Rey termenung di kamar berukuran 5 x 5 meter yang berada di lantai satu rumahnya. Duduk di side chair yang berada di dekat jendela. Pandangannya kosong, pikirannya entah di mana. Sejak kejadian kemarin, Eza memindahkan Rey ke kamar lain agar tidak kembali mengulangi kenekatan. Namun, berada satu lantai dengan istrinya membuatnya tak bisa tidur. Dua hari sudah matanya tak kunjung terpejam. Setiap kelopak hampir menutup sempurna, suara tangisan Arkha kembali membuatnya terjaga. Jika sudah begitu, ia akan menutup rapat kedua telinga atau mondar-mandir tak jelas. Mengenyahkan suara yang mengusik benaknya.
Suara pintu terbuka dan Eza masuk membawa sarapan. Aroma bubur menguar, memenuhi ruangan yang tertutup. Angin pagi berembus masuk melewati jendela kaca yang setengah terbuka itu. Rey yang mengetahui seseorang datang, tak mengindahkan. Ia masih bergeming di kursi meski suara langkah mendekat.
"Rey, sarapan," ajak Eza yang menarik salah satu tangan Rey agar segera bangkit.
"Aku tidak lapar." Rey menarik tangannya dan membuang muka, muak. "Kenapa Kakak masih di sini? Pulanglah ke Jakarta!" usir Rey.
Eza memperhatikan adiknya sebelum duduk di kursi yang berada di sebelahnya. Ia meletakkan siku di paha dan berkata, "Kakak akan di sini beberapa hari lagi."
"Untuk apa? Untuk apa Kakak peduli padaku?"
Eza terdiam beberapa saat sebelum kembali buka suara. "Mungkin memang benar, kalau apa yang Kakak lakukan semata-mata karena penyesalan, tetapi seberapa kuat kamu menolak kenyataan bahwa Kakak menyayangimu. Kita tetap saudara, bukan?"
Rey tersenyum, sinis, mendengar jawaban kakaknya. "Pulanglah. Aku tak membutuhkan dirimu seperti Kakak yang tidak membutuhkanku, dulu."
Eza melirik wajah adiknya yang mengeras. Ia tahu, Rey belum bisa memaafkan masa lalu. "Kalau kamu mau marah. Marahlah! Lampiaskan pada Kakak. Jangan kamu pendam lagi. Katakan apa yang selama ini kamu rasakan! Kakak siap mendengarkannya." Suara Eza berubah serak. Ia menatap adiknya sembari menahan galabah yang menghantam dada, mengingat secuil kisah duka sang adik yang masih membelenggu. Luka masa lalu.
"Kakak memang tidak becus menjadi seorang Kakak. Jadi, aku akan menerima semuanya. Semua kemarahanmu."
Rey masih bungkam, tak berniat meladeni ucapan kakaknya ataupun mengeluarkan beban yang selama ini menghimpit dada. Tentang kecewa, rasa sakit akibat pengacuhan dan luka yang bernanah hingga sekarang.
Eza memperhatikan wajah Rey yang dingin dan pucat. Ia beranjak dan mengambil bubur yang diletakkan di nakas samping ranjang.
"Makanlah dulu, Rey," ajak Eza begitu kembali duduk. Ia menyendok bubur dan mendekatkan ke mulut Rey yang masih tertutup. "Sedikit saja, Rey." Eza setengah membujuk. Namun, Rey melengos, tak bernafsu untuk menerima suapan.
Eza menghela napas, melihat sikap Rey. Ia meletakkan kembali sendok di mangkok dan berkata, "Kamu boleh menyiksa dirimu, Rey, tetapi ingatlah Mei. Dia membutuhkanmu."
"Mei sudah tidak membutuhkanku. Dia sudah mendapatkan apa yang diinginkan lalu sebentar lagi akan membuangku."
Eza mengembuskan napas panjang, berusaha memahami rasa sakit sang adik. Bekas yang telah berlalu, tak kunjung mengering seolah hidupnya telah terbelenggu ketakutan dan kebencian yang terus mengakar. "Rey, itu tidak mungkin. Mei mencintaimu, dia hanya sedang sibuk dengan Arkha, anakmu."
"Ya, lalu dia akan melupakanku." Pandangan Rey yang tadi lurus ke depan, kini beralih lagi. Ia tak ingin menampakkan kesedihan juga kekecewaannya kali ini. Ia berdiri dan memunggungi kakaknya. Menatap jalanan yang tetap saja lengang dari balik jendela meski jam sekolah. "Mei akan membuangku, seperti apa yang Ayah lakukan padaku."
Eza menangkap nada serak dari ucapan adiknya. Kalimat yang diucapkan begitu putus asa, membuatnya kembali terlempar pada saat melihat Rey setelah hilang beberapa hari. Pertanyaan yang sama terus bergema, apakah perasaan yang dirasakan Rey sekarang sama dengan beberapa puluh tahun lalu. Saat ia tak bisa tersenyum hampir satu tahun sejak kehilangan simbok. Rasa tak berharga.
Eza meletakkan mangkok di meja bundar yang berada tepat di hadapannya dan berjalan memeluk adiknya. Tangan besarnya, ia letakkan di pundak Rey yang bergeming. "Kakak akan ada di sampingmu. Mei juga tidak kan pernah meninggalkanmu. Tenang saja."
Rey masih mematung, tak tahu harus berbuat apa. "Kenapa aku masih hidup? Kenapa aku tidak mati sejak dulu?" Kalimat yang terucap begitu datar, tanpa beban seolah ia siap melepaskan dunia dan keindahannya. "Aku lelah hidup. Ayah tidak pernah menyayangiku. Mei juga sudah tidak membutuhkanku. Aku selalu sendiri. Sejak kecil."
"Masih ada Kakak Rey. Masih ada Ray. Mei juga mencintaimu. Kamu tidak pernah sendiri, Rey." Eza melepaskan tangannya, memutar tubuh Rey dan menangkup pipi adiknya untuk meyakinkan dengan sorot mata. Sayang, tak ada cahaya dalam pancaran Rey. Ia tenggelam dalam rasa putus asa.
"Untuk apa aku hidup jika semua orang meninggalkanku? Kenapa semua orang menahan bahkan takdir tak mengizinkanku untuk mati?"
Rey melepaskan tangan Eza dan berjalan kembali ke ranjang. Di belakang, Eza mengikuti setelah kembali mengambil mangkok bubur. Menghempaskan tubuh kembali ke ranjang dan membenamkan wajah di tumpukan bantal, Rey berkata, "Lepaskan aku, Kak. Aku lelah."
Eza berdiri, menatap adiknya yang jauh lebih menyedihkan saat beberapa tahun silam. "Kakak tidak akan pernah melepaskanmu, Rey. Jika kamu merasa tidak kuat, aku akan menjadi penopang dan berdiri di sampingmu."
Eza meletakkan mangkok di nakas dan duduk di tepi ranjang. Ia mengangkat salah satu kaki. Pandangannya memindai adiknya dan ruangan yang didesain oleh Rey sendiri. Minimalis. Tak banyak perabotan. Hanya ranjang, lemari dan nakas.
"Istirahatlah. Habis itu, isi perutmu!"
Tak ada jawaban dari Rey. Sang adik tidak berniat melakukan apa pun bahkan membuka mulut seolah sudah siap menyambut malaikat maut menjemputnya.
"Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Selama ini, bisa dihitung berapa kali kita keluar sebagai saudara," usul Eza yang tidak juga ditanggapi oleh Rey.
Sang Kakak masih saja memperhatikan adiknya yang masih terjaga. Tak ada tanda-tanda bahwa Rey mengantuk. Eza tahu, adiknya hanya beralasan untuk menghindari perbincangan dengannya.
"Untuk apa Kakak melakukan ini? Membujukku untuk terus bertahan? Apa arti diriku?"
"You mean a lot to me, Rey. As you know, you're my home."
"Itu hanya kata-kata. Semua orang bisa mengatakannya."
Eza menunduk, ia paham mengapa Rey masih belum bisa menerima apapun yang dikatakannya. "I know but that's the truth. I never asked you to believe it."
Rey diam, berusaha memahami dan mempercayai ucapan sang kakak. Detak jarum jam mengisi kebekuan di antara mereka. Namun, desiran angin dari jendela membuat matanya begitu berat. Tanpa sadar, ia terlelap.
Eza mengelus pucuk kepala sang adik. "Aku tahu, apapun yang kulakukan sekarang tidak akan pernah menebus dosaku di masa lalu. Namun, aku mau kamu hidup bahagia, Rey."
Eza tertawa kecil, tetapi sudut mata mengeluarkan butiran bening. "Kamu pasti sangat terbiasa tidur dengan perut lapar. Bisa-bisanya kamu melewatkan sarapan padahal sudah beberapa hari perutmu tak tersentuh nasi." Ia menahan serak suara mengingat kenyataan yang pernah menimpa adiknya saat kecil. Penelantaran.
Eza tak berniat untuk keluar, menemui adik ipar juga keponakannya. Permintaan Ray masih terus terngiang di benaknya untuk menemani sang adik saat berada di titik terendahnya. Mimpi buruk akan lebih sering datang dan membuat Rey semakin terpuruk. Benar saja, belum ada setengah jam, napas tenang Rey tiba-tiba memburu. Berulang kali ia melenguh dan meremas selimut.
"Rey," panggil Eza sembari mengguncang tubuh.
Rey tersentak bangun dan kelopak mata kembali dipenuhi kristal bening. Ia menggigit bibir dan meringkukkan tubuh sebelum berteriak dengan menutup kedua telinga.
Tanpa pikir panjang, Eza memeluk adiknya yang berusaha memberontak. "Tenang, ada Kakak. Semua sudah berlalu, Rey. Semua hanya masa lalu."
Tubuh Rey bergetar dalam pelukan sang kakak yang berusaha menahan rasa sakit. Pertama kali, Eza melihat adiknya begitu terpuruk dan orang yang membuatnya hingga di titik itu ialah dia sendiri. "Maafkan, Kakak, Rey. Maafkan Kakak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...