Rey berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit menuju tempat di mana bayinya berada. Nyalang. Tak ada keraguan di hatinya. Begitu memasuki ruangan yang kebetulan tak ada orang di dalam, ia tersenyum penuh kemenangan.
Berjalan mendekat dengan penuh kebengisan, melewati bayi-bayi merah yang tengah terlelap menuju sebuah box di mana nama Mei tertulis disana.
Tanpa keraguan, ia mendekat dan bersiap mencekik leher sang bayi yang tiba-tiba membuka mata dan menggeliat. Tangannya terhenti dan air mata tumpah begitu saja melihat darah dagingnya.
"Mengapa kamu sangat mirip denganku?" tanyanya pada keheningan. Mengingat seraut wajah yang pernah simbok tunjukkan.
"Foto siapa ini mbok?"
"Foto mas Rey waktu masih bayi. Lucu bukan? Siapa yang tidak mau berkorban demi anak semenggemaskan seperti ini?"
"He em. Rey kecil imut, ya. Pantas Ibu sayang."
Tangisnya pecah, tak kuasa melakukan perbuatan yang hampir merenggut nyawa anaknya. Tubuhnya merosot dan bersimpuh di sampingnya. Menutup wajah dengan salah satu tangan, Rey terisak penuh penyesalan.
"Maafkan Ayah, Nak. Maaf. Tak seharusnya kamu menerima kebencian ini." menjeda kalimatnya, air mata kembali bertandang. "Semua salah Ayah. Kamu tak bersalah. Kamu bahkan belum tahu apa-apa. Bagaimana bisa Ayah membencimu padahal kamu tak melakukan apa pun? Ayah sungguh jahat. Ayah bahkan hampir membunuhmu." Rey tak kuasa menahan penyesalan yang berduyun- duyun bersemayan dalam dada.
Sedang Ray dan Eza yang baru saja datang tak bisa menyembunyikan kesedihan yang sama melihat adiknya menangis sesenggukan di samping box bayinya. Wajah mereka yang mulai menegang berganti dengan iba.
"Bagaimana bisa ayah berpikiran untuk melenyapkanmu? Darah ayah mengalir di dalam tubuhmu bahkan wajahmu serupa wajahku. Bagaimana bisa aku tega melakukannya."
"Bagaimana jika Mei tahu bahwa ayah hampir membunuhmu, pasti ia akan sangat kecewa dan pergi meninggalkanku." Wajah Rey yang tadinya berurai air mata seketika menegang begitu mengatakan Mei. Dengan sisa-sisa tenaga, ia bangkit, menatap anaknya dan bersiap untuk mengakhiri nyawa sang buah hati. Untung, Eza dan Ray cepat beraksi dan menahan tubuh Rey yang terus berontak. Suasana menjadi gaduh karena Rey terus saja berteriak membuat para bayi terbangun dan menangis.
Dengan segala usaha, Eza memeluk Rey yang sudah kehabisan tenaga. Dalam dekapan kakaknya, pandangan lelaki yang baru saja kalap itu mengabur, sesak berlomba datang lalu gelap menyapa. Ambruk, Rey tak kuasa menghadang lelah yang menggerogoti tubuhnya. Dua hari tanpa makan dan istirahat, membuat raganya tak lagi mempunyai daya.
*********
Sehari semalam, Rey mengalami demam tinggi hingga mengigau parah. Kenangan terus berdatangan, menyergap kewarasan yang dimiliki dan mengoyak pelan. Antara sadar dan tidak sadar, Rey mengeluarkan semua rasa yang telah dipendamnya lama. Menguras hingga tiada tersisa membuat Eza terus terjaga. Berulang kali berbisik meminta maaf seolah dialah penyebab semua lara yang menimpa adiknya.
"Aku baru menyadari bahwa Rey begitu menderita. Kupikir, jika Rey menikah maka ia akan bahagia, tetapi ternyata hanya membuka luka lama." Eza menutup wajah dengan satu tangannya. Duduk di kursi yang berada di sisi ranjang, mendengar suara hati Rey.
"Ini belum seberapa. Kamu tidak akan bisa membayangkan betapa kacaunya Rey saat aku membawanya ke Batam setelah dia sadar dari koma. Hanya raga tanpa jiwa. Ayahmu telah menghancurkannya berkeping-keping hingga aku sendiri bingung harus berbuat apa." Ray menghela napas, ia menjeda kalimatnya.
"Jika saja Rey mau, aku sudah membawanya pergi dari ayahmu yang diam-diam telah membunuh jiwanya sejak lama. Tapi ia terus bertahan dan yang membuatku heran, Rey selalu memaafkan semua perbuatan kalian dan menyimpan serapat mungkin luka yang menjadi bom waktu baginya. Sekarang lihatlah. Apa yang sudah kalian perbuat, luka yang kalian torehkan. Betapa hebatnya dia bersandiwara di depan kalian hingga kamu tak menyadarinya." Pandangan Ray sendu mengingat masa lampau. Mendesah, mengeluarkan sesak yang datang tiap cerita itu diulang.
"Tujuh belas tahun dan itu bukan waktu yang singkat. Membayangkan saja aku sudah tak kuat, apalagi Rey yang menjalaninya."
"Maafkan aku, Rey. Semua salah Kakak." . Eza memandang adiknya yang tengah terlelap tanpa sadar air mata sudah memenuhi pelupuk mata. Ia mengelus pucuk kepala dan mencium penuh kasih.
Ray menghela napas panjang. Ia tak ingin menyalahkan tapi semua yang terjadi tak bisa dilepaskan begitu saja dari apa yang disebut masa lalu.
"Sudahlah! Tak ada yang bisa kita lakukan untuk memperbaikinya. Semoga saja dia cukup waras ketika sadar. Kuyakin ia baik-baik saja, buktinya ia tak tega membunuh bayinya. Setidaknya masih ada nurani yang menghentikan kegilaannya. Yah, kupikir ia hanya terguncang saja."
Hening. Hanya suara detak jam yang mengisi kekosongan.
"Berdamai dengan masa lalu tak semudah mengatakan aku baik-baik saja. Apalagi yang membuat luka adalah orang terdekatnya.Yang kulakukan hanya tetap berada di sisi dan tak menyalahkan atau menghakimi tindakannya." Ray melanjutkan ucapannya seolah belum selesai mengutarakan kemarahan yang selama ini disimpannya.
"Apa kamu tahu siapa yang bisa membuatnya bangkit dari semua keterpurukan yang kalian perbuat?"tanya Ray menatap Rey yang sudah lebih tenang karena demamnya yang berangsur turun.
Eza menatap ke arah Ray seolah meminta jawaban segera diucapkan.
"Sayangnya bukan aku. Tapi Mei."
"Mei?" tanya Eza tak percaya.
"Ya. Bisa kamu bayangkan berapa umur Mei saat itu. Enam tahun." Menjeda kalimatnya, Ray berjalan ke sisi ranjang memperhatikan adiknya. Ia melanjutkan cerita yang tak pernah Eza dengar sebelumnya. Kisah antara Mei dan Rey. Alasan mengapa Rey begitu mencintai istrinya dan rela menunggu sepuluh tahun lamanya untuk bersama. "Mei menemani saat-saat tergelapnya dengan segala tingkah polosnya, sedangkan saat itu aku harus bekerja." Ray berspekulasi bahwa Rey yang haus kasih sayang seakan mendapatkan semua yang tidak dia dapatkan dari keluarganya. Perhatian dan cinta yang tulus. Hal itu membuatnya rela menanggung rasa sakit akibat trauma demi kebahagiaan Mei.
"Bukankah Mei tinggal di Surabaya? Bagaimana bisa?" Alis Eza bertaut mendengar penjelasan Ray. Ia tidak paham.
"Tidak. Mei dulu tinggal di Batam bersama orang tuanya. Sayang kedua orang tua Mei meninggal karena kecelakaan. Saudara dari kedua belah pihak tak ada yang datang untuk mengambil Mei jadi dia tinggal di panti asuhan." Ray menghela napas, tangannya bersedekap.
"Cinta memang bekerja dengan cara yang aneh. Di saat Rey memberikan setengah hasil perusahaan yang dia jual untuk diberikan pada panti asuhan dimana Mei berada agar ia mendapatkan hidup yang layak. Justru Mei memutuskan keluar setelah sandiwara yang Rey mainkan dan mengejar bayangan sepuluh tahun lamanya. Entah takdir seperti apa mempertemukan dengan Rey untuk terakhir kali sebelum kami menginjak tanah Papua. Mengatakan bahwa suatu saat akan mencari dan menemaninya." Ray tersenyum sinis mengingat cara kerja waktu dan cinta yang membawa sepasang suami istri itu berada pada satu jalur. Jodoh.
"Kedengaran konyol bukan? Seorang anak kecil dengan lelaki yang pantas disebut Om mengikat janji untuk bersama."
Pandangan Eza yang sedari tadi terkunci pada Ray yang sedang menjelaskan seketika beralih pada Rey yang masih terlelap dengan napas yang teratur. "Apa dia sudah sadar?"
"Ya, dia sudah melewati masa kritisnya tetapi aku belum mengatakan keadaan Rey yang sebenarnya. Ia pasti mengkhawatirkannya." Ray menghela napas entah untuk keberapa kalinya lalu menepuk pundak Eza sebelum berlalu keluar. "Jaga Rey. Aku mau melihat keadaan Mei."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...