Mei memegang pergelangan tangan Rey sembari menunduk. Ia enggan untuk pulang, masih ingin berlama- lama dengan bayi yang menarik hatinya. Lucu dan menggemaskan, membuat hatinya sejenak melupakan kesedihan yang beberapa bulan berduyun- duyun datang lalu bersemayam.
"Besok Mei bisa datang lagi. Sekarang sudah malam." kata Rey berusaha membujuk istrinya untuk pulang. Diusap pipi Mei dengan lembut, menenangkannya namun ditanggapi dengan dingin.
Dengan muka masam, Mei menuruti perkataan Rey dan masuk ke dalam mobil. Masih tersisa kesal yang belum tuntas diluapkan, ingin menunjukkan pada suaminya betapa menyebalkan keputusan yang dibuatnya.
"Kak, besok aku copot iudnya ya!" pinta Mei mengiba.
"Mei, kamu sudah tahu kan jawaban kakak? Berhentilah membicarakan hal ini, kakak tidak suka melihat wajahmu yang sedih." jawab Rey seraya menarik dagu Mei dan berusaha menggodanya.
"Itu karena kakak tidak mengabulkan apa yang Mei pinta." ungkap Mei, memperjelas apa yang mengganjal di hatinya.
Rey menghela nafas. Ia lelah. Beberapa hari Mei selalu mengajaknya berdebat tentang hal yang sama. Ia sudah kehabisan kata untuk menjawab semua tanya. Anak, itu yang selalu disinggungnya. Berulang bahkan dalam candaan. Rey begitu paham, apa yang menjadi keinginan wanita yang berada di sampingnya namun selalu mengacuhkan. Haruskah, mengatakan kebenaran agar sang pujaan paham maksud dan keinginan. Tapi bagaimana bisa mulutnya bersua jika yang keluar adalah perkataan yang menyakiti hatinya. Dilema.
"Apa kakak tidak mencintai Mei?" tanyanya membuat Rey menghentikan laju kendaraan dan menatap tidak suka mendengar pertanyaan yang tidak usah dipertanyakan lalu tertawa.
"Mengapa kamu menanyakan hal konyol seperti itu Mei? Bukankah kamu sudah tahu jawabannya?" berusaha memegang tangan Mei yang sedari tadi menunduk.
"Lalu kenapa kakak tidak membiarkanku mengandung buah hatimu?" tanya Mei membuat Rey entah keberapa kali menghela nafas. Lelah, mendapati satu pertanyaan yang tak bisa menemui jawaban, ia memilih kembali melajukan kendaraan.
"Setidaknya, beri aku alasan mengapa kakak membuatku harus menunggu lama? Apa kakak belum siap membagi cinta?" tanyanya menatap Rey yang tak mengeluarkan sepatah kata. Mei butuh kejelasan.
Mobil berhenti sempurna di depan rumah namun Rey tak kunjung mematikan mesin dan keluar seolah ada yang hendak dikatakan. Disandarkan punggung ke kursi dan menatap ke depan. Hatinya bimbang tapi dengan segenap kekuatan mengeluarkan jawaban yang dinanti istrinya agar paham mengapa ia melakukannya.
"Anak itu akan pergi meninggalkan kita, tapi kamu akan menemaniku sampai tua." Menjeda kalimatnya, menguatkan seluruh jiwa untuk mengatakan sebuah kebenaran yang jelas akan menyakitkan hati sang idaman."Yang kuinginkan hanya kamu, menemaniku hingga akhir. Tak masalah bukan, jika kita hidup tanpa buah hati?"
Sontak Mei terperajat, matanya membulat sempurna, menatap suami yang dicintai dengan segenap jiwa mengatakan hal yang tak pernah dipikirkan sebelumnya. Netra Mei mulai berembun lalu luruh cairan tak berwarna. Hatinya begitu nyeri mendengar jawaban dari semua tanda tanya.
"Jadi, kakak tidak mau kita punya anak?" tanyanya memastikan bahwa yang dikatakan adalah kebenaran.
Rey menggenggam tangan Mei seolah menguatkan atas apa yang menjadi keputusannya."Maafkan kakak Mei, kumohon, mengertilah. Kakak tidak ingin hal yang lain selain dirimu."
Air mata semakin deras membuat Mei tak kuasa berpendapat, Diam. Ditarik tangannya dari genggaman lalu membekap mulut agar segala lara yang baru saja menghampirinya tertutup sempurna. Tak tahan, bahagia yang selalu dinantinya berujung nestapa. Lelaki yang dianggapnya akan memberikan semua hal, ternyata tak bisa memenuhi satu permintaan. Anak.
"Egois. Mei baru sadar kalau kakak sangat egois." katanya terisak lalu membenamkan wajah dengan kedua tangannya.
"Kakak tidak pernah memintamu keturunan karena bagi kakak, kamu adalah segalanya. Bukankah berdua sudah cukup bagi kita?" jelasnya mengusap pundak Mei namun ditepis dengan penuh amarah.
"Mei tidak bisa menerimanya. Mengapa kita menikah kalau kakak tidak mau memberi Mei keturunan?"
"Haruskah dalam sebuah pernikahan, anak hadir sebagai bukti cinta. Apakah bertahan dengan satu cinta masih kurang? Bagi kakak, itu sudah cukup. Hanya kamu." Rey berusaha menjelaskan namun Mei sudah terlanjur berduka. Ia tak terima. Baginya, anak adalah simbol penyatuan dua insan yang saling mencinta. Pelengkap kesempurnaan cinta.
"Tapi Mei mau kita punya anak kak!" teriak Mei tak terima."Mei mau punya anak dari kakak."
Rey menunduk dengan penuh penyesalan.
"Kalau begitu sayang sekali, kakak tidak bisa mengabulkannya. Kakak tidak akan bisa, berbagi cinta dengannya." kata Rey lirih.
"Kakak egois. Mengapa kakak tidak mau memahami apa yang Mei inginkan? Mengapa harus Mei yang selalu mengalah? Mei hanya ingin seorang anak yang melengkapi cinta kita! Tak kusangka kakak akan mengatakan hal itu. Kakak benar- benar egois!" teriak Mei lalu keluar dari mobil. Berlari menuju rumah, Rey menyusul dari belakang.
"Kakak sudah mengatakan semuanya, lalu kenapa kamu tidak terima?" tanya Rey berharap sang istri mau menerima alasan yang sebenarnya.
"Semua wanita menginginkannya kak. Sempurna menjadi istri yang bisa memberi keturunan. Mengapa kakak memaksa Mei untuk memahami keinginan konyol kakak." jawab Mei masuk ke dalam kamar lalu menguncinya.
"Mei, maaf. Kakak bisa memberimu semuanya tapi tidak dengan yang satu itu. Kumohon, pahami keinginan kakak. Yang kakak inginkan hanya bersamamu, itu saja. Kakak tidak mau yang lain." pinta Rey menggedor pintu kamar sembari mengiba. Netranya berkaca ketika yang dicinta terluka oleh keinginannya.
"Apa salah mereka, hingga kakak tak memberi kesempatan lahir ke dunia? Mereka juga punya hak untuk dicintai." protes Mei dari belakang pintu. Tubuhnya merosot, nyeri berdenyut- denyut di suatu tempat bernama hati.
"Kakak tidak bisa melakukannya. Memberi cinta padanya." jawab Rey sembari meletakkan kepala di daun pintu, lelah meminta Mei membukakan pintu.
"Kakak belum melihatnya, bagaimana bisa menyimpulkan hal sepicik itu." kata Mei lirih, terisak dalam duka yang tiba- tiba menerjang. Semua pertanyaan sudah menemukan jawaban, namun sisi hatinya tak terima.
Diluar, Rey merasa bersalah. Duduk membelakangi pintu, netranya basah oleh ketakutan juga kesedihan.
"Jika kakak bisa melakukannya, sudah pasti kakak akan memintanya dari dulu. Tapi kakak tidak bisa, membayangkan saja, kakak sudah ketakutan. Kakak tidak mau, seorang anak." katanya serak lalu tumpah segala rasa. Luka dari masa silam, masih membekas dan terasa nyeri hanya dengan mengingatnya. Ia memeluk lututnya dan merebahkan badan di depan pintu.
"Kakak mohon, jangan buat kakak membencinya." pinta Rey lirih.
Sementara di dalam, Mei tak kuasa menahan lara. Keinginan yang tak sejalan, menghancurkan harap. Hatinya terluka. Mimpinya pupus begitu saja tanpa sempat tumbuh.
Dielus perutnya yang datar hingga tanpa sadar, ia sesenggukan. Berusaha mencari sisa- sisa asa yang berserakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romansa'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...