Setelah dengan bujukan sang kakak. Rey menuruti permintaan Eza sekadar berjalan-jalan keluar, mengusir penat. Tak ada senyuman di raut sang adik. Seolah urat menegang.
"Aku tidak mau mandi," kata Rey setelah mengiyakan ajakan sang kakak.
"Tidak usah! Nanti ketampananmu luntur. Mei bisa pangling melihatmu." Eza mencoba bercanda, sayang sang adik tak menghiraukan. Pikirannya masih terpasung pada masa lalu dan ketakutan membuat sang kakak hanya menghela napas. Langkahnya tak mudah untuk mengembalikan Rey seperti sedia kala. Seperti yang Ray katakan, butuh waktu untuk membuat sang adik bangkit dari rasa yang terus membelenggu. Bahkan mungkin tak akan mudah mengingat luka yang diderita sudah terlampau dalam dan parah.
Sebuah panggilan membuyarkan lamunan Eza. Merogoh ponsel di saku celana, ia melihat nama Ray tertera di layar. "Kakak tunggu di bawah, ya." Terpaksa ia beralasan keluar lebih dulu agar sang adik tidak tahu bahwa dia menjadi bahan perbincangan. Begitu kakinya sudah menginjak di lantai bawah, ia mengangkat panggilan.
"Bagaimana Rey?"
Eza tahu pertanyaan apa yang akan keluar pertama kali dari seberang sambungan. "Begitulah. Masih sama tetapi aku mencoba mengajaknya keluar. Bagaimana kedai dan bengkelnya? Kamu sudah mengurusnya 'kan?" Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ya, aku sudah mengurusnya. Apa kamu butuh bantuan?"
"Sementara belum. Lagipula ini baru hari pertama. Tolong, biarkan aku membantu kali ini."
Ada keheningan sesaat.
"Ya, aku hanya sedikit khawatir. Bolehkah aku mampir sebentar nanti?"
"Sure. Bagaimanapun, kamu yang lebih memahaminya dari dulu hingga sekarang."
Setelah berbincang-bincang sembari memperhatikan anak tangga, memperhatikan sang adik yang turun, Eza pun mematikan sambungan. Begitu Rey menginjakkan kaki di lantai satu, Mei yang sedari tadi di dapur menghambur dalam pelukan sang suami.
"Kak," panggi Mei sembari menghirup aroma sang suami. "Aku merindukanmu."
Rey masih bergeming, setengah tak percaya mendengar ucapan sang istri. "Apa kamu tidak salah bicara, Mei? Kupikir kamu sudah tidak membutuhkanku."
Mei mendongak dan menatap ke dalam iris sang suami dengan mata berkaca. "Kenapa Kakak bisa berpikiran seperti itu?"
"Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan dan kamu akan membuangku, seperti yang ayahku lakukan. Bukan begitu?"
Melihat percakapan di antara mereka, Eza beranjak keluar. Membiarkan mereka mencurahkan perasaan yang akan membantu Rey pulih lebih cepat secara mental.
Mei mengusap pipi sang suami dan tersenyum. "Bagaimana bisa aku membuang hal yang begitu berharga buat Mei. Kakak adalah segalanya."
"Jika memang aku adalah segalanya, kenapa kamu masih menginginkan Arkha? Bukankah cintaku tak cukup sehingga kamu begitu menginginkannya? Kamu tidak ingin memberikan semuanya padaku dan memilih membaginya dengan Arkha," tanya Rey yang melepaskan tangan sang istri dan beranjak keluar tanpa melihat ekspresi Mei yang terkejut.
Mei memperhatikan punggung sang suami yang berlalu pergi. Ia tidak tahu bagaimana membantah semua ucapan Rey. Matanya berkaca, ia tidak tahu mengapa semua menjadi rumit seperti ini. Ia pikir jika mempunyai anak, Rey akan bisa menerima anak yang merupakan darah dagingnya, tetapi ternyata salah. Lelakinya merasa terasingkan dan terbuang hanya karena ia telah membagi cinta. "Aku tak tahu bahwa lukamu begitu dalam, Kak."
Rey masuk ke mobil tanpa bicara. Eza memperhatikan wajah adiknya yang masih dingin dan tak mempunyai harapan. Ia mengembuskan napas panjang, paham bahwa apa yang dilakukan Mei tak membuahkan hasil. Bicara tak akan mengubah keadaan. Rey mempunyai pendapat sendiri yang tidak akan bisa disanggah. Hanya tindakan juga perhatian yang bisa menghangatkan hati yang kembali beku.
"Akhirnya, kita mempunyai waktu bersama sebagai saudara." Eza melajukan mobil mazda Rey sembari melirik sang adik yang tidak berniat menanggapi.
Sepanjang perjalanan, Eza mengajak bicara adiknya yang masih bungkam dan ia tersadar bahwa apa yang dirasakan Rey beberapa puluh tahun lalu. Kini sedang ia tuai. Pengacuhan. Ia tersenyum kecut dan berusaha tak mengindahkan rasa yang lagi-lagi hadir.
Eza melajukan kendaraan menuju sebuah barber yang bersatu dengan sebuah cafe di area taksangka. Ia sudah mulai hafal jalanan kota Jayapura mengingat berulang kali datang sejak pernikahan adiknya. Tak terlalu sering, tetapi mengingat jalanan yang tidak mempunyai banyak rute, cukup membuatnya ingat.
"Rambutmu sudah panjang, potonglah. Siapa tahu Mei semakin terpesona." Eza bergurau, tetapi sang adik tetap mengacuhkan. Namun, Rey tetap mengikuti langkah sang kakak. Seperti marionete, Rey pasrah ketika karyawan memulai pekerjaannya. Ia tidak memikirkan style apa yang cocok untuk rambutnya dan mempercayakan begitu saja. Tak lupa karyawan lelaki itu juga memberikan pijatan setelah menunaikan tugasnya.
Eza yang sedari tadi memperhatikan sang adik lalu menyeruput kopi pesanannya di cafe yang berada di luar ruangan, tersenyum. Melihat penampilan Rey yang baru.
"Aku sudah memesankanmu jus kesukaanmu," kata Eza begitu Rey datang dan duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
Rey tak berniat mengucapkan terima kasih atau meminum jus tomat yang ada di hadapannya. Ia membuang muka tanpa mengucapkan sepatah kata. Muak dengan semua perlakuan manis yang diberikan. Tak beberapa lama, seorang pelayan datang membawakan bubur ayam yang membuat sang adik kembali menghela napas.
"Jiwaku memang sakit, tetapi haruskah aku makan bubur?" sindir Rey begitu pelayan cafe pergi.
Eza berdiri dan berjalan mendekat ke arah adiknya. Begitu pantatnya sudah mengempas kursi, ia mengambil bubur dan kembali menyuapi Rey yang kembali melengos.
"Aku tidak lapar."
"Kakak akan terus menyuapimu jika kamu menolak, biar kita dikira pasangan homo."
Rey terdiam beberapa saat sedang sendok berisi bubur dan suiran ayam sudah mendarat di bibirnya yang terkatup. Mau tak mau ia membuka mulut dengan masam. "Aku bisa makan sendiri."
Eza tersenyum dan meletakkan mangkok bubur ke meja. "Syukurlah. Kupikir, tanganmu pegal jadi minta disuap."
Bukannya segera menghabiskan bubur ayam, Rey menyeruput jus tomatnya hingga sang kakak kembali menyuapinya. "Hentikan, Kak. Atau aku akan kembali ke mobil."
"Kalau begitu, makanlah lebih dulu."
Setengah terpaksa, Rey menuruti permintaan sang kakak.
Eza memperhatikan sang adik yang susah payah memasukkan bubur ke lambung tanpa memuntahkannya. Hanya beberapa sendok dan Rey menolak menghabiskannya.
"Bagaimana perasaanmu? Apa lebih baik?"
Rey kembali membuang muka dan tidak berniat menjawab. "Hal seperti ini tidak akan membuat suasana hatiku membaik. Hanya mati yang bisa mengakhiri perasaan memuakkan--."
"Rey!"
Rey terdiam beberapa saat begitu mendengar suara kakaknya. Ia menghela napas sebelum berdiri dan meninggalkan Eza yang kembali dirundung rasa bersalah.
![](https://img.wattpad.com/cover/280754769-288-k494392.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...