Insiden yang terjadi sore itu berimbas hingga malam. Rey sengaja mengurung diri di kamar. Entah sebagai bentuk protes atau sekedar menenangkan diri. Ray yang sengaja ingin mengetahui perkembangan Rey, terpaksa tidak pulang ke rumah. Berulang kali ia mengetuk pintu, meminta sang adik keluar untuk makan malam. Namun, tak ditanggapi meski Ray sudah berulang kali mengiba dan meminta maaf. Bujukan sang istri juga tak menggoyahkan Rey. Ia tetap bungkam dan seakan-akan menyalahkan dirinya sendiri.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Ray yang masih setia menunggu Rey keluar, akhirnya memilih untuk merebahkan diri di sofa. Matanya sudah sangat mengantuk. Berulang kali ia menguap dan berharap Rey keluar sekadar mengisi perutnya yang diyakini pasti keroncongan. Ada sejejak khawatir bahwa adiknya akan berbuat nekat. Namun, ia cukup yakin bahwa Rey tidak akan melakukan hal yang membahayakan nyawanya sendiri.
Di dalam kamar, Rey belum juga memejamkan mata. Pikirannya terus mengelana pada peristiwa yang tanpa sadar kembali menyeretnya dalam kenangan penuh lara. Penghakiman. Hampir saja kewarasannya kembali tenggelam jika ia tidak langsung meluapkan kemarahan. Hal yang tak pernah terpikirkan karena selama ini diam adalah caranya meredam amarah. Namun, setelah meluapkan kekesalannya, ia merasa jauh lebih baik meski cara yang dilakukan begitu kekanak-kanakan.
Rey bangkit dan membuka laci nakas. Mengambil obat anti-depresan yang selalu dipakai ketika semua kenangan dan rasa bercampur aduk dalam dada. Mengambil alih kewarasan dan mengganti dengan ketakutan juga bayang-bayang masa lalu. Berniat mengambil satu setelah membuka penutup, tetapi ia mengurungkan dan membuang di bak sampah. "Tanpamu, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah menemaniku."
Menghirup napas dalam-dalam, melihat betapa kacau kamarnya, ia memilih mengacuhkan dan mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Sayang, kakinya menendang bak sampah membuat butiran pil berhamburan ke luar. Bola matanya hanya melirik sekilas dan memilih membuka galeri, melihat wajah putranya yang begitu mirip dengannya dulu. Rasa rindu menggelegak dalam kalbu, setiap desiran darah penuh dengan nama Arkha. Entah sejak kapan ia menyadari arti Arkha dalam hidupnya. Namun, ia meyakini, rasa sayangnya tumbuh seiring perkembangan Arkha. Senyuman juga sambutan yang selalu ditujukan padanya ketika pulang bekerja membuatnya merasa telah menemukan apa yang sejak dulu diimpikan. Rumah. Apalagi saat melihat binar bahagia sang putra yang begitu kegirangan saat mobilnya baru memasuki pelataran. Rasa yang bertahta, perlahan terkikis pelan.
Meletakkan ponsel, ia keluar setelah yakin semua orang terlelap. Membuka kamar di mana Arkha tertidur pulas dan ia melihat dengan jelas beberapa luka di tangan juga wajah Arkha. Rasa sesal berlomba datang tak bisa menjaga putranya, tetapi justru hampir mencelakakannya.
Puas memandang wajah putranya, Rey kembali ke kamar dan merebahkan tubuh. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya. Tanpa mengunci pintu, Rey terlelap.
Rey terbangun ketika cahaya matahari menelusup di sela-sela gorden. Ia menggeliat sebelum beranjak ke kamar mandi. Menghidupkan shower dan menghujani tubuhnya dengan tetesan semangat yang baru. Sejak semalam, ia sudah membulatkan tekat. Menunjukkan semua hal yang memang harus diperlihatkan, rasa sayang dan ingin melindungi meski setelah kejadian demi kejadian menyudutkannya bahwa ia telah kalah melawan monster dalam dirinya.
Sementara itu, Mei yang baru saja di belakang menyiapkan sarapan, tidak menyadari bahwa Arkha sudah bangun dan mencari ayahnya yang biasa tidur di sebelahnya. Ray yang juga baru saja bangun, tidak mengetahui ketika Arkha membuka kamarnya.
Keluar dari kamar mandi, Rey terkejut melihat Arkha tengah memunguti pil anti-depresan yang berserakan di lantai. Beberapa sudah berpindah ke mulutnya. Begitu melihat ayahnya, Arkha tersenyum dan menunjukkan pil itu ke arahnya. "Yah, emen."
"Arkha apa yang kamu lakukan?" teriak Rey membuat Mei dan Ray menghentikan aktivitasnya dan berlari ke sumber suara. Membuka pintu, mereka melihat yang membuat kesalahpahaman kembali terjadi. Dalam pandangan mereka, Rey sedang menjejali pil anti depresan ke mulut Arkha yang tiba-tiba muntah dan menangis.
![](https://img.wattpad.com/cover/280754769-288-k494392.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta di atas luka(Seri Ketiga Buah Kebencian Untuk Ayah) ; Sudah Terbit
Romance'Tak mudah bagiku memberi cinta di saat hidupku diguyur kebencian. Bagaimana bisa aku mencintainya sedang aku tak pernah dicintai? Aku bahkan tak tahu harus bagaimana memperlakukannya karena aku tak pernah merasakan itu semua. Aku tak mau menjadi se...