Mei tengah melihat perutnya yang masih belum menunjukkan perubahan di depan cermin besar di samping ranjang. Tersenyum penuh arti, ia mengelus- elus perutnya seolah sedang membayangkan hamil besar.
Begitu sang suami keluar dari kamar mandi, buru-buru ia menurunkan piama dan tersenyum menyambutnya. Rey menatap penuh curiga, tetapi ia berusaha mengacuhkan. Beranggapan Mei hanya sedikit terobsesi memiliki anak.
Hari berganti hari, Mei menjadi lebih sering berdiri di depan kaca. Melihat perutnya yang masih rata. Rey sering mempergoki sang istri, tetapi tak mempermasalahkannya. Hingga suatu hari kecurigaannya terlontar.
"Kenapa kamu sering mengelus perutmu, Mei?" tanya Rey, pagi itu ketika baru saja selesai mandi. Dahinya mengernyit dengan alis saling bertaut.
"Tidak apa-apa, Kak, aku hanya senang saja. Makan banyak tapi perutku tak buncit juga," Mei berbohong dan berusaha bersikap biasa.
Rey menatap sang istri sembari berjalan mendekat, mencari kejujuran yang tak didapati dari iris hitam wanitanya. "Kapan terakhir Mei datang bulan? Kenapa pembalut di kamar mandi belum berkurang dan kamu minta tanpa jeda dalam sebulan ini?" tanya Rey membuat Mei gelagapan.
Mei memutar otak sembari tersenyum, mencari alasan yang tepat untuk diungkapkan.
"Mei cuma sebentar Kak datang bulannya. Mungkin kecapekan." Mei beralasan dan mengalihkan pandangan agar tak ketahuan.
Rey menatap kecewa, ia tahu Mei tengah menyembunyikan sesuatu. Tubuhnya bergetar, ia takut apa yang dipikirkannya menjadi nyata. Kecurigaan selama beberapa bulan ini.
"Mei bohong kan?" tanya Rey mendekat, menatap manik mata Mei yang mencoba menghindar. "Kakak tidak pernah merasakan lagi benang saat kita berhubungan. Apa Mei mengeluarkannya?" tanya Rey, parau. Ketakutan mulai menjalari setiap sendi.
"Katakan Mei. Kamu sudah mengeluarkannya, bukan?" tanya Rey sekali lagi.
Mei menatap Rey dengan netra berkaca sebelum mengangguk sebagai jawaban. Ia sudah menyiapkan mental jika hari ini akan datang, tetapi entah mengapa hatinya justru dirundung ketakutan teramat sangat.
Tubuh Rey seakan tak bertenaga melihat Mei menganggukkan kepala. Memundurkan langkah dan melepas genggaman, Rey memegang kepalanya.
"Kak." Mei mendekat, tetapi tangan Rey mengisyaratkan untuk tak berjalan ke arahnya. Ia duduk di atas ranjang dengan perlahan, napasnya tersengal seolah tengah diserang asma yang datang tiba-tiba. Meremas jemarinya dengan gusar, Rey bertanya. "Apa kamu hamil?"
Rey mendongakkan kepala, menatap sendu pada Mei, berharap gelengan kepala yang dilihat sebagai jawaban. Namun, Mei mengangguk dengan pasrah.
"Maaf, Kak. Mei menginginkannya."
Dunia Rey seketika runtuh. Ketakutannya terjadi. "Mengapa Mei tidak mau menuruti permintaan Kakak?" tanya Rey gemetar, berdiri mendekat, berjalan ke arah Mei dan memegang pundaknya. "Jadi? Mei berpura-pura belanja dan ...."
Mei mengangguk seolah tahu apa yang akan menjadi kelanjutan pertanyaan. "Kak, Mei pengen punya anak. Anak kita." Mei berusaha menyakinkan Rey, berharap ia tidak akan mengeluarkan amarah dan memaklumi keinginannya.
Lama, Rey memandang lekat istrinya. Wajahnya yang sendu tiba-tiba berubah.
"TIDAK. Gugurkan kandunganmu!" kata Rey dengan napas memburu dan sorot bengis penuh angkara. Mata Mei membulat sempurna. Tanpa diminta, sesak dan air mata berlomba datang. Dipandangi lelaki yang telah menawan hatinya sejak kecil. Tak mempercayai bahwa sang suami baru saja mengatakan hal yang mengerikan. Mei merasa tidak mengenal lelaki yang herada di hadapannya. Sorotnya tidak teduh seperti biasa, justru seperti penjahat yang haus akan darah.
![](https://img.wattpad.com/cover/280754769-288-k494392.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...