Setelah kejadian yang menimpa Rey, Ray dan Eza meyakini adiknya sudah berhasil berdamai dengan semua luka. Meninggalkan apa yang harusnya tak digenggam. Ia telah berkawan dengan rasa sakit dan memeluk dirinya sendiri dengan cinta. Tentu saja sang putra yang telah membuatnya menyadari segala hal dalam hidupnya kali ini.
Hari demi hari, perkembangan Rey mulai membaik. Ia juga sudah dipindahkan ke ruang inap. Tak ada yang ditanyakan setiap hari olehnya, kecuali Arkha. Ia tahu rumah sakit bukan tempat untuk anak kecil, hanya saja kerinduan sudah tak bisa ditahannya.
“Ya ... yah!” seru Arkha kala hari itu datang berkunjung untuk pertama kali. Bocah kecil itu langsung menghambur dalam pelukan Rey begitu sampai di rumah sakit.
Melihat kedatangan sang putra, Rey yang juga begitu merindukan dan mengkhawatirkannya langsung memberikan sebuah pelukan dan kecupan juga dekapan.
Mei dan Eza saling berpandangan ketika menatap adegan yang membuat hati keduanya amat tersentuh. Tidak pernah mereka sangka bahwa Rey, yang dulunya bersikeras tidak menginginkan Arkha, bisa berdamai dengan segala rasa sakit yang telah mendera sepanjang hidup. Kemudian, memutuskan rantai pola pengasuhan sang ayah yang amat beracun.
“Ya ... yah, akit?” tanya Arkha, begitu melepaskan pelukan dan melihat selang infus menempel di punggung tangan ayahnya.
“Arkha sudah di sini, jadi Ayah sudah tidak sakit lagi.” Rey tersenyum sembari membelai kepala putranya dengan penuh kasih sayang.
Mei berusaha mengambil alih Arkha dari Rey, tetapi mendapat penolakan. Wajah bocah kecil itu sudah cemberut dan bersiap melancarkan aksi menangis, jika Rey tidak meminta sang istri membiarkan Arkha untuk tetap di sisinya. Mau tak mau, Mei menurut dan menyingkir, duduk bersama kakak iparnya di sofa yang berada tak jauh dari ranjang.
Suasana begitu riuh ketika Arkha dengan polosnya menceritakan segala sesuatu dengan bahasanya yang cadel, membuat sang ayah berulang kali menarik simpul di bibir. Mei dan Eza sedari tadi tak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pemandangan yang ada di hadapan mereka begitu indah, sebuah ikatan yang begitu mereka harapkan akhirnya terjalin juga.
“Terima kasih karena sudah memahami Rey,” kata Eza pada Mei.
Mei sedikit kikuk mendapat ucapan terima kasih dari sang kakak ipar. Ia tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Hanya saja, wanita itu merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah tanggung jawab bersama dalam menjaga pernikahan. Mereka harus saling memahami dan menguatkan. Meskipun terbersit prasangka buruk pada sang suami, saat Arkha menelan obat depresan. Namun, tak ada niat sedikit pun dalam hati Mei meninggalkan lelaki tercintanya itu.
“Tentu saja, Kak. Bagaimanapun Rey adalah suamiku,” jawab Mei pada akhirnya.
Eza tersenyum mendengar jawaban itu. Ia paham bagaimana sulitnya berada di posisi Mei. Pilihan yang tak mudah bagi sang adik ipar untuk bisa membagi cinta dan menyalurkan kekuatan pada Rey. Ia begitu bersyukur Rey mendapatkan istri yang begitu memahaminya, walaupun perbedaan umur mereka begitu jauh.
Hampir satu jam, Eza bercengkerama dengan Mei. Suasana yang tadi riuh oleh celotehan Arkha mendadak hening. Ray membuka pintu bersama Nia dan melihat pemandangan yang mencengangkan. Rey tertidur pulas dengan Arkha yang memeluknya. Eza berjalan ke arah Ray yang tersenyum. Ia penasaran apa yang terjadi karena sebelumnya ruangan begitu penuh oleh suara Arkha.
“Kupikir, aku tidak akan pernah melihat pemandangan seperti ini.” Eza tak bisa menyembunyikan bahagianya.
Ray menghela napas. “Yah, tak kusangka akan secepat ini Rey berubah.”
“Sudah kukatakan, bukan? Kalau Rey akan segera melaluinya. Yah, meskipun dengan merangkak, akhirnya ia keluar dari kegelapan.”
Mei memperhatikan keluarganya dan tersenyum. Semua kejadian penuh air mata ini telah menyatukan hati yang terpisah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romantizm'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...