membelakangi sang kakak. Ada kecewa yang bercokol di hatinya melihat sikap yang ditunjukkan Ray mengingat mereka sudah hidup bersama sejak lama dan saling mengenal. "Tidak usah meminta maaf. Memang benar adanya, dalam diriku ada ayah meski aku sudah berusaha berdamai dengannya."

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang