Tak ada senyum yang terukir di wajah Rey begitu sampai di rumah. Semua memudar, tetapi tidak dengan pikirannya yang semakin kusut dan tak terurai. Segala pikiran negatif kembali menyerbu dirinya, hingga akhirnya ia rebah.
Tak ada kehangatan juga canda tawa Mei yang selalu bermanja-manja. Sang istri sibuk dengan dunia barunya, yaitu Arkha. Anak lelaki yang begitu dinantikannya. Jika dulu, Rey adalah pusat semesta Mei, sekarang sudah berganti dan ia menyadari bahwa sekarang tak ada lagi artinya kini.
Jam sudah merangkak ke angka 7, biasanya Mei akan datang, membawa sarapan untuknya. Namun, kali ini Kakaknya yang datang.
"Di mana Mei, Kak?" tanya Rey begitu Eza meletakkan nasi goreng di nakas.
"Sedang memandikan Arkha."
"Aku mau Mei yang mengantarkan sarapannya."
Eza menghela napas. "Rey."
"Aku mau Mei dan bukan Kakak," tegasnya sekali lagi.
"Rey, mengertilah. Mei--,"
"Aku sudah mengerti. Aku juga sudah memberikan apa yang Mei inginkan dan sekarang aku mau Mei." Wajah Rey menegang dengan rahang yang mengeras. Sorotnya begitu dingin.
"Biar sekali-kali Kakak yang--."
"Sudah kubilang, aku tidak butuh Kakak!" tegas Rey yang berlalu menuju balkon.
Eza kembali menghela napas, melihat sikap adiknya yang kekanak-kanakan. Hal yang jauh berbeda dengan perilakunya selama ini. Cemburu. Yah, bisa dibilang Rey cemburu dengan anaknya yang telah mengalihkan dunia sang istri.
Berjalan mendekat, Eza berusaha membujuk sang adik. Namun, penolakan kembali didapati. Pikirannya mengingat kembali saat ia berkonsultasi dengan psikiater tentang keadaan Rey. Innerchild yang terluka akibat pola pengasuhan selama kecil, telah menciptakan monster dalam diri adik kecilnya. Ia mengira bahwa Rey telah memaafkan masa lalu, tetapi kenyataan tidak demikian. Ia hanya menyembunyikan tanpa ada niatan untuk berdamai dengan semua luka. Tentu saja, ia paham. Tak mudah memaafkan waktu yang memberi luka bernanah selama hampir tujuh belas tahun.
Eza memperhatikan adiknya dengan tatapan nelangsa. Ingin mengutuk kebodohannya sejak dulu. Buah dari semua perbuatan. Menghela napas, ia tidak ingin kembali tenggelam dalam perandaian. Semua yang terjadi sudah menjadi takdir dan apa yang ada di hadapannya adalah buah dari sikapnya. Turut mengacuhkan.
"Pulanglah, Kak! Aku tak butuh dirimu. Aku hanya ingin Mei."
"Apa kamu membenciku, Rey?"
Yang ditanya tidak berniat menjawab. Ia memutar tubuh dan Eza berusaha meraih tangan sang adik yang sontak menepis dengan kasar.
"Rey. Apa kamu membenciku?"
Rey tertegun sejenak. Tatapannya begitu tajam, bersiap untuk menguliti dosa sang kakak. Amarah yang sedari tadi ditahan, sudah berada di ubun-ubun kepala. Namun, mulutnya masih bungkam atau mengkin sedang bersiap memuntahkan segala dendam yang membara. Begitu Eza kembali memegang pergelangan tangan, terang saja Rey menatap sang kakak dengan nyalang. Tak ada pengampunan. Ia lelah membawa kebencian yang telah mengakar kuat dan berpura-pura sudah memaafkan.
"Ya, aku membenci Kakak. Aku benci karena Kakak tidak pernah mau membelaku. Aku benci karena Kakak selalu mengacuhkanku. Aku benci karena ... Kakak mengambil seluruh cinta dan perhatian ayah tanpa menyisakan untukku." Tubuh Rey menegang dengan tangan terkepal.
"Kenapa selalu Kakak? Kenapa?" Suara Rey melunak dan kaca di mata menebal. Kepura-puraan yang selalu dijadikan topeng, akhirnya hancur. Setelah memendam bertahun-tahun lamanya, akhirnya ia mengeluarkan segalanya. "Kenapa Kakak mendapatkan segalanya dan Rey tidak? Kemana Kakak ketika Rey membutuhkan? Mengapa Kakak tidak mau membagi sedikit kebahagiaan untukku? Bukankah kita saudara?" Suara Rey berubah serak, terdengar begitu menyayat di telinga sang kakak yang lagi-lagi dihunjami penyesalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
عاطفية'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...