pelukan pertama

62 3 0
                                    

Sejak kejadian malam itu, Rey mulai memberi sedikit perhatian pada Arkha. Meskipun hanya dari jarak jauh dan tanpa kata-kata, ia selalu mengamati perkembangan anaknya bulan demi bulan. Rasa bersalah karena telah membuat lingkaran setan tak berujung, ia bertekad akan mengakhirinya.

Mengikuti saran dari Ray juga sang kakak, ia belajar meditasi. Tak lupa, ia sering konsultasi dan terapi. Menetralkan pikiran agar tidak kembali terseret oleh monster dalam dirinya. Perlahan, ia mulai bisa menguasai emosi yang sering dilanda ketakutan dan kembali menjadi dirinya yang dulu. Tak jarang Mei tertegun, melihat sebuah simpul terukir di wajah Rey yang sedang melihat sang buah hati belajar duduk dan merambat. Meskipun hanya beberapa detik, tetapi ia bisa melihat kebahagiaan yang masih samar.

Tak terasa, Arkha sudah berumur dua tahun. Bocah itu berjalan sembari tersenyum dan berusaha memanggil nama sang mama. Rey yang melihat dari ruang tamu, tertegun dan merasa bersyukur, bahwa Arkha tidak mengalami peristiwa yang serupa dengannya. Hidup tanpa seorang ibu. Hari-hari dijalani bersama simbok yang sudah dia anggap sebagai pengganti ibunya. Yah, setidaknya, anaknya memiliki keluarga yang sempurna meski Rey belum bisa seutuhnya menerima kehadiran Arkha.

Rey mengalihkan pandangan ke luar jendela. Ia menghela napas sebelum menyadari bahwa sang istri sudah duduk di sampingnya untuk menyusui Arkha. Belum ada lima menit Arkha menyusu, ia merengek dan meminta turun. Tak disangka, anak itu berusaha merambat ke arah Rey yang kebingungan bagaimana menanggapi situasi yang baru sekali itu dirasakan. Kulit Arkha yang lembut bersentuhan dengan kulitnya, menciptakan sensasi tersendiri bagi Rey. Ia menelan ludah dan memperhatikan istrinya yang tersenyum.

"Tidak apa-apa, Kak. Cukup diam saja. Arkha tidak akan menggigit."

Rey menuruti perintah sang istri. Ia bergeming ketika Arkha berusaha memanjat dirinya dan duduk di pangkuan seraya tersenyum. Arkha bangkit dan Mei berusaha memegangi tubuh putranya. Tangannya yang mungil menunjuk pada wajah Rey yang menegang dan tersenyum. "Ya ... ya ...," kata sang buah hati yang tiba-tiba memeluk ayahnya yang begitu ketakutan.

Mei berusaha menahan tawa melihat wajah sang suami yang seperti orang menahan hajat.

Rey menahan napas dan meminta Mei cepat mengangkat Arkha dari hadapannya. Sayang, Arkha enggan melepaskan dekapan. "Ya ... ya ...," katanya lagi.

Mei berusaha membujuk buah hatinya agar melepaskan pelukan, tetapi Arkha masih enggan membuat Rey semakin mati kutu. Terpaksa, ia mengambil dengan paksa membuat putranya menangis seketika. "Ya ... yah ... dong, Akha."

Walaupun belum sempurna cara bicara Arkha, Rey paham maksud ucapan anaknya. Sering memperhatikan tumbuh kembang selama beberapa bulan, membuatnya tahu bahasa sang anak. Sejenak, ada kenangan masa lalu yang kembali datang. Saat ia berusaha mencari perhatian ayahnya dan hanya pengacuhan yang didapatkannya. Ia mengembuskan napas, kecewa dengan dirinya sendiri. Pada akhirnya, ia melakukan hal serupa yang dilakukan oleh ayahnya. Mengacuhkan anaknya sendiri.

"Tidak apa-apa. Biar kugendong Arkha."

Kalimat Rey membuat Mei tertegun sebelum memutar tubuh. "Kakak bilang apa?" tanya Mei memastikan bahwa ia tak salah dengar.

"Biar kugendong Arkha sekali ini saja." Rey berdiri dengan wajah yang tidak jelas, di antara rasa takut dan kikuk.

Mei mendekat dengan ragu dan menyerahkan Arkha yang begitu antusias. Tangisnya langsung mereda ketika sang ibu mendekat ke arah Rey. Setengah ketakutan, Mei memindahkan tubuh Arkha pada sang suami. "Ya ... yah," katanya berulang.

Rey begitu kikuk ketika Arkha memeluknya. Namun, ia berusaha bersikap biasa. Pelukan Arkha yang begitu erat dan tubuh sang putra yang begitu hangat, membuat Rey merasakan sesuatu yang tak pernah dirasakan sebelumnya. Kehangatan mulai menjalari hati dan ia tidak tahu perasaan apa itu. Apakah ia mulai menerima kehadiran sang anak atau hanya sekedar rasa simpati agar Arkha tidak merasakan apa yang pernah dirasakannya.

Ia menghirup dalam aroma Arkha yang begitu khas dengan aroma bedak bayi. Seketika ingatannya kembali ke masa di mana ia menginginkan sebuah pelukan dan ayahnya enggan memberikan. Netranya kembali berkaca. Rasa sakit kembali hadir. Memutar tubuh, Rey berjalan ke arah jendela, menatap ke luar rumah sedang Mei masih terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Melihat suaminya menggendong sang buah hati setelah dua tahun, menjaga jarak.

"Ya ... yah," panggil Arkha yang menarik salah satu tangan dan mengemutnya. Kepala sang putra masih menempel manja di pundak Rey. "Ya ... yah." Arkha kembali memanggil karena Rey tak kunjung menjawab panggilan.

"I-iya, Arkha," jawab Rey kikuk.

Arkha mengucek-ucek matanya tanda mengantuk. Rey melirik putranya yang berulang kali menguap dan memejamkan mata. Sedangkan Mei duduk di sofa setelah mengambil ponselnya di kamar. Merekam momen pertama Rey dengan Arkha.

Rey tak beranjak dari tempat semula. Meskipun ia sering melihat cara orang lain menidurkan anak dengan sedikit menggerakkan tubuh. Tetap saja, ia merasa tidak sanggup dan memilih berdiri, mematung. Tak beberapa lama, Arkha sudah tertidur dan Mei yang sudah menyimpan satu momen spesial di hidupnya, tersenyum bahagia. Ia mendekat ke arah suaminya, meminta Arkha untuk ditidurkan di kamar.

"Terima kasih, Kak. Sudah berjuang sejauh ini," kata Mei sebelum membawa sang putra kembali ke kamar setelah mendaratkan sebuah kecupan di pipinya.

Rey memperhatikan wajah Arkha yang terlelap dalam dekapan Mei. Ada rasa iri yang menelusup dalam hati dan sesak kembali datang. Ia merutuki dirinya, mengapa baru sekarang memberikan hak Arkha untuk dicintai. Tidak mempercayai diri sendiri bahwa ia sanggup melakukannya.

YYYY

"Bagaimana kalau nanti sore kita jalan-jalan ke mal?" tanya Rey pada Mei setelah menidurkan Arkha dan kembali duduk bercengkerama dengannya seperti biasa. "Sepertinya, kita sudah lama tidak keluar. Mungkin, kamu mau mencari baju buat Arkha?"

Mei tertegun sejenak mendengar ajakan sang suami. Biasanya, Rey lebih memilih pergi sendiri atau menyuruhnya berbelanja online yang lebih memudahkan. Ini kali pertama ia mengajak keluar setelah kehadiran Arkha.

Mei merapatkan tubuh dan memeluk sang suami, menyalurkan kehangatan dan cinta. "Ayo, Arkha pasti senang. Ia pasti tidak berhenti berjalan."

Rey mengeratkan pelukan dan membuatnya tersadar, bahwa Mei sedikit lebih kurus. Ia tak menyangka bahwa sang istri mungkin lebih tertekan dibandingkan dengan dirinya. Menjaga Arkha siang malam, belum lagi memberikan perhatian padanya. Beban yang dibawa Mei jauh lebih besar daripada dirinya yang hanya berkutat pada ketakutan dan ketidakpercayaan pada dirinya sendiri. Seketika, ia merasa begitu malu. Tidak bisa menjadi seorang kepala rumah tangga yang diandalkan. Menjadi tangan yang siap membantu, tetapi justru menjadi beban. Meskipun Mei tidak pernah mengeluh dan menjalani dengan senyuman, ia tidak tahu apa yang ada dalam hati sang istri yang sebenarnya. Sudah setahun ia tak pernah tidur bersama dengan dalih menjaga kewarasan. Padahal, ia hanya ingin melarikan diri. "Maafkan aku, Mei. Belum bisa banyak membantumu."

Mei tersenyum dan berkata, "Kakak mau menggendong Arkha, itu sudah sangat membantuku, Kak. Terima kasih untuk hari ini."

Rey membelai rambut istrinya yang entah mengapa tak selebat dulu dan beberapa helai tersangkut di jemarinya. Ia teringat pernah membaca artikel bahwa stres bisa memicu rambut rontok. Hal ini menyadarkannya, bahwa sang istri pasti begitu lelah jiwa raga dan semua disebabkan olehnya. "Bolehkah Kakak tidur  bersama lagi?"

Mei terkejut, hampir tak percaya dengan kalimat yang baru saja diantarkan oleh syaraf gendang telinganya. Ia melepaskan pelukan dan menatap dengan keheranan. "Kakak bilang apa?"

Setelah apa yang terjadi beberapa jam lalu, ia masih belum bisa mempercayai dengan perubahan sang suami.

"Aku hanya ingin mencoba lebih dekat dengan Arkha. Apa kamu keberatan?"

Mei tersenyum penuh arti. Matanya berkaca mendengar kalimat yang begitu dinantinya selama ini. "Tentu saja tidak, Kak. Arkha pasti senang bisa tidur dengan ayahnya."

Rey tersenyum membuat sang istri seketika dilanda dilema. Apakah apa yang dilakukan adalah hal yang tepat? Membiarkan sang suami tidur bersama lagi? Apakah nanti lelakinya bisa mengendalikan emosi ketika Arkha menangis seperti beberapa bulan yang lalu di mana ia jelas-jelas menunjukkan kemarahan. Mei berusaha mengacuhkan segala prasangka mengingat siang tadi, Rey telah menjadi dirinya sendiri. Memeluk Arkha seperti harapannya selama ini. Menjadi seorang ayah.

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang