kenangan yang mencekik kewarasan

55 2 0
                                    

Sekembalinya Rey di rumah, ia merasa kesunyian kembali menyergap meski suara celoteh sang bayi terdengar. Duduk di ruang tamu, ia bingung harus berbuat apa. Mei masih sibuk dengan dunianya membuatnya kembali berpikir, mengalihkan rasa sepi yang ada dengan kembali bekerja, mengurus kedai juga bengkel yang terbengkalai.

"Kakak, mau kerja?" tanya Mei yang baru saja menggendong Arkha untuk menidurkan begitu melihat sang suami sudah berganti baju.

Rey mengangguk sebagai jawaban.

"Kakak yakin?"

"Aku tidak apa-apa, Mei. Kakak butuh kegiatan," jawab Rey sekenanya.

"Sebentar, Kak." Mei berlalu masuk ke kamar, meletakkan Arkha yang sudah terlelap dan menyusul sang suami yang sudah berada di ambang pintu.

"Tidak usah mengantar, aku tahu kamu sibuk."

Bukannya menjawab, Mei justru memeluk sang suami. "Sekarang, aku tidak sibuk, Kak. Bagaimana kalau berangkatnya nanti saja," katanya sembari menghirup aroma yang selalu membuatnya candu. "Aku kangen. Jangan pergi dulu, kita duduk dulu di sini atau di kamar." Mei mengerling nakal dan Rey sedikit terkejut dengan ucapan sang istri.

"Nanti Arkha bangun." Rey membuat alasan. Namun, Mei tak mengindahkan. Ia menyeret sang suami ke kamar dan memberikan cinta yang berjarak setelah kehadiran sang anak.

"Aku tak mau Kak Rey beranggapan kalau Mei melupakan Kakak," kata Mei mendekap sang suami yang bersiap kerja. Ia kembali menghirup aroma sang suami dan meletakkan kepala di dadanya. "Aku berharap, kita bisa lebih sering bersama. Tunggu sampai Arkha sedikit lebih besar, ya, Kak."

Rey melepaskan dekapan dan mencium kening sang istri. "Istirahatlah. Mau makan pakai apa nanti malam?"

Mei memasrahkan urusan makan malam pada sang suami. Ia tidak mempermasalahkan. "Yang terpenting, nanti kita makan bersama, ya." Mei menerlusupkan jemarinya di antara jemari sang suami sebelum berjinjit dan memberikan sebuah kecupan di pipi. "Hati-hati, Kak."

Rey tersenyum mendapati perlakuan sang istri. Ia tahu apa yang dilakukan Mei hanya sebatas agar dirinya tidak kembali jatuh dalam kubangan rasa tak berharga. Memberinya kekuatan dan arti.

Membalas perlakuan manis sang istri, Rey mencium kening Mei dan mendekap dalam kehangatan. "Tolong beri aku waktu untuk mencintai anak kita."

YYYY

Hari-hari berlalu masih sama. Rey masih tidur di lantai dua. Ia belum mempunyai keberanian untuk tidur seranjang dengan sang buah hati yang hampir setiap malam membuatnya terjaga karena tangisannya.

Sesuai permintaan Eza, Mei juga tidak memaksakan diri untuk mengeratkan ikatan antara Rey dan Arkha. Ia tahu tak mudah bagi sang suami menerima kehadiran anak yang sedari awal tak pernah diinginkannya. Tugasnya hanya mengurusi Arkha dan mencurahkan sebagian waktu bagi sang suami. Menemani setiap pulang kerja dan mengajak bicara agar ia tidak kembali depresi. Urusan sandang sudah diserahkan pada Ray. Setiap dua hari sekali, ia akan datang membawa baju kotor dan membawanya ke laundry. Terkadang sarapan juga diantarkan mengingat Mei sering begadang setiap malam.

Jauh sebelum Eza kembali ke Jakarta, ia sudah menawari Mei jasa baby sitter atau pembantu yang akan meringankan pekerjaan, sayang ia menolak tawaran bantuan sang kakak ipar. Mengatakan akan berusaha semampunya, karena sedari awal ia yang begitu menginginkan.

Malam ini, Rey kembali terjaga. Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul sebelas dan ia baru saja terlelap. Suara tangisan Arkha kembali membuat kepalanya begitu sakit. Ia beranjak bangun dan melihat mengapa sang bayi masih saja terjaga dengan suara rengekan yang memekakkan telinga.

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang