Lebih baik dia mati

82 5 0
                                    

Pagi harinya, Ray datang ke rumah Rey berharap keadaannya sudah membaik namun yang terjadi justru sangat menyedihkan. Semua barang berantakan. Ia berjalan pelan, mencari keberadaan Rey di dalam kamar. Meringkuk dan terus menggumam tak jelas. Begitu mendekat, ia melihat dengan jelas beberapa pil yang berhamburan. Diambil wadah dan membaca, obat sama yang dipakai Rey beberapa puluh tahun silam.

"Rey." panggil sang kakak berusaha mengguncang tubuh adiknya. Yang dipanggil tak menjawab. Jiwanya telah terlempar dalam kenangan masa kecil yang menyiksa. Ia tak lagi menghiraukan suara kakaknya, hanya suara- suara di kepala yang terus bergema, berulang.

"Aku membunuh ibu, simbok juga Mei."
"Benar yang ayah katakan."
"Aku anak pembawa sial."
"Aku tak pantas hidup."
"Bunuh saja aku, ayah."

Gumam Rey berulang berurai air mata dengan pandangan kosong.

"Rey. Mei baik- baik saja. Dia sudah melewati masa kritis." bohong Ray berusaha mengalihkan pikiran Rey namun ia masih tak bergeming. Bahkan menyebut nama Mei tak mengubah keadaan.

"Rey."

Hanya air mata yang menjawab panggilan Ray.

"Maafkan aku Mei. Maaf."

Ray mengusap rambut Rey dan tanpa sadar netranya berkaca. Ia tak tahan, melihat adik yang begitu disayanginya kembali memeluk luka sedang ia tak bisa berbuat apa- apa.

"Rey." panggil Ray entah untuk keberapa kali.

"Tinggalkan aku, kak. Aku ingin sendiri." katanya menutup wajahnya dengan salah satu tangan.

Lama, Ray menunggu Rey yang masih terjaga. Menangis dan menggumam berulang, mirip orang gila.

"Kakak mau ke rumah sakit dulu. Nanti kukabari begitu Mei sudah sadar. Di meja ada sarapan sekaligus makan siang, makanlah atau kakak suap ya?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.

"Tidak, pergilah kak. Aku mau sendiri saja."

Beranjak berdiri, Ray kembali menenangkan adiknya."Rey, Mei akan selamat. Tenanglah."

Rey tak bergeming membuat Ray melangkah keluar. Begitu sampai diluar, diambil ponsel dan menelpon orang yang mungkin bisa membantunya.

"Kumohon, datanglah. Aku tak tahu harus berbuat apa. Rey sudah mengkhawatirkan."

****

Begitu mendengar kabar Rey yang terpuruk, Eza langsung terbang ke Jayapura, memastikan keadaan adiknya.

"Rey." panggil Eza begitu masuk ke kamar dan melihat adiknya meringkuk di atas ranjang.

"Untuk apa kakak jauh- jauh datang dari Jakarta? Apa kak Ray cerita bahwa aku mulai gila?" tanya Rey tanpa menatap kakaknya yang berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang.

"Istrimu tengah berjuang, kenapa kamu malah disini?" tanya Eza yang tak bisa lepas melihat pertama kali adiknya begitu putus asa.

"Percuma saja. Rey disana atau tidak, Mei akan pergi. Dia akan meninggalkanku. Seperti semuanya. Ibu juga simbok. Kenapa mereka tidak ada yang mau tinggal denganku?" tanyanya sesak. Ia sudah lelah menangis hingga tidak tahu harus bagaimana meluapkan semua duka lara yang bersarang.

"Jika kamu menemaninya tentu dia akan bertahan."

"Tidak! Kakak sudah tahu bukan bahwa aku anak pembawa sial. Aku membawa mereka pada kematian. Ayah selalu mengatakannya. Mengapa aku tidak mati dari dulu? mengapa dunia terus memaksaku bertahan jika akhirnya tak memberiku kebahagiaan?" tanyanya penuh lara.

Melihat adiknya yang terkungkung dalam luka lama, Eza merasa hatinya terajam penyesalan. Berbagai perandaian terus bergema layaknya yang dilakukan Rey sekarang.

"Mei belum mati, Rey."

"Tapi dia akan meninggalkanku kak."

"Kamu bukan Tuhan, Rey."

"Kenyataannya, mereka semua meninggalkanku, kak. Tak ada yang menyayangi Rey. Tak ada. Bahkan ayah." katanya terisak mengingat luka yang kembali mengangga.

"Kakak menyayangimu, Rey."

"Kakak tidak menyayangiku. Kakak hanya menyesal dan hanya ingin menebus kesalahan agar bisa terlepas dari noda yang telah kakak perbuat." kata Rey membungkam Eza. Tak bisa membantah karena kenyataan telah Rey jabarkan.

"Setidaknya, temani putramu. Dia membutuhkanmu."

"Tidak!" tolak Rey tegas.

"Lalu apa kamu akan melakukan kesalahan sama yang ayah perbuat? Membencinya? Membenci darah dagingmu?"

Seketika Rey tersadar dan terus menggumam.

"Ayah?"

"Ayah membenciku karena aku lahir."

"Ayah membenciku karena telah membuat ibu meninggal."

"Jika aku tidak lahir, ayah tak akan membenciku."

"Anak itu akan mendapat kebencian dariku jika Mei pergi."

"Jadi lebih baik jika dia mati daripada aku membencinya."

"Jadi dia tidak akan menjadi sepertiku."

Rey bangun dari tidur seolah tengah menemukan jawaban untuk semua permasalahannya. Tersenyum dan menyeringai.

"Ya, lebih baik jika anak itu mati."

"Dia tidak akan pernah merasakan apa itu kebencian." gumamnya seperti orang gila.

Eza mendengar dengan seksama setiap ucapan Rey dan terbelalak tak percaya bahwa adiknya mengatakan sesuatu yang mengerikan.

"Anak itu harus mati." katanya mengambil kunci mobil dan berlalu keluar kamar. Eza berusaha menahan kepergian adiknya yang telah dikuasai ketakutan dan kebencian.

"Apa maksudmu Rey. Jangan gila kamu, Rey!" teriak Eza berusaha menahan tangan adiknya hingga ia memutar tubuhnya. Dilihat sorot mata Rey yang dipenuhi dengan luka dan trauma.

"Kak, anak itu lebih baik mati. Biar dia tidak merasakan apa yang Rey rasakan."

"Hentikan Rey. Apa kamu ingin menjadi seperti ayah?"

"Kakak tidak tahu bagaimana rasanya dibenci dan tak diinginkan jadi biarkan aku melakukan apa yang harus dilakukan oleh seorang ayah! Lebih baik jika dia tidak pernah ada! Apa yang ayah lakukan sudah benar. Ayah seharusnya membunuhku lebih cepat, sebelum aku mengenal dunia." kata Rey melepaskan tangan Eza.

Tak kalah cepat, Eza berhasil meraih tangan Rey lalu memeluk berusaha menenangkan.

"Maaf Rey! Maafkan ayah! Maafkan ayah yang sudah membuat hidupmu menderita dan tak pernah mengajarimu cinta."

"Aku sudah memaafkannya, kak. Tapi Rey tidak bisa melupakannya. Kakak tidak tahu rasanya menjadi Rey karena kakak mendapatkan segalanya. Semua cinta dan perhatian ayah. Jadi biarkan aku melakukan apa yang ayah ajarkan padaku." ucap Rey penuh penekanan. Melepaskan pelukan Eza dan berjalan lebih cepat menuju mobil sedang Eza terus berusaha mencegah adiknya yang telah mengunci mobil dan pergi dengan tatapan bengis.

"Arggghhhhhh..." teriak Eza meninju udara begitu mobil Rey menghilang dari pandangan.

"Lihatlah ayah, apa yang sudah kamu perbuat pada Rey. Kamu menghancurkan hidupnya. Kamu sudah mengajari jiwanya dengan kebencian! Sudah mati pun kamu masih menimbulkan masalah!" teriaknya kesal. Meremas rambutnya, Eza duduk di atas salah satu kakinya. Mencoba memahami apa yang baru saja terjadi.

Diambil ponsel yang berada di saku baju dan berdiri sembari memegang pangkal hidungnya."Ray, kembalilah ke rumah sakit. Sepertinya Rey akan berbuat nekat. Dia bilang akan membunuh bayinya."

Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang