Sejak kejadian Rey yang tidak sengaja menampar Arkha. Mei mulai menjaga jarak yang membuat sang putra sedikit rewel. Rey begitu menyadari tindakan istrinya. Tentu ia paham mengapa Mei sedikit ketakutan dengan sikapnya yang masih belum bisa mengontrol diri. Walaupun pada kenyataan, ia tak bermaksud buruk pada anaknya, tetapi sikapnya yang pernah menimbulkan ketakutan tetap membekas dalam ingatan orang terdekat. Rey juga tidak berniat untuk menjelaskan lebih lanjut, karena semua sia-sia. Tak ada yang bisa dilakukannya kecuali mengubah pandangan Mei juga Ray padanya. Ia hanya bisa berharap, tak terbawa amarah yang bisa meledak begitu saja dengan semua tuduhan padanya. Tak mudah mengenyahkan rasa saat semua telunjuk menuding padanya. Hatinya bagai terseret kembali pada kubangan masa lalu. Namun, ia selalu pikirannya untuk kembali melangkah dan tak melihat lagi ke belakang.
Rey menghela napas. Di saat orang begitu mendukungnya bahwa ia berubah, ia justru membuat kesalahan fatal yang semakin memperkuat prasangka bahwa ia masih sama.
"Ya ... Yah," panggil Arkha begitu melihatnya keluar dari kamar.
Rey membiarkan sang putra tetap memeluk salah satu kakinya sebelum Mei membujuk untuk melepaskan. Seperti biasa, bocah itu akan tetap merajuk hingga sang ayah memberinya sebuah pelukan. Mau tak mau, Rey menurutinya meski pandangan Mei tak bisa lepas dari tadi. Sebuah sikap waspada yang begitu kentara, tetapi ia berusaha mengacuhkan. "Ayah kerja dulu, ya."
Arkha mengangguk sebagai jawaban dan mencium pipi Rey. Sebuah senyuman dan lambaian ia berikan sebelum Rey berangkat kerja. Ada kehangatan yang menjalari hatinya dan tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Cinta tulus yang sama seperti yang pernah Mei tunjukkan. Sebuah jalan yang pernah membuka salah satu pintu hatinya.
Dari kaca spion, Rey melihat Arkha masih berdiri dengan melambaikan tangan padanya. Ia berlari mengikuti mobil sang ayah yang bergerak menjauh dan Mei masih setia menjaganya. Sebuah senyuman tak bisa lagi Rey sembunyikan. Ia merasa kembali hidup sejak Arkha sering menanyakan juga menanti kepulangannya. Sebuah rumah yang dulu begitu ia inginkan di mana ada senyuman yang selalu diberikan kala lelah menghampiri raga setelah seharian bergulat mencari nafkah. Sekarang, ia sungguh menyadari bahwa ia begitu berarti, setidaknya bagi putranya juga Mei.
Rey terus menyetir sembari memikirkan cara untuk mengatakan pada Mei bahwa ia telah menerima Arkha sepenuhnya. Kenyataan bahwa putranya telah memberikan apa yang dulu pernah dia impikan. Cinta dan kasih sayang.
Menepikan mobil di sebuah perbelanjaan, entah mengapa Rey ingin sekali membelikan sang buah hati mainan. Padahal baru beberapa hari yang lalu, ia membelikan sebuah mobil hot wheel kesukaan Arkha dan sekarang ia menjadi keranjingan ingin membelikan mainan yang lain. Hampir satu jam ia melihat berbagai mainan hingga memutuskan membeli sebuah excavator mini sebagai buah tangan kali ini.
Sesampai di kantor, Rey berulang kali melihat mainan yang dibelikan untuk Arkha. Ia tersenyum membayangkan betapa bahagianya sang putra menerimanya. Ia begitu tak sabar ingin segera memberikan.
Seharusnya, Rey pulang untuk makan siang bersama, tetapi kali ini ia tidak bisa. Asisten yang mengurusi bengkel memintanya datang karena ada klien yang ingin bertemu. Memenuhi permintaan customer yang ternyata adalah pelanggannya sejak pertama membuka bengkel, Rey terlarut dalam pembicaraan hingga waktu menjelang sore. Begitu customernya pergi, gegas ia pulang. Sepanjang perjalanan, ia berulang kali melirik mainan yang akan dihadiahkan dengan senyum yang tak memudar dari wajahnya.
Begitu mobil Rey memasuki pelataran, Arkha kegirangan melihat kedatangannya. Dengan hati-hati ia menuruni tangga dan segera berlari menyambut sang ayah yang sudah dirindukan seharian karena tidak pulang. Rey melihat mobil kakaknya terparkir di bawah pohon pinang dan ia memilih di sampingnya.
"Ayah," pekik Arkha sembari melompat-lompat.
Rey keluar dengan menyembunyikan mainan di balik punggung. Arkha yang mendengar bunyi plastik begitu penasaran, ia melongak penasaran. Tubuh Rey yang besar menghalangi pandangan Arkha yang ingin tahu. Melihat sikap anaknya, Rey berjongkok dan memberikan mainan. Mata Arkha yang bulat semakin lebar. Bukan hanya sebuah senyuman, tetapi tawa kegirangan ia tujukan pada ayahnya. "Kasih, yayah." Begitu mendapatkan mainan, Arkha memutar tubuh ingin menunjukkan pada Mei yang baru saja keluar dengan Ray. Anak kecil itu memperhatikan mainan baru yang begitu mempesona dalam matanya. Terlebih lagi, ayahnya yang baru saja membelikan. Ia berjalan dengan pandangan terkunci pada excavator lucu berwarna kuning menyala.
Arkha menaiki tangga demi tangga dengan Rey di belakangnya. Begitu kaki sang putra sudah menapak tangga terakhir, Rey melihat pecahan kaca. Melihat Arkha yang tidak memakai alas kaki, tubuh Rey refleks menarik Arkha agar tidak melangkahkan kaki. Sayang, sedetik yang menyelamatkan Arkha tetap saja menjadi sebuah kemalangan baginya. Rey menarik tubuh sang putra tanpa menahan laju tubuh anaknya ke belakang. Tubuh Arkha terjatuh dan tiga buah tangga sukses menerima tubuh kecilnya.
Mei dan Ray yang baru saja keluar, terkejut melihat apa yang telah diperbuat Rey. Siapapun yang melihat tentu menyangka bahwa Rey sengaja membiarkan sang putra jatuh ke belakang. Mei menjerit histeris bersamaan dengan tangisan Arkha dan Rey terpaku dengan apa yang sudah diperbuatnya, lagi. Ia melihat tangan dan dahi putranya sudah lecet dan dengan segera membantunya berdiri. Namun, Mei segera mengambil alih dan membawa Arkha masuk.
Sementara itu, Ray melihat Rey dengan sorot kecewa untuk kedua kali. Ia mendekat dan mencengkeram tangan Rey yang berusaha menolak. "Jelaskan pada Kakak. Apa yang akan kamu lakukan pada Arkha?"
Rey terdiam dan berlalu masuk. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan dan memilih melihat keadaan Arkha yang terus menangis kesakitan. Ingin menenangkan sang putra, tangan Rey ditarik paksa oleh Ray yang kembali meminta penjelasan dan ditolak berkali-kali hingga kesabarannya mulai habis.
"Apa, Kak? Apa Kakak menyuruhku mengaku bahwa aku sengaja menarik Arkha? Ya. Aku memang menarik Arkha." Emosi Rey seketika meledak dan Mei sontak menutup pintu agar Arkha tidak mendengar pertengkaran yang terjadi.
Ray terpaku sesaat mendengar intonasi Rey yang tinggi. Ia berusaha menarik Rey agar berbicara di tempat yang lain, tetapi sang adik sudah kalap. Lelaki yang terbakar amarah itu menatap seperti saat pertama akan mengakhiri nyawa Arkha.
"Apa Kakak akan menyuruhku kembali ke psikiater atau menelpon Kak Eza untuk membawaku kembali ke Jakarta. Aku memang pernah gila, Kak. Namun, aku tak ada niat lagi untuk mencelakakan Arkha."
Ray mengisyaratkan dengan tangan agar Rey lebih tenang. Sayang, sang adik sudah tak bisa berpikir jernih. Ia menepis tangan Ray dan kembali meluapkan kekesalan.
"Aku memang pernah membencinya, tetapi sekarang menyayanginya. Aku salah karena menariknya agar tidak menginjak pecahan kaca dan tidak menahan tubuhnya lalu apa Kakak akan percaya dengan ucapanku?"
Kali ini, Ray terdiam. Ia memperhatikan wajah Rey yang merah padam sebelum berlalu ke kamar. Di belakang, Ray mengikuti langkah adiknya. Ia ingin mempercayai ucapan Rey, tetapi sebuah kebetulan kembali membuatnya berpikir bahwa Rey belum benar-benar sembuh. Masih ada tersisa monster yang masih menguasainya.
"Untuk apa Kakak mengikutiku?"
"Kakak percaya ucapanmu, Rey."
Rey menatap dengan nyalang, ada ketidakpercayaan yang jelas terlihat dari sorotnya yang membara. "Kakak tidak mempercayaiku." Ia yang duduk di tepi ranjang, bangkit dan menelisik ke dalam bola mata Ray.
"Rey, Kakak sungguh mempercayainya." Suara Ray melunak, tetapi Rey justru tersenyum sinis dan tertawa.
"Bohong. Kakak berubah, sudah tidak seperti dulu. Kakak tidak lagi mempercayaiku, bukan?"
Belum sempat Ray memberikan penjelasan, Rey sudah mendorong tubuh kakaknya keluar dan menutup pintu. Ia mendengkus kesal sebelum membuang apa yang ada dalam kamar untuk meredamkan kekesalannya dengan berteriak. Ini kali pertama Rey menunjukkan kegusarannya setelah sekian lama memendamnya. "Aku hanya ingin melindungi Arkha. Apa aku salah? Ya aku salah karena justru mencelakakannya." Begitu selesai menumpahkan kekesalan, Rey kembali membuang barang-barangnya hingga berserakan lalu menutup kedua telinganya. Ia memeluk lutut di samping ranjang sebelum meringkukkan tubuh, membiarkan ponselnya terus bergetar sedari tadi.
Di luar, Ray dan Mei saling berpandangan. Tak tahu harus bagaimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...