"Berhentilah memanggilku ayah. Aku tak akan pernah menganggapmu sebagai anak. Aku heran, mengapa kamu masih bertahan? Lebih baik kamu mati saja daripada mengharapkan aku menyayangimu."
Rey terbangun menatap langit-langit kamar dengan netra berkaca lalu tubuhnya bergetar hebat. Tak tahan semua kenangan seperti berhamburan lalu menikam semua asa yang dimilikinya.
Di sampingnya, Eza memandang lega meski beberapa detik kemudian berubah iba.
Rey memutar tubuh dan memunggungi kakaknya.
"Rey, sudahlah." Eza tahu apa yang terjadi pada adiknya dan berusaha menenangkannya. Ia tahu adiknya sedang melawan dengan kenangan yang entah sampai kapan akan membunuh kewarasannya.
"Kak, aku membencinya seperti ayah membenciku." Rey menggigit bibir mengingat apa yang telah terjadi.
"Aku bahkan hampir membunuhnya seperti ayah lakukan padaku. Kupikir, aku tidak akan melakukan kesalahan seperti yang Ayah perbuat tapi ternyata salah. Aku menjadi seperti Ayah." Ia meringkukkan tubuh, menatap ke luar jendela dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Jika Mei tahu, ia pasti akan membenciku. Mei pasti akan pergi meninggalkanku, ia pasti kecewa melihat kelakuanku. Aku sangat menjijikkan."
Eza tak tahu harus bagaimana. Duduk di samping ranjang dengan meletakkan siku di atas paha, ia menunduk dalam. Mendengarkan setiap ucapan adiknya yang membawanya pada satu muara. Penyesalan.
"Bagaimana bisa aku melakukannya. Padahal dia adalah darah dagingku. Dia bahkan masih suci tapi aku justru mengenalkannya pada kebencian," keluh Rey lagi.
Eza memutar kepala, menatap adiknya dengan penuh penyesalan. Bagaimanapun ia memiliki andil dalam luka yang ditanggungnya. Perandaian terus bergema dalam pikiran, seandainya waktu dapat terulang, ia ingin berada di depan Rey membela saat ayahnya terus memojokkan dia sebagai penyebab kematian. Namun sayang, waktu tak bisa ditawar sedetik pun. Luka selama tujuh belas tahun lamanya telah meresap sempurna dalam jiwa juga raga Rey. Tak pernah dibayangkan sebelumnya, bahwa ia akan melihatnya lagi. Luka yang tak kunjung mengering, bahkan telat terobati hingga telah menginfeksi hatinya.
"Maafkan, Kakak. Semua salah kakak yang tidak bisa menjagamu." ungkap Eza sesak, mengingat kenangan Rey yang penuh luka dan diputar setiap hari di depannya. Sayang, saat itu ia tak memperdulikannya. Dia pikir kejadian saat itu hanya angin yang akan segera berlalu dan Rey tak akan memikirkannya lagi. Kenyataannya, apa yang dirasakan juga dilihat beberapa tahun silam menjadi sebuah bomerang. Kembali berbalik dan hampir menghancurkan hidup adiknya yang setengah mati ingin dijaga.
"Jika aku meminta maaf, apakah dia akan memaafkan kesalahanku? Ini sudah kali kedua, akankah kesempatan itu datang untuk seterusnya. Apakah cinta bisa memberi pengampunan berulang?"
"Tentu saja, Kak."
Mata Rey membulat sempurna, mendengar suara yang begitu dirindukan. Air mata jatuh semakin deras, tetapi Rey tak berani memutar tubuhnya. Takut dan penyesalan merongrong jiwa.
Mei mendekat dan suara deritan menandakan bahwa ia sudah berada di sisi ranjang. Eza keluar, tak ingin mengganggu pasangan suami istri itu untuk saling mencurahkan segala beban.
"Maafkan Kakak, Mei."
Mei berusaha memegang tangan suaminya dan mengelus pelan. "Tenanglah Kak, semua sudah berakhir. Mei sudah memenuhi janji dan Kakak sudah berusaha sampai sejauh ini. Terima kasih."
"Mei pasti membenci dan akan meninggalkanku."
"Cinta adalah pengorbanan dan Kakak sudah membuktikan pada Mei. Mungkin mudah bagi sebagian orang, tapi tidak dengan Kakak. Jadi bagaimana mungkin aku membenci suamiku yang sudah berkorban untuk membahagiakan istrinya." Mei menggenggam tangan Rey dengan penuh kebanggaan. Binar bahagia begitu kentara di wajah pucatnya, membuat ceruk di pipi.
"Apa kakak sudah melihatnya? Bukankah dia ganteng seperti Kakak?" berusaha menarik tubuh Rey mendekat.
Pasrah, bagaimanapun Rey merindukan wanita yang sekarang ada di sampingnya lalu memeluk layaknya anak kecil yang merindukan ibunya. Terisak dalam pelukan Mei, Rey mengeluarkan segala penyesalan yang memenuhi jiwanya. Mei mengusap pelan punggung suami yang penuh dengan luka masa silam.
Setelah tenang, Ray memberikan bayi Rey ke Mei. Menimang-nimang dengan penuh kasih sayang sebelum memperlihatkan pada suaminya. Rey menolak dan berusaha mengalihkan pandangan, Mei meyakinkan bahwa semua tidak apa-apa.
"Jangan biarkan dia menjadi Kakak yang selanjutnya." Mei memegang tangan Rey erat. Mau tak mau Rey memperhatikan bayi yang digendong istrinya. Rasa bersalah menelusup dalam dada, tetapi seketika rasa muak mendominasi pikiran yang seketika menghidangkan kenangan masa kecil.
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan. Apa kamu akan membuangku?" tanya Rey mengagetkan seluruh orang yang berada di ruangan itu.
Mei mengusap pipi sang suami dan memperhatikan telaga yang sudah penuh dengan genangan.
"Kamu akan membuangku, bukan?" Bibir Rey bergetar. Kenangan penuh lara menghampirinya dan melibas seluruh kewarasan. "Kamu sama saja dengan ayahku. Setelah ini kamu akan pergi bersamanya dan mengacuhkanku. Bukan begitu?"
Eza dan Ray mendekat, meminta Mei menjauh dari Rey yang mulai kehilangan kendali atas dirinya.
"Rey tenanglah." Eza berusaha menahan tubuh adiknya yang mengunci pandangan pada anaknya.
Mei menatap dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Melihat suaminya yang dicintainya berubah hanya dalam sepersekian detik. Pikiran negatif seakan mengambil alih jiwa Rey yang selama ini penuh kelembutan. Seperti mempunyai dua kepribadian berbeda.
Rey bangkit dan berusaha mengambil Arkha dari dekapan sang istri. Eza dan Ray bergerak cepat menahan tubuh adiknya yang kalap oleh amarah dan mulai menunjukkan pemberontakan.
"Anak itu ... mengambil semua milikku. Dia telah mengambil Mei. Aku tak membutuhkannya," teriak Rey berusaha melepaskan diri sehingga selang infus copot.
Kalah tenaga, tubuh Rey merosot karena memang masih lemah. Menatap lantai, ia tertawa seperti orang gila lalu menangis setelahnya. "Apa yang terjadi denganku?" Ia berteriak pilu sembari meremas rambutnya dengan kesal.
Eza dan Ray menatap dengan iba, sedangkan pipi Mei semakin berurai air mata. Ia tak tahu sedalam apa luka sang suami sehingga mengatakan hal itu.
YYYY
Eza terdiam ketika psikiater di depannya menjelaskan mengenai kondisi adiknya. Menggigit bibir, menahan lara ketika wanita dihadapannya mengurai satu per satu permasalahan yang terjadi pada Rey. Selembar demi selembar catatan seakan membawanya kembali pada waktu di mana ia hanya terdiam dan memperhatikan dari kejauhan apa yang diperbuat ayahnya pada Rey. Menjadi penonton yang tidak mempunyai hati atau sengaja mematikan hati.
Begitu di luar ruangan, Eza duduk di kursi yang disediakan dan menutup wajah dengan kedua tangannya. Tubuhnya seakan tak bertenaga ketika mendengar penjelasan. Menghirup napas dalam lalu menyandarkan punggung, menatap langit-langit.
"Jadi, sekarang waktuku mempertanggungjawabkan dosaku, Rey."
Bangkit, Eza berjalan menyusuri lorong rumah sakit menuju kamar Rey dirawat.
"Bagaimana?" tanya Eza begitu sampai dan melihat Ray duduk di samping Rey yang tertidur akibat obat penenang.
"Sepertinya, kali ini lebih buruk daripada saat di Batam."
Eza menghela napas, menatap wajah Rey yang terlelap. Duduk di samping Ray, ia kembali mengusap wajahnya dengan kasar. "Berapa lama Rey bangkit setelah hari itu?"
"Hampir dua tahun."
Eza terdiam, memikirkan satu demi satu cara yang mungkin saja dapat mempercepat penyembuhan. Asal muasal segala luka dan rasa sakit yang didera Rey bertahun-tahun lamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...