Rey keluar dari mobil dan memperhatikan klinik yang berada di seberang jalan. Menurut Ray, di tempat itulah Arkha dirawat. Rasa gelisah terus saja merongrong jiwanya sejak sang putra dibawa pergi, sedangkan Ray justru menahannya di rumah seperti orang gila.
Sengaja, Rey tidak memarkirkan mobil di klinik dan ingin melihat putranya dari kejauhan. Lelaki itu hanya ingin memastikan bahwa Arkha baik-baik saja, atau setidaknya tidak dalam kondisi yang membahayakan nyawa. Meskipun ia sudah mendengar penjelasan Ray mengenai kondisi Arkha, pikirannya masih saja kalut sebelum melihat kondisi sang buah hati dengan mata kepala sendiri.
Rey menengok ke kiri dan kanan. Lalu lintas sedikit ramai mengingat ini adalah akhir pekan. Dengan bergegas, ia menggunakan isyarat tangan agar mobil yang melaju ke arahnya menurunkan kecepatan. Sedikit tergesa, lelaki itu menyeberangi jalan hingga tidak menyadari sebuah motor menginjak gas saat menaiki tanjakan, pengemudi kaget melihat Rey yang berusaha menyeberang karena sebelumnya tertutup mobil. Sayang, pengendara itu telat menarik tuas rem sehingga tubuh lelaki yang ingin menemui anaknya itu terpelanting beberapa meter bersama dengan si pengendara motor.
Sejak dulu, Rey selalu menginginkan kematian menjemputnya. Namun, sekarang, di saat ia menginginkan kehidupan, tiba-tiba malaikat maut menyapa. Terseret beberapa meter, Rey merasakan sekujur tubuhnya sakit tak karuan. Napasnya tersengal dan kekuatan sirna begitu saja.
Saat kegelapan belum merenggut kewarasannya, ia masih bisa merasakan rasa asin dan anyir keluar dari mulutnya. Namun, perlahan kesadaran Rey berkurang dan orang-orang berkerumun melihat kejadian itu. Matanya benar-benar berat dan ia terus merutuki waktu yang tidak tepat.
“Arkha ... Ayah datang ....” Ia berbisik dengan tenaga terakhir yang tersisa.
Sementara itu, Mei sedari tadi menggendong Arkha yang rewel dan terus saja memanggil Rey.
“Ya ... yah!” Anak kecil itu tak bisa diam. Sudah hampir setengah jam Arkha belum juga berhenti menangis, membuat tempat itu begitu penuh dengan suaranya.
Mei mengabaikan keributan yang terjadi di luar, ia tak berniat mencari tahu saat orang-orang mengatakan bahwa kecelakaan telah terjadi. Wanita berbibir tipis itu sibuk menenangkan Arkha. Ia bahkan tak mengacuhkan saat ponselnya terus berdering.
Bagi Mei, saat ini yang paling penting adalah membuat Arkha tenang.
***
Ada kalanya kita benar-benar menghargai waktu dan kehidupan ketika sudah berada di batas jalan, merasakan bahwa semua yang terjadi dalam hidup ini selalu memberikan arti. Namun, saat akan berpisah, kita baru benar-benar menyadari betapa berharganya seseorang yang pernah ada. Tentu sangat menyenangkan saat bisa mengatakan betapa sayangnya kita pada mereka yang telah hadir dalam hidup ini.
Ketika masuk ke ruang UGD, Rey sempat tersadar dan memanggil nama Arkha, sebelum akhirnya ia merasa semua sudah terlambat. Kepalanya bagai ditimpa batu besar dan akan pecah; badannya babak belur; rasa sakit menjalar di sekujur tubuh. Ia terbatuk dan darah kembali keluar dari mulutnya. Ingin mengerang pun rasanya tak kuasa.
Hanya satu sesal Rey saat itu: terlambat mengatakan pada sang putra bahwa ia menyayanginya.
“Arkha ...,” panggilnya, lirih.
Ia masih saja mengemis waktu, mengiba kesempatan kedua pada Tuhan. Namun, tanpa aba-apa, matanya tertutup sempurna. Begitu kegelapan menyapa, sebuah anak sungai mengalir di pipi pualamnya, bentuk penyesalan terdalam dari seorang ayah.
Rey kembali kritis. Ini kali ketiga hidupnya berada di ambang batas. Terpelanting beberapa meter, kepalanya kembali mengalami pendarahan.
Eza yang mengetahui kabar adiknya sehari sebelumnya, begitu terkejut ketika membuka ponsel setiba di Bandara Sentani. Ia berusaha tenang, meski begitu mulutnya tak berhenti merapalkan doa agar tak terjadi sesuatu yang membahayakan nyawa Rey, satu-satunya keluarga yang lelaki itu miliki.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” tanyanya, ingin tahu kronologi kejadian nahas itu.
“Aku tidak menyangka bahwa ia akan kabur demi melihat Arkha,” sesal Ray, menunduk dalam begitu ia selesai menjelaskan semua.
Eza menghela napas, menutup wajah dengan kedua tangan. Sekuat apa pun ia mencoba menegarkan hati, ia tak bisa melakukannya jika sudah menyangkut Rey, adik satu-satunya.
“Bagaimana ini?” Terlintas penyesalan bahwa dialah yang seharusnya menjaga satu-satunya keluarga yang dimiliki dan lagi-lagi ia terlambat.
Ray mendekat, memeluk dan menenangkan Eza yang begitu takut akan kehilangan sang adik tercinta.
“Dia sudah sangat menderita dan aku hanya ingin Rey bahagia. Berapa harga yang harus kubayar untuk menebus dosa ini?” Tubuh Eza bergetar, berbagai rasa yang bercampur aduk dalam dada membuatnya tak bisa lagi mengeluarkan air mata. “Bagaimana jika dia memilih pergi? Bagaimana jika dia menyerah?”
Tak lama kemudian, dokter dan suster berbondong-bondong masuk ke ruang perawatan, sementara Eza pasrah dengan segala kemungkinan.
“Kamu boleh lelah, tetapi ingatlah, Rey. Kakak akan terus di sampingmu,” bisiknya pada udara.
Pandangan Eza kosong, terarah ruangan tempat Rey dirawat. Dokter sudah mengatakan bahwa kemungkinan Rey selamat amat tipis, mengingat sebelumnya ia pernah mengalami cedera kepala yang sama parahnya. Namun, Eza tak ingin berhenti berharap bahwa sang adik akan berhasil melewati masa-masa sulit ini.
***
Rey terbangun di kamarnya dan tersentak kaget. Ia memegang bagian tubuhnya yang tidak terasa sakit sama sekali. Padahal seingatnya, ia baru saja tertabrak. Lelaki itu terus berpikir apakah dirinya sudah mati atau semua yang terjadi hanya mimpi.
“Rey,” panggil seseorang. Suaranya begitu akrab, membuatnya sontak mencari sumber suara.
Air mata Rey hampir mengalir, kala melihat sang ayah tengah meringkuk di sampingnya sembari memegang foto dirinya.
“Ayah.” Rey hanya bisa bergumam.
Lelaki tua itu berbalik dan melihat anak lelaki yang begitu dirindukannya. Tanpa aba-aba, Pak Atmaja menghambur dalam pelukan sang anak. Mata Rey berkaca-kaca, hampir saja tangisnya pecah ketika sang ayah memanggilnya berulang kali.
Rey ragu untuk membalas pelukan itu, tetapi ia tak lagi mempermasalahkan jika dirinya mati sekalipun. Baginya, sang ayah adalah segalanya. Dunia yang begitu diinginkannya sejak lama.
“Aku pulang, Ayah. Maafkan, Rey.” Lelaki yang telah tumbuh dewasa itu berujar.
Pak Atmaja melepaskan pelukan dan menatap anak yang pernah ia sia-siakan seumur hidupnya. Penyesalan mendalam begitu kentara dari sorot tuanya.
“Maafkan Ayah, Rey.” Ia mengusap pipi anaknya yang basah oleh air mata kerinduan. “Terima kasih sudah menemui Ayah.”
Rey mengangguk sebagai jawaban.
Pak Atmaja mengeratkan pelukan dan tangisnya kembali pecah. Ia sesenggukan bersama anak yang tak lagi bisa direngkuhnya. “Ayah ....” Pak Atmaja tak sanggup meneruskan kalimat yang mengungkapkan betapa dalam rindunya pada anak yang pernah ia hancurkan hidupnya sejak kecil.
“Ayah kangen Rey,” bisik lelaki tua itu pada akhirnya, dengan segala rasa yang campur aduk merongrong batinnya.
Mendengar kalimat yang tak pernah disangka sebelumnya, cairan bening menutupi pelupuk mata sang anak. Belum sempat Rey berbicara dan menyampaikan hal yang begitu ingin dibicarakan sejak dulu, Pak Atmaja menghilang menjadi seberkas cahaya.
Tangis Rey pecah, ia berusaha menggapai titik-titik cahaya dan merengkuhnya untuk meluapkan kerinduan.
Kini, Rey tak lagi berada dalam kamarnya, tetapi dalam kegelapan. Ia merasa sedang berjalan jauh dan tangannya menggenggam jemari yang hangat dan halus. Ia mengeratkan genggaman dan mencium punggung tangan itu seperti inginnya dulu.
Harum tangan sang ayah masih membekas meski sudah berpuluh-puluh tahun terlewat. Bagaimana tidak? Tamparan yang pernah mendarat di pipinya masih menyisakan aroma dan sakit yang sama. Namun, sekarang tangan itu menggandengnya, berjalan entah ke mana dan ia merasakan kasih sayang mengalir dan menghangatkannya. Tanpa cahaya, asal bersama dengan ayahnya, ia rela.
“Kita mau ke mana, Ayah?” tanya Rey penasaran. Sejauh kaki melangkah, hanya ada gelap dan tangan sang ayah yang begitu hangat.
“Mengantar Rey pulang,” jawab sang ayah.
“Rey sudah pulang. Ini adalah rumah Rey. Impianku adalah bersamamu, Ayah.”
Langkah mereka terhenti dan Rey merasakan sebuah pelukan hangat tengah mendekapnya. “Tolong maafkan perbuatan Ayah selama ini. Hiduplah lebih baik, Rey.”
“Aku sudah memaafkannya, Ayah.” Rey membalas pelukan itu lebih erat, mencium aroma ayahnya yang membuat bulir-bulir air matanya kembali mendesak keluar. “Rey ingin bersama Ayah.”
Pak Atmaja lama terdiam, hanya peluknya yang makin erat Rey rasakan.
Meski gelap, Rey merasakan sebuah tetesan hangat di pundaknya. “Ayah, mengapa menangis?”
“Ayah bahagia bisa bertemu denganmu lagi. Jika boleh meminta, aku ingin berlama-lama berbincang, melakukan hal yang tak pernah kita lakukan dahulu. Tetapi belum waktunya kita bercengkerama. Pulanglah, Rey. Cucuku pasti sudah menunggu ayahnya datang.” Begitu sang ayah selesai berbicara, dekapan hangat itu tak lagi ia rasakan.
Sepersekian detik tubuh Rey terbungkus dalam cahaya yang menyilaukan. Ia berteriak memanggil nama ayahnya, kesedihan kembali mendera jiwa yang sejak dulu haus akan kasih sayang.
“Ayah ... Ayah,” panggil Rey, lirih. Tangannya menggapai udara dengan pandangan kosong.
Ray dan Eza yang baru saja melangkah keluar ruangan sontak berpandangan. Begitu melihat Rey menggerakkan tangan, mereka segera mendekat.
“Rey!” panggil mereka serempak dan Ray dengan cepat memencet tombol bantuan.
Eza memegang tangan sang adik dan menciuminya. Setelah puas, ia berganti dengan menciumi pucuk kepala Rey. Air mata bahagia memenuhi pelupuk matanya. Keharuan memenuhi rongga dada, mengalirkan bahagia di setiap aliran darah.
Berulang kali Eza mengucapkan terima kasih karena Rey sudah bertahan dan tak menyerah. Namun, sang adik hanya menggumam, memanggil ayah mereka yang begitu dirindukannya.
Tak lama, dokter dan suster pun datang ke ruangan. Ray dan Eza terdiam memperhatikan selama pemeriksaan. Begitu dokter mengatakan bahwa Rey sudah melewati masa-masa kritis, Eza menghambur dalam pelukan Ray. Lelaki itu mengucapkan terima kasih berulang kali karena Ray telah membantunya melewati hal yang sangat mengerikan itu.
Ray tahu bagaimana perasaan Eza sebagai seorang kakak. Tuhan masih memberikan satu kesempatan untuk menebus dosa dan mempersembahkan cinta terbaik pada Rey, adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...