Rey mencoba menetralkan pikiran dari rasa takut yang terus datang. Sayang, ketakutan itu lebih bertahta di jiwa yang lelah akan kehilangan dan luka. Trauma yang disimpannya rapat-rapat seakan kembali terbuka dan bernanah. Siap menginfeksi seluruh jiwanya.
Sedangkan, segala upaya yang coba ditunjukkan Mei untuk membuat lelakinya sedikit menunjukkan perhatian pada jabang bayinya tak menemukan sebuah titik yang melegakan. Justru ia seperti mendorong dalam kubangan luka. Tak mudah bagi Mei meyakinkan hati yang sudah dipenuhi ketakutan, tetapi ia terus berusaha.
"Kak, kenapa tidak pernah memeluk Mei lagi?" tanyanya penasaran, ia berusaha mendekat, tetapi lagi-lagi Rey menjaga jarak.
"Maaf, Mei," sesal Rey sembari memalingkan wajah. Ia tak berani menatap istrinya yang masih terus berusaha menggoda.
"Apa Kakak sudah tidak sayang Mei lagi?"
"Maaf Mei, aku hanya tidak ingin terjadi sesuatu denganmu. Kakak takut tidak bisa mengendalikan diri hingga melukai Mei," Rey menunduk lalu beranjak keluar kamar.
Dibelakang, Mei mengikuti dan mencoba memahami jalan pikiran suaminya. Ia tahu, setelah kejadian terbongkar rahasia kehamilannya yang membuat Rey mengatakan tindakan gila, tentu Mei paham bahwa mungkin saja ia sedang menantang bahaya. Tapi ia ingin menunjukkan pada suaminya, semua tak semenakutkan yang dipikirkan.
Hanya butuh kesabaran untuk menghadapinya, gumam Mei dalam hati.
Rey berubah, itulah yang terjadi setelah ia mengetahui kehamilan Mei. Tak pernah ada senyuman, bahkan sikapnya cenderung datar. Seolah semua urat saraf larut dalam ketakutan.
Hari ini, Rey pulang terlambat. Merasa tidak enak, ia membawakan Mei martabak kesukaannya. Begitu masuk ke dalam rumah, tak ada sambutan. Rey berpikir Mei sudah tertidur. Diletakkan plastik berisi martabak di atas meja dan sebuah tangan melingkar di pinggangnya. Reflek, Rey memutar tubuh dan mendorong Mei dengan keras agar menjauh darinya. Namun sayang, keseimbangan Mei goyah, ia tak bisa menahan laju tubuhnya sedang dua buah anak tangga menantinya dan sukses membuat tubuh Mei terjengkang dengan hebat. Mei meringis menahan sakit akibat guncangan sedang Rey memegang kepalanya. Tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Maaf Mei. Maaf." kata Rey mendekat ke arah Mei, berusaha menolongnya namun matanya menangkap sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Darah. Ia melihat darah yang keluar dari sela- sela kaki Mei sedang istrinya terus berusaha menahan nyeri yang semakin menghebat.
Rey yang baru saja hendak menolong Mei memundurkan langkah. Matanya seketika penuh dengan air mata yang jatuh tanpa diminta.
"Apa yang kulakukan ... Apa yang kulakukan?" tanyanya berulang. Bukannya segera menolong Mei, Rey bertingkah seperti orang gila. Ia ketakutan dan terus bergumam. Mei memandang wajah suaminya nelangsa, berusaha menenangkannya tetapi sakit di bagian tubuhnya membuat tak bisa berbuat apa-apa.
"Mei, maafkan kakak. Maaf... maaf ... maaf ... Kumohon jangan tinggalkan aku," katanya mendekat ke arah Mei yang hanya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa.
Rey tak bisa mencegah, ingatannya kembali mengelana saat dirinya melihat simbok bersimbah darah di depannya hingga tanpa sadar ia menggumam. "Maafkan aku Mbok, semua karena Rey. Semua salahku. Jangan tinggalkan aku sendiri. Aku takut."
"Tidak apa-apa, Kak," kata Mei yang masih berusaha tenang dan menyadarkan Rey dari kenangan penuh luka.
"Aku harus bagaimana? Kak Ray, tolong, Rey takut." Begitu mengatakan nama Ray, ia tersentak lalu mengeluarkan ponsel dari sakunya. Dengan gemetar memencet nomor yang sudah hafal di luar kepala.
"Kak Ray, tolong Mei. Tolong Mei ...." kata Rey berulang dengan nada penuh ketakutan.
"Kakak ke sana sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...